Sejarah tentang mahar menarik untuk dicermati dimana pada prakteknya ditemukan banyak ragam perbedaan, terutama jika wilayah kajiannya adalah Indonesia. Mau tak mau, Aceh harus diikutsertakan dalam usaha menemukan varian-varian dimaksud. Perbedaan penentuan kuantitas mahar menjadi dalil betapa Aceh dapat menyajikannya dengan dinamis. Pidie misalnya terkenal dengan kuantitas mahar yang tinggi. Sekat-sekat sosialita menjadi penentu tingginya jumlah mahar. Hal ini tak terjadi di bagian Aceh lainnya.
Mahar sebagaimana Rasulullah sebutkan dalam hadis riwayat Muslim adalah suatu pemberian yang sederhana, tulus dan tidak memberatkan. Frase tidak memberatkan harus secara dipahami secara kontekstual. Hakikat mahar adalah memberdayakan perempuan. Ketidakpahaman ini yang meyeret istri sebagai objek kekerasan. Beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menujukkan bahwa persoalan mahar menjadi penyebab salah satu faktor.
Penulis memahami betul keresahan Sarah Mantovani ketika mengulas tentang mahar di Aceh Institute beberapa tahu lalu, begitu juga kerisauan Muhadzir yang menulis hal serupa. Muhazir tampaknya ingin esensi mahar ini turut membawa serta tangan pemerintah yakni melalui subsidi mahar.
Praktek mahar juