Menjawab Polemik Qanun Jinayat Dan Hukum Rajam

0
186

Patut di renungkan kembali, bahwa Qanun Jinayat yang telah disahkan oleh legislatif bersamaan dengan Qanun investasi, dan Qanun Wali Nanggroe, dimana semua Qanun tersebut hingga sekarang belum ditanda tangani oleh Gubernur, memuat 10 masalah kehidupan mendasar dalam beragama; bermesra-mesraan, berpeluk-pelukan dengan bukan mahram ditempat yang remang-remang di pinggir jalan ataupun di kedai-kedai, di tempat yang tersembunyi, homo sex, lesbian, perzinahan, pemerkosaan, pelecehan seksual, menuduh melakukan perzinahan, judi, dan meminum khamar.

Bila direnungkan lebih dalam lagi esensi dari muatan norma-norma tersebut, maka sangatlah naif bila kita mengatakan bahwa masyarakat Aceh belum bisa menerima isi kandungan dari Qanun Jinayat tersebut, karena itu sama saja mengesankan bahwa masyarakat Aceh identik dengan perzinahan, pemerkosaan, homo sex, lesbian, pelecehan seksual, dll. Pertanyaannya adalah; apakah memang begitu kehidupan masyarakat Aceh? Lalu apa maksud dari istilah Aceh sebagai Serambi Mekah? Bahwa Aceh memiliki kultur budaya Islam yang kuat dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya yang ada di nusantara ini?

Asumsi diatas menguatkan pernyataan penulis bahwa pada hakikatnya penolakan penegakan syariat Islam melalui Qanun jinayat sama sekali tidak mewakili suara masyarakat Aceh, isu yang dibangun itu hanyalah sebuah upaya membentuk opini yang berasal dari segelintir orang yang memiliki kepentingan tertentu termasuk mungkin karena ingin dikenal dan terkenal, kalau bahasa kampusnya adalah sebagai sarana untuk menjadi mujtahid yang kritis demi mengasah kemanpuan dalam menganalisa dan membuat opini dan semoga bukan karena sponsor dan intervensi Asing.

Asumsi diatas akan semakin kuat lagi jika kita mencermati perlawanan dengan senjata yang terjadi di Aceh, mulai dari Teungku Muhammad Daud Beureueh hingga detik-detik perjanjian damai Helsinki, dimana diantara isu pokok yang menyebabkan perlawanan itu eksis dan mendapat dukungan masyarakat adalah karena mengangkat isu penegakan syariat Islam.

Jawaban Teungku Muhammad Daud Beureueh tatkala di wawancarai oleh Boyd R. Compton, tentang mengapa dia melakukan perlawanan terhadap negara adalah; “Anda harus tahu, kami di Aceh ini punya sebuah impian. Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, pada masa Aceh menjadi Negara Islam. Di zaman itu, pemerintahan memiliki dua cabang, sipil dan militer. Keduanya didirikan dan dijalankan menurut ajaran agama Islam. Pemerintahan semacam itu mampu memenuhi semua kebutuhan zaman moderen. Sekarang ini kami ingin kembali ke sistem pemerintahan semacam itu” (Boyd R. Compton, Surat-Surat Rahasia Boyd R. Compton, Jakarta: LP3ES, 1995).

Mengenai hukuman rajam yang termuat dalam Qanun Jinayat yang kemudian menjadi pemicu munculnya opini, dimana patut diingat bahwa dalam diskusi-diskusi yang terjadi antara anggota pansus pembuatan qanun jinayat yang terdiri dari eksekutif dan legislatif dan staf ahli masing-masing, pasal yang menjadi bahan diskusi panjang hanyalah masalah rajam saja, tidak untuk yang lainnya. Artinya, kalaupun sesungguhnya terjadi penolakan atau dibutuhkan revisi ulang, maka yang ditolak atau yang direvisi ulang mestinya masalah rajam saja, bukan Qanun Jinayatnya secara utuh.

Namun kemudian usulan untuk menghapus hukuman rajam sebagai uqubat hudud bagi yang melakukan perzinahan setelah menikah tertolak, karena alasan-alasan yang muncul tidak bisa dijadikan sebagai pegangan kuat, termasuk kurang dapat dicerna secara umum oleh anggota pansus [baca; pengusul tidak mampu meyakinkan anggota pansus dengan argumen-argumen yang tajam]. Alasan-lalasan tersebut adalah; karena rajam tidak ada dalam Alquran, karena rajam sudah tidak berlaku lagi setelah turunnya surat annur ayat 1-3, dimana hukum bagi yang berzina sebagaimana yang disebutkan dalam ayat itu adalah cambuk seratus kali, karena hukum rajam hanyalah mazhab syafii, karena hukuman rajam masih menjadi khilafiah, bahwa kultur dan budaya Aceh tidak bisa menerima hukuman rajam, hingga kealasan paling terakhir adalah investor dari negara-negara non muslim pasti henkang dari Aceh karena tidak bisa menerima hukuman rajam yang melanggar HAM.

Alasan-alasan itu dianggap lemah karena ternyata memang tidak semua hukum Islam ada dalam Alquran, sebagai contoh; shalat lima waktu termasuk jumlah rakaatnya tidak di temukan dalam Alquran, apakah kemudian shalat lima waktu kita tolak atau dianggap sebagai masalah khilafaiyah? Jika memang tidak berlaku lagi setelah turunnya surat An-Nur, maka pertanyaannya adalah, kenapa kitab-kitab fiqih dan tafsir tatkala menjelaskan tentang hukuman perzinahan masih saja ada rajam, apakah mereka tidak mengerti syariat, termasuk ulama-ulama masa Sulthan Iskandar Muda, apakah juga mereka tidak mengerti syariat Islam hingga masih saja memberlakukan hukumam rajam? Kalau ternyata dia adalah mazhab syafii lalu kenapa Arab Saudi menjadikannya sebagai bagian dari hukuman pidana yang berlaku, semantara mazhab resmi saudi adalah Hambali? Kalau dianggap sebagai maslah khilafiah, pertanyaannya adalah siapa yang berbeda pendapat dengan siapa? Apakah ada masalah dalam Islam yang tidak diperbeda-pendapatkan?

Tatkalah muncul keyakinan bahwa Islam adalah agama yang benar ternyata banyak yang menantangnya dan mengatakan bahwa seluruh agama sama saja. Tatkala muncul keyakinan bahwa jilbab hukumnya wajib, ternyata lahir opini lain bahwa itu tidak wajib. Yang pasti keyakinan ummat Islam bahwa hanya Islam yang benar, jilbab hukumnya wajib, Tuhan itu hanya satu, semua itu ditolak secara resmi oleh pemerintah Negara-negara non muslim. Masalahnya adalah apakah kita mesti menggantungkan keyakinan agama kita kepada mereka?

Bila masalahnya adalah karena investor asing [baca;pesanan negara Asing], lalu mengapa investor asing khususnya Amerika masih saja mau menanam saham besar-besaran di Saudi yang juga menganut hukum pidana Islam? Bahkan untuk kasus Saudi ternyata mereka tidak memiliki Qanun Jinayat, Hakim dan Jaksa di Saudi langsung mengambil dasar pelanggaran yang berhubungan dengan pidana dari teks asli Alquran dan al hadis, termasuk dalam masalah rajam, dengan keyakinan bahwa nash-nash yang berbicara tentang rajam pada dasarnya sudah siap saji. Kasus investor Asing setelah kemenangan partai Islam di Turki justru naik menjadi 90%, dimana penanam sahamnya adalah negara-negara non muslim seperti Jerman, Inggris dan Belanda.

