Sejarah Aceh se-abad ke belakang adalah sejarah pelanggaran HAM. Bagaimana tidak, sejak deklarasi Belanda terhadap Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1873 hingga konflik antara GAM dan Pemerintah RI yang diakhiri dengan MoU Helsinki 2005, terjadi berbagai bentuk pelanggaran HAM yang tak terbayangkan dan belum terselesaikan dengan baik. Ironisnya, ketika pelanggaran HAM mengkristal menjadi persepsi dan terpatri dalam pikiran masyarakat, maka sejarah senantiasa akan berulang kembali. Bahkan dapat dikatakan bahwa sejarah pelanggaran HAM di Aceh yang belum terselesaikan merupakan salah satu sebab bahwa konflik kekerasan akan lahir kembali. Damai hari ini adalah babak “half time” menuju konflik kekerasan selanjutnya! Sehingga, hadir dan berjalannya mekanisme “keadilan transisional” (Transitional Justice) demi menyelesaikan persoalan ini menjadi salah satu cara demi mencegah keberulangan sejarah yang sama.
Merujuk berbagai literature dan pengalaman di berbagai wilayah paska konflik maupun paska rezim repressif, “Transitional Justice” atau disingkat TJ adalah salah satu ikhtiar dalam mencegah terjadinya kembali konflik kekerasan serta pelanggaran HAM (Teitel, 2000; Hayner, 2011; Fischer, 2011). Yang kemudian, mekanisme ini juga diinterpretasikan sebagai bentuk pemenuhan keadilan berbasis korban (victim-oriented), bukan berbasis aktor (actor-oriented) ataupun berbasis pembangunan yang general. Mekanisme ini mulai populer digunakan sejak berakhirnya Perang Dunia kedua di tahun 1945. Secara umum, TJ merupakan implementasi pendekatan peradilan (retributive justice) maupun non-peradilan (restorative justice) dalam kondisi kekerasan maupun paska kekerasan demi tercapainya akuntabilitas, keadilan, serta rekonsiliasi. Kedua elemen tersebut – pendekatan peradilan dan non-peradilan – dijabarkan dalam bentuk pengungkapan kebenaran, peradilan, reparasi, serta mekanisme alternative lainnya demi mencegah keberulangan kekerasan.
Dalam konteks Aceh, perjanjian perdamaian antara GAM dan Pemerintah Indonesia dalam bingkai MoU Helsinki (2005) telah memberikan peluang terhadap implementasi TJ. Namun akibat berbagai polemik politik dan hukum, implementasi TJ tidak sepenuhnya berjalan lancar. Salah satunya adalah kehadiran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKRA) yang sebenarnya telah diamanatkan oleh Undang-Undang no. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh jelas ditegaskan bahwa “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 berlaku efektif paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Dikarenakan UU ini baru disahkan pada 1 Agustus 2006, maka seharusnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh sudah bekerja sejak 1 Agustus 2007. Namun realitanya, aturan hukum – Qanun Aceh – tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh baru disahkan di tahun 2016 serta mulai bekerja pada 2017 hingga 2021.
Oleh karena itu, sebagai upaya membantu berjalannya kerja-kerja KKRA, The Aceh Institute membuka program “short course” gelombang ke-1 dalam bingkai TJ school.
Untuk lebih jelas, baca posternya dan daftar segera!
Note:
Fee Registration: Rp. 50.000,-
Anda akan mendapatkan:
– Modul pembelajaran
– Sertifikat + Ijazah
Tempat short course gelombang I, di adakan dimana?
di kantor Aceh Institute