Salah satu realitas yang perlu kita letakkan dalam anatomi nilai tersebut adalah Universitas Syiah Kuala, yang oleh para funding father kita disebut sebagai jantung hatii rakyat Aceh. Meletakkan Unsyiah dalam anatomi nilai sedemikian mendesak dewasa ini, di waktu Aceh kembali membangun pasca konflik senjata yang berkepanjangan. Mengapa bagi penulis menjadi penting untuk meletakkan Unsyiah dalam anatomi nilaii yang disusun oleh Cak Nun diatas? Hal ini terdorong oleh muatan sejarah yang dikandung oleh Unsyiah. Bagi penulis, Unsyiah (dan juga IAIN Ar-Raniry) bukan sekadar perguruan tinggi yang didirikan untuk menyelenggarkan proses belajar mengajar secara formal. Namun Unsyiah memiliki beban sejarah yang panjang tentang Aceh Baru. Membaca Unsyiah secara berulang-ulang sama saja dengan membaca Aceh secara detil, itu dikarenakan Aceh berada di Unsyiah dan IAIN Ar-raniry.
Sekelumit Sejarah
Pendirian Unsyiah, sebagai bagian dari Kota Pelajar Mahaiswa (Kopelma) adalah proses panjang dari pembangunan kembali Aceh yang hancur paska perang melawan Belanda pada awal abad XX. Namun demikian, Aceh memiliki memori perlawanan terus menerus dan tidak bertekuk lutut di bawah kaki kaphe Belanda yang kemudian dijelaskan melalui hikayat Perang Sabil. Hikayat ini adalah sumber inspirasi teologis untuk melawan penjajah secara terus menerus (Ibrahim Alfian, 1987).
Psikologi perlawanan terus menerus terhadap pendudukan Belanda juga dilakukan melalui proses mordenisasi pendidikan yang memiliki orientasi pembaharuan Islam. Proses modernisasi pendidikan ini dibantu oleh pembukaan jalur transportasi pada zaman kolonial (Fachri Ali, MBM TEMPO/18 Agustus 2003), sehingga kelompok ulama yang nyata-nyata sebagai penentang keras Belanda bisa melakukan pembentukan kultural secara massif melalui pembangunan madrasah-madrasah yang lebih terbuka untuk menerima modernisme.
Perkembangan madrasah di Aceh tahun 1920-an dan 1930-an sangat dipengaruhi oleh pemikiran modern yang sudah berkembang di di Timur Tengah sebelumnya, yang kemudian memberi pengaruh yang sangat kuat di sumatera Barat. Jaringan pendidikan antara Aceh dan Sumatera Barat inilah yang kemudian memberi pengaruh yang signifikan terhadap tumbuhnya generasi pembaharu. Bahkan secara kuantitas pemuda-pemuda Aceh yang dikirim ke Sumatra Barat tahun 1930-an mencapai lebih 1000 orang (Ali Hasymi, 1984). Alumni-alumni dari Sumatera Barat ini kemudian menjadi guru pada Madrasah yang dibuka di Aceh pada permulaan tahun 1930-an
Generasi pembaharu ini yang kemudian secara kolektif mengisi ruang-ruang kebudayaan dan keagamaan masyarakat dengan menjadikan Madrasah-Madrasah sebagai basisinya. Ketika generasi pembaharu ini melakukan konsolidasi dengan membentuk Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), maka organisasi ini menjadi sangat kuat. PUSA bahkan juga mendirikan sebuah sekolah guru yang bernama Normal Islam Institut di Bireuen, yang dipimpin oleh M. Nur El Ibrahimy, seorang sarjana alumni Mesir (Rusdi Sufi: Organisasi Sosial Politik Dan Keagamaan Di Aceh Pada Awal Abad 20). Kesadaran yang ditunjukkan oleh generasi pembaharu sangat menarik karena mereka terus konsisten dalam melakukan modernisasi pendidikan.
Konsistensi generasi pembaharu terhadap modernisasi pendidikan tidak terbunuh walau mereka melakukan pemberontakan DI/TII. Pemberontakan politik oleh generasi pembaharu ini berbuah lahirnya sebuah universitas di Darussalam, yaitu tempat di mana digantungkannya cita-cita menuju Aceh Baru. Bukti inilah yang saya sebut sebagai kekonsistenan generasi pembaharu terhadap pembangunan kembali Aceh. Ali Hasymi, Syamaun Gaharu, yang juga merupakan bagian dari generasi pembaharu itu menterjemahkan cita-cita tersebut melalui pembangunan Kopelma, dimana Unsyiah menjadi tulang punggungnya.
Unsyiah sebagai Pesan sejarah
Sejarah panjang sengaja saya uraikan adalah untuk menarik benang merah antara Unsyiah kini dan generasi sebelumnya. Hal ini dianggap penting untuk membuka ruang kesadaran kita bahwa Unsyiah bukan lembaga pendidikan yang tiba-tiba muncul, melainkan buah dari proses politik dan sosial yang panjang sejak tahun 1920-an. Hal ini bisa kita lacak melalui aktor dan gagasan yang melatar belakangi pembangunan Unsyiah.
Atribut nilai juga begitu kuat, dengan memberi nama Syiah Kuala. Nama seorang ulama besar yang telah memberi bekas dalam pengislaman nusantara. Unsyiah harus dipahami sebagai perjuangan untuk membangun sebuah identitas baru, identitas yang terlepas dari segala bentuk penjajahan kaphe serta identitas yang mengikuti semangat generasi yang sudah harum sebelumnya.
Dalam anatomi nilai para pendahulu kita, Unsyiah itu mendapat nilai wajib. Artinya Unsyiah harus ada, tidak boleh tidak, karena karena keberadaanya akan membangun Aceh yang hancur karena perang dan konflik. Namun bagi generasi sekarang, dengan beragam kerumitan dan kegaringan intelektual, apakah Unsyiah masih tetap bernilai wajib, yang keberadaanya harus ada Atau Unysiah sudah harus kita masukan dalam anatomi nilai yang kita sebut haram, yang berarti Unsyiah tidak boleh ada karena ketidakmampuan Unsyiah dalam merespon segala perubahan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Selamat Ulang tahun Kopelma Darussalam.