Membangun Paradigma Baru Industri Pertambangan Aceh

0
169

By: Fakhrurrazi (Mantan Ketua Alumni Teknik Geofisika Unsyiah)

Pemerintah RI mengeluarkan larangan ekspor mineral mentah ke luar negeri efektif berlaku 1 Januari 2020. Presiden Jokowi telah menerbitkan aturan tidak mengizinkan penjualan Nikel tanpa terlebih dahulu melewati proses pengolahan di dalam negeri. Sementara Uni Eropa (UE) sebagai pihak yang dirugikan menentang keras, karena selama ini nikel RI adalah urutan kedua terbesar di dunia yang diimpor oleh negara-negara eropa. Terlepas dari sikap balas dendam Pemerintah kita kepada Uni Eropa yang melarang pembelian minyak sawit (Crude Palm Oil) RI, Jokowi menilai sudah saatnya Indonesia harus mampu mengelola sumberdaya mineral secara mandiri demi meningkatkan perekonomian negara.

Tindakan yang diambil oleh kedua pihak, telah menciptakan polemik, yaitu Perang Dagang Ekonomi. Kedua belah pihak membawa persoalan ini lewat Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) untuk menyeleseikan sengketa. Dalam posisi ini, kita tentu berharap mendapatkan solusi terbaik demi kelangsungan hubungan bilateral dan multilateral RI dan Uni Eropa. Sebab, kedua negara saling membutuhkan satu sama lain.

Kondisi diatas erat kaitannya dengan Provinsi Aceh. Sebab, isi perut bumi wilayah Aceh sangat kaya akan kandungan mineral merupakan modal yang dapat digunakan untuk pembangunan di masa depan. Akan tetapi, hal tersebut menjadi sebuah Paradoks, sebagaima telah dipaparkan oleh Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), Ir. Rizal Kasli. Maksudnya adalah daerah yang kaya sumberdaya alam seperti mineral, memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi lebih rendah dibanding daerah lain yang tidak memiliki sumberdaya alam. Sebagai bukti, Aceh selalu berada di posisi kemiskinan paling tinggi di Sumatera. Angka yang dirilis BPS Agustus 2019 yaitu 15.32 %, sedangkan pengangguran 6.20 %.

Realita ini menjadi perhatian kita bersama. Di satu sisi pemerintah memandang perlu menggenjot pendapatan dan perputaran ekonomi dari pengelolaan sumberdaya mineral. Di sisi yang lain, pemerintah punya tanggung jawab untuk mengentaskan kemiskinan dan pelestarian lingkungan. Persoalan ini merupakan dasar implementasi UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 maupun UU No.11/2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Kita perlu membangun Paradigma baru tentang Industri Pertambangan Aceh, sehingga kita dapat melangkah kearah yang lebih tepat. Kita membutuhkan cara berfikir lebih luas, dan mampu menghasilkan konsep yang dapat diterapkan bersama. Sebab, perubahan dunia begitu cepat telah menuntut kita harus memiliki cara pandang terbarukan. Untuk memiliki paradigma maka perlu dipupuk kepekaan terhadap realita. Dalam kasus ini, seluruh komponen baik pemerintah, akademisi, investor, pelaku usaha, dan masyarakat harus memiliki kesadaran betapa pentingnya kehadiran industri, baik dampak positif maupun negatif.

Menurut pengamatan kami, pengelolaan sumberdaya mineral saat ini masih berupaya menuju solusi yang ideal. Jika di Pemerintah Pusat mengeluarkan larangan ekspor, maka Pemerintah Aceh selama ini menerbitkan Moratorium Tambang yang berlaku sampai 15 Juni 2018. Kebijakan ini layak diapresiasi, karena Negara yang diwakili Pemerintah wajib menjalankan amanat konstitusi dasar negara kita. Kekayaan sumberdaya mineral adalah milik semua rakyat, dan harus dikelola sebaik-baiknya demi kemakmuran rakyat pula.

Kami mengajukan proposal untuk membangun paradigma baru industri pertambangan. Pertama, kita menyadari bahwa sumberdaya mineral adalah penopang hidup manusia, bahkan menjadi kebutuhan dasar. Peralatan rumah tangga, seperti sendok garpu, gelas, piring, dan sebagainya berasal dari tambang. Produk komputer, Handphone, mobil, sepeda motor, cangkul, dan lain-lain juga merupakan bahan tambang. Maka tidak ada alasan yang kuat untuk menolak kehadiran tambang. Logika penolakan tersebut mengarah pada sikap primitif dan menolak perubahan kemajuan zaman.

