Istilah konflik sudah tidak asing lagi bagi masyarakat dimana peristiwa besar ini pernah menimpa Aceh dari tahun 1976 hingga tahun 2005. Pada tahun 2005 Aceh memasuki era damai, setelah ditekennya MOU Helsinki yang membawa angin segar bagi rakyat. Sepanjang 29 tahun yang suram itu, satu demi satu peristiwa meninggalkan banyak luka yang tersebar di setiap jengkal tanah rencong.
Pada 23 Maret 2017 yang lalu, saya berkesempatan menghadiri acara Doa Bersama Mengenang Tragedi Rumoh Geudong di Desa Bili Aron, Glumpang Tiga, Pidie. Disana saya berjumpa dengan banyak sekali korban konflik dengan latar belakang historis yang berbeda-beda. Setelah acara selesai saya mendekati sekumpulan ibu-ibu yang sedang menunggu jatah makan siang.
“Assalaamu alaikum…” kata pertama yang saya ucapkan. Dengan bahagia mereka menjawab salam itu. Saya lalu memperkenalkan diri dan terjadilah dialog khususnya dengan ibu SB (42) dan Ibu AYH (43), dua orang perempuan paruh baya, korban konflik yang berasal dari Trieng Gadeng, Pidie Jaya.
Seiring pembicaraan itu, saya menangkap ada kenangan masa lalu yang tidak berani diceritakan, tetapi saya merasa penasaran ingin mengetahui lebih jauh. “Ibu, bisa tidak diceritakan bagaimana pengalaman ibu saat itu? “SB (42) pun bercerita panjang lebar.
“Dulu ketika konflik kami sekeluarga sedang bersantai di rumah dan tiba-tiba datang sejumlah oknum menghampiri rumah saya dengan membawa senjata, seketika mereka langsung mengambil Abu Syik saya dan mereka bawa ke gunung. Kami sekeluarga merasa ketakutan karena kami tidak tahu atas alasan apa Abu Syik kami di ambil, yang lebih menyedihkan lagi mereka menahannya selama beberapa hari tanpa ada kabar kepada kami. Sedih dan cemas kami rasakan satu keluarga, setelah beberapa hari kemudian akhirnya mereka mengembalikan Abu Syik saya dalam keadaan terluka, ternyata mereka salah sasaran, awalnya mereka anggap Abu Syik saya terlibat dalam GAM. Kejadian itu masih menjadi kenangan yang menyedihkan bagi kami”
Senada dengan itu, AYH (43) juga menambahkan kisah pilu masa lalu dengan pengalaman yang pernah menimpanya. “Dulu tahun 2003 suami saya di tembak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan alasan suami saya adalah salah satu anggota GAM. Perasaan saya sangat hancur dan tidak tahu apa yang harus saya lakukan, apalagi pada masa itu saya memiliki dua orang anak yang masih kecil. Namun seiring berjalanya waktu saya mencoba menerima kenyataan dan alhamdulillah sekarang saya sudah menemukan sosok ayah yang baru untuk kedua anak saya walaupun hidup kami masih jauh tertinggal dari sisi ekonomi”
Mendengar cerita itu saya meyakini satu hal, bahwa pemerintah harus memperhatikan para korban, seperti dengan memberikan santunan, modal kerja, dan skill-skill pekerjaan. Selama ini memang ada bantuan tetapi tidak mereka rasakan secara maksimal karena ada pihak ketiga yang mengambil untung. Pemerintah harus secara seksama memantau proses pemberian bantuan kepada para korban konflik.
Muhammad Haikal [Mahasiswa Fakultas Psikologi, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh]