Senin (15/5/2017) – Setelah melaksanakan beberapa seri kegiatan evaluasi Pilkada Aceh 2017, The Aceh Institute (AI) menggelar Forum Dengar Pendapat (FDP) dalam rangka menyimpulkan segala rekomendasi yang lahir dari kegiatan-kegiatan sebelumnya. Kegiatan yang berlangsung di Hotel Oasis Banda Aceh ini menghadirkan Mawardi Ismail (pakar hukum) dan Ridwan Hadi (Ketua KIP Aceh) selaku narasumber. Forum ini juga difasilitasi oleh Ismaramadhani dan menghadirkan berbagai stakeholders seperti KIP dan Panwaslih Kota Banda Aceh, KIP dan Panwaslih Aceh Besar, serta berbagai perwakilan LSM yang concern dengan penyelenggaraan Pilkada Aceh 2017.
Dalam paparannya, Mawardi mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh AI untuk turut serta mengevaluasi berlangsungnya Pilkada Aceh 2017. Sepatutnya hal ini dapat menjadi kontribusi penting bagi berjalannya Pilkada Aceh di masa yang akan datang, ujarnya. Lebih lanjut, setelah mempertimbangkan seluruh masukan dari para stakeholders yang terlibat dalam seluruh rangkaian kegiatan AI demi mendukung efektifitas Pilkada Aceh 2017, menurutnya terdapat tiga (3) rekomendasi penting yang dapat menjadi penyempurnaan evaluasi Pilkada di Aceh tahun ini.
Pertama, terkait dengan rekomendasi hukum. Terlambatnya pengesahan Qanun Aceh telah menimbulkan kontroversi tentang payung hukum pilkada 2017 di Aceh. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan peraturan perundang-undangan yang signifikan sehingga mengharuskan adanya perubahan Qanun Aceh terkait Pilkada. Sehingga, terhambatnya pengesahan Qanun ini mengganggu perasaan, kenyamanan, dan keyakinan stakeholders pilkada. Oleh karena itu menurutnya, harus segera dibentuk Qanun terbaru terhadap pilkada.
Masih terkait undang-undang, peraturan perundang-undangan pilkada yang sudah ada menimbulkan potensi lahirnya gugatan. Contohnya terdapat pada beberapa pasal misalnya dukungan 15% minimal terhadap paslon partai lokal atau nasional masih belum jelas. Pasal lain terkait sumbangan dan atribut kampanye juga masih memiliki celah untuk diperdebatkan. Beberapa pasal yang sudah berpedoman pada UU masih mengacu pada peraturan perundang-undangan yang sudah tidak berlaku lagi. Oleh karena itu, seharusnya Qanun mengatur hal-hal yang lebih rinci, karena prinsip perundang-undangan semakin rendah semakin rinci. Seharusnya, apabila ada aturan tentang hal-hal yang berpotensi menjadi gugatan, maka perlu segera dibuat aturan yang jelas mengenai hal tesebut.
Kedua, terkait dari sisi penyelenggara yakni KIP dan Panwaslih. Secara umum, kinerja KIP dinilai lebih baik dari Panwaslih. Hal ini mungkin saja terjadi akibat sifat pembentukan kedua lembaga yang berbeda, dimana KIP dibentuk secara permanen sedangkan Panwaslih dibentuk secara ad hoc. Seharusnya, Panwaslih dibentuk secara permanen juga ke depannya. Di sisi lain, proses rekrutmen komisioner KIP yang hanya dikelola oleh DPRA di level provinsi maupun DPRK di level Kabupaten/Kota juga berpotensi melahirkan komisioner-komisioner yang tidak independen. Sulit dipungkiri bahwa proses ini tidak dipengaruhi nuansa politis. Menurut Mawardi, jika UUPA direvisi maka ketentuan tentang KIP juga perlu direvisi, apakah harus mengikuti pola nasional atau khusus. Namun begitu, DPRA tetap perlu untuk dilibatkan dengan tambahan pihak lain yang kredibel dan capable seperti tim seleksi khusus. Hal ini diharapkan akan terjadinya sistem check and balances yang baik dalam proses pengrekrutannya.