Kalau kaitannya adalah dengan HAM, maka pertanyaannya adalah apakah layak aturan Allah dianggap melanggar HAM? Bukankah defenisi HAM itu sangat relatif, dimana budaya lokal dan keyakinan agama menjadi unsur kuat dalam mendefenisikan HAM, itulah yang terjadi di Amerika, sebuah negara yang memperbolehkan laki-laki menikah dengan laki-laki dan perempuan menikah dengan perempuan dengan alasan HAM.

Mungkin sudah saatnya kita benahi diri kembali, tentang sejauh mana kualitas komitmen keislaman kita kepada Allah. Tentang sejauh mana tingkat syukur kita kepada Allah yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan syariat Islam di bumi tercinta ini, setelah komplik yang berkepanjangan yang dimulai dari perlawanan Daud Breueh –dimana isu penegakan syariat Islam menjadi isu sentral, dan kesempatan itu sudah didepan mata kita, masalahnya tinggallah apakah kita mau menjadi manusia yang bersyukur atau Allah menurunkan adzabnya.

Bila kita bermaksud untuk memakmurkan dan mensejahterakan sebuah negeri dalam berkah dan lindungan Allah maka hal itu tidak mungkin terjadi dalam situasi masyarakatnya yang banyak melakukan maksiat, melakukan pergaulan bebas, [baca: melanggar pidana Islam] tanpa kontrol pemerintah.

Itulah sebabnya nabi bersama sahabat-shahabatnya dalam membangun masyarakat madani di Madinah tidak di mulai dengan investor, juga tidak dimulai dengan pembenahan pertanian, dan lain-lainnya yang berhubungan dengan pembangungan.

Buku-buku sejarah bercerita kepada kita bahwa dalam kondisi ummat Islam kelaparan di Madinah, langkah utama yang dilakukan nabi adalah membenahi persaudaraan internal ummat Islam, menjaga akhlak dan moral ummat hingga jauh dari defenisi dekadensi moral, menumbuhkan semangat ibadah, mambangun jati diri ummat Islam hingga tidak terkesan ikut-ikutan karena ketergantungan dengan ummat lain dengan cara merubah kiblat, walaupun hal itu membuat orang Yahudi sebagai penguasa perdangan dan pertanian di Madinah pada sasat itu marah dan tersinggung, namun itu tidak jadi masalah karena moral, harga diri yang jauh dari intervensi asing, serta ibadah yang kuat adalah modal dasar dan utama yang harus menjadi pondasi dalam membangun sebuah peradaban Islam yang kuat menuju negeri yang makmur dan sejahtera dibawah ridha Allah[baldatun thayyibatun warabbun gafur].

Setelah itu, barulah kemudian Nabi membenahi ekonomi dengan berupaya berkerja sama dengan pihak luar termasuk yahudi, walaupun kemudian hak yahudi dalam mengelola lahan pertanian di Madinah dicabut karena berkhianat.

Kembali kepada hukum rajam, DR Wahbah Zuhaili penulis Tafsir al Munir berkata; saya menulis tafsir saya ini setelah menulis dua judul buku secara sempurna yang berjudul Ushul al Fiqih al Islami dalam dua jilid, al fiqhu al Islami wa adillatuhu fi mukhtalifi al madzahib, delapan jilid, dan setelah menjadi dosen di perguruan tinggi selama 30 tahun lebih, dan setelah mentahqiq beberapa hadis-hadis Nabi yang tertuan dalam kitab berjudul Tuhfatu al fuqaha karya al Samarqandi, dan kitab hadis yang berjudul al mushtafa min ahadisi al musthafa memuat 1400 hadis, dan kitab-kitab serta karya-karya ilmiah lainnya yang jumlah lebih dari 30 judul.

Masih kata DR Wahbah tentang hukuman rajam dalam Islam, beliau menafsirkan ayat 1-3 dari surat An-Nur, bahwa cambuk 100 kali yang dimaksud ayat ini adalah pelaku zina dari laki-laki atau perempuan yang belum pernah menikah, karena hadis tentang pelaku zina bagi yang telah menikah tidak diragukan lagi kesahihannya bahwa hukumannya adalah rajam [wahua hukmu al bikri duna al muhshan lima tsabata fissunnah anna hadda al muhshan hua ar rajam].al-Munir [18-124].