Kedua, Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Kita sering menuntut agar pemerintah harus bisa mengelola sumberdaya mineral sebaik-baiknya, dengan segala perangkat dan wewenang yang dimiliki. Tidak mungkin memberikan beban berat kepada pemerintah yang juga memiliki urusan di berbagai sektor lain. Dibutuhkan kesadaran dan kontribusi semua pihak yang kami sebutkan diatas untuk memikul tanggung jawab ini secara bersama-sama. Sebab, sumberdaya mineral adalah nikmat dan anugerah yang diberikan Tuhan kepada negeri kita. Maka, kita patut mengelola dan menjaganya demi penyangga kehidupan.

Ketiga, Para pakar-investor-pemerintah Aceh harus merumuskan format rencana yang dibarengi kerja konkret pengelolaan sumberdaya mineral. Artinya, bagaimana menciptakan siklus industri tambang dari hilir ke hulu secara terintegrasi. Sehingga tercipta perputaran ekonomi yang dapat dinikmati oleh rakyat Aceh. Bukan tidak mungkin selain industri tambang, kita mampu menciptakan industri-industri lainnya yang akan menyerap lapangan kerja. Bila konsep atau model pengelolaan ini jelas, maka persoalan pembiayaan bukan hal sulit. Apalagi Aceh memiliki Perusahaan Daerah, dana APBA dan Otsus yang sangat besar.

Keempat, Keterbukaan data dan informasi. Kehadiran teknologi digital telah menciptakan ruang saling terbuka, bahkan sesuatu bersifat pribadi. Begitu juga industri tambang, seperti isu pencemaran lingkungan dan konflik lahan, sangat cepat menyebar dan menimbulkan reaksi sosial dan gerakan demonstrasi. Industri tambang dipandang sesuatu yang negatif, karena satu sisi tambang hanya kepentingan segelintir pihak, di sisi yang lain sebagai faktor merusak lingkungan. Secara terperinci, persoalan tambang jauh lebih kompleks bila ditulusuri secara keilmuan. Maka dibutuhkan suatu platform yang memuat data dan informasi tambang secara terbuka oleh Pemerintah Aceh, bisa diakses publik, dan menjadi bahan kontrol sosial. Kebijakan ini dapat membuka ruang diskusi publik secara luas dan mendalam.

Kelima, Menghilangkan prilaku KKN. Penyakit korupsi di Aceh bisa dikatakan seperti gurita, praktiknya mengakar dari hulu ke hilir hampir di segala sektor. Dari tingkat provinsi sampai ke perdesaan, semua elemen mengetahui, namun tak dapat menyadari bahwa prilaku tersebut telah menyengsarakan rakyat banyak. Tak perlu dipaparkan lagi angka-angka dan fakta mengenai persoalan ini. Begitu juga halnya di dunia industri pertambangan, praktik suap dan pemungutan liar untuk kepentingan pribadi dan kelompok sering terjadi. Akibatnya, timbul keraguan pihak investor untuk menggarap usaha. Ada multiefek yang ditimbulkan, yakni investasi tidak jalan, tidak ada sektor yang bisa digarap, tidak ada pemasukan ke pemerintah, perekonomian macet, lapangan kerja tidak ada, sehingga tercipta kemiskinan. Apabila prilaku korup tidak hilang, maka sulit untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

Negara kita boleh dikatakan memiliki segalanya, sumberdaya alam dan SDM. Bila dianalisis lebih jauh merupakan peluang, karena kita bisa menciptakan pasar sendiri. Tidak salah apabila kita optimis bahwa 2045, Indonesia akan menjadi negara maju dan Aceh adalah bagian penting dari cita-cita itu. Hal ini dapat dicapai jika kita memiliki fikiran secara terbuka dan memandang realita, lalu merasa bahwa mengelola sumberdaya alam adalah tanggung jawab kita semua sebagaiman ulasan kami. Karena dengan paradigma tersebut, kita dapat mengelola industri tambang di Aceh kearah yang tepat.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.