Kehadiran Negara ketika Pilkada juga dinilai sangat perlu, tetapi standard operational procedure (SOP) terkait pengawasan TNI/Polri ketika berlangsungnya Pilkada perlu diperbaiki. Hal ini diyakini agar semua pihak merasa aman dan nyaman. Poin penting lainnya adalah terkait pemutakhiran data yang menyangkut marwah Pilkada. DPS telah disusun, namun masih memiliki banyak kelemahan. Seperti tidak disusun sesuai dengan abjad dan DPPS. Sehingga ramai yang tidak mau mencari nama mereka di DPS yang telah diumumkan. Selain itu, pilkada kali ini memang telah memberikan banyak kemudahan seperti boleh memilih dengan menunjukkan KTP ataupun KK. Akan tetapi, kurangnya sosialiasi yang baik tentang waktu penggunaan hak pilih masih menimbulkan masalah di lapangan. Poin lainnya terkait pemilih disabilitas, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh KPU menunjukkan kesalahan data. Selain itu, kesan yang tampak bahwa golongan disabilitas di-marginal-kan oleh penyelenggara Pikada. Oleh karena itu ke depannya, jika memang terdapat TPS yang memiliki daftar disabilitas, maka perlu dibuatkan TPS yang ramah terhadap mereka atau menjemput suara dari mereka apabila yang bersangkutan tak mampu datang ke TPS.
Ketiga, terkait penyelesaian perselisihan hasil pemilu. Dalam Qanun, perselisihan diselesaikan dengan peraturan perundan-undangan. Hal ini menyebabkan setiap paslon dapat memilih peralatan hukum yang sesuai dengan kebutuhannya dan menimbulkan kebingungan sehingga menghabiskan energi publik dan lembaga. Oleh karenanya, Qanun Aceh kedepannya harus menampung permasalahan perselisihan tersebut.
Dalam hal ini, Mizan Muhammad menambahkan bahwa dalam kasus Panwaslih Aceh Besar, mereka dibentuk di bulan 2, dilantik di bulan 5 dan baru mendapatkan anggaran di bulan 9. Kurangnya dukungan kesekretariatan juga menimbulkan masalah, seperti minimnya gaji untuk para staf. Oleh karenanya, sulit mendapatkan staf yang dapat bekerja dengan optimal. Selain itu, jika dilihat dari luasnya wilayah Aceh Besar yang juga mencakup 2 pulau (Pulau Nasi dan Pulau Breuh), maka tidak sebanding dengan jumlah SDM di Panwaslih yang hanya 5 orang. Sementara itu, Panwaslih Kota Banda Aceh, M. Heikal Daudy melihat bahwa mereka seakan ditinggalkan oleh pengawas provinsi. Menurutnya, Panwaslih provinsi gagal dalam menciptakan sistem yang padu dan integrated dalam pengelelolaan pengawasan Pilkada yang mampu bekerja untuk semuanya. Dalam persepsi yang saa, Indra dari KIP Banda Aceh juga sepakat dengan perubahan status Panwaslih dari ad hoc menjadi permanen. Adanya ketidakadilan antara penyelenggara dan peserta akibat hal ini, ujarnya.
Menanggapi rekomendasi dari Mawardi, Ridwan Hadi selaku Ketua KIP Aceh dalam closing statement-nya sepakat bahwa perlu adanya upaya untuk mengurangi multi-tafsir dalam regulasi hukum Pilkada. Kemudian menurutnya, penyelenggara Pilkada yang bermartabat juga menjadi kunci penting dalam berjalannya pelaksanaan Pilkada Aceh di masa depan. Di akhir sesi, The Aceh Institute menyerahkan hasil diskusi dan rekomendasi dari kegiatan terkait Pilkada Aceh yang dilakukan oleh AI selama dua bulan terakhir. Harapannya, hal ini mampu memberikan kontribusi positif bagi penyelenggaraan Pilkada Aceh yang lebih baik.