Wahbah melanjutkan, memang zhahir ayat ini adalah pelaku zina hukumannya adalah cambuk 100 kali, namun tsabata/telah pasti kesashihannya berdasarkan redaksi hadis yang mutawatir dan qathi dimana ada perbedaan hukuman antara yang telah menikah dan yang belum menikah, adapun yang telah menikah adalah dengan hukuman rajam, seperti riwayat Bukhari dan Muslim; tidak halal darah seorang muslim dialirkarkan kecuali karena tiga sebab; jiwa dengan jiwa dan pelaku zina yang telah menikah….

Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnah berkata; Adapun bagi pelaku zina yang telah menikah maka fara fuqaha telah sepakat bahwa hukumannya adalah rajam berdasarkan dalil-dalil sahih diantaranya; Hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Abu Daud, al Tirmidzi al Nasai, dari Ibn Abbas dari Umar bin Khattab berkata; sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad dengan kebenaran, dan sesungguhnya Nabi telah menegakkan hukuman rajam dan kitapun mengikuti hukuman itu, namun saya hawatir kelak setelah masa berlalu kemudian muncullah orang yang berkata;tidak ada ayat dalam Alquran yang berbicara tentang rajam, hingga dengan demikian mereka menjadi orang yang tersesat, ketahuilah bahwasanya hukuman rajam itu adalah sebuah kebenaran sebagai hukuman bagi pelaku zina dari laki-laki ataupun perempuan yang telah menikah.[fiqh sunnah,2/556].

Masih kata Sayyid Sabiq menukil perkataan as Sayaukani dalam kitab Nailu al authar; [amma ar rajmu fahua mujmaun alaihi] adapun hukuman rajam bagi yang telah menikah adalah sebuah hukuman yang telah disepakati secara ijma oleh ulama, karena hadis-hadis yang berbicara tentang rajam adalah mutawatir. As syauqani melanjutkan bahwa; memang ada kelompok yang mengatakan tidak harus hukuman rajam bagi yang telah menikah, yaitu dari kalangan khawarij namun Imam Thahawi dalam kitab Aqidah Thahawihayah memasukkan kelompok ini kedalam jajaran kelompok yang sesat.

Hal yang menarik dari kisah Alquran yang patut dijadikan spion pembanding dalam masalah polemik hukuman rajam [baca:Qanun Jinayat] adalah tentang kisah Musa dan Firaun, dimana kisah ini adalah kisah yang terpanjang dan yang paling sering di ulang dalam Alquran, hal yang mengisyaratkan bahwa memang semestinya kita berkaca pada cerita itu.

Musa sebagai pembawa misi kebenaran, yang ingin mengembalikan identitas kemanusian rakyat Mesir pada saat itu, memerdekakan mereka dari perbudakan, mengajak Bani Israil untuk kembali menyembah Allah, tapi ternyata dengan mudah perjuangan mereka terpatahkan hanya dengan opini sederhana Firaun bahwa Musa dan teman-temannya adalah penghambat pembangunan, pelaku kerusakan, tidak mengerti kultur dan budaya nenek moyang.

Diantara pernyataan Firaun yang diabadikan oleh Alquran adalah; biarkanlah saya membunuh Musa karena saya takut dia akan mengganti agama dan keyakinan kalian atau melakukan kerusakan di muka Bumi. Musa dan temannya adalah tukang sihir yang bermaksud menjauhkan kalian dari kultur dan budaya nenek moyang kalian. Begitulah Firaun membangun opini untuk mengabadikan misinya.

Pelajaran yang menarik dari cerita ini adalah bahwa ternyata pemenang perseturuan adalah tergantung siapa yang menguasai media dan opini, siapa yang berkuasa dan siapa berduit. Saatnya kita berkaca pada cerita itu, hingga polemik Qanun jinayat ini tidak berakhir seperti cerita belaka.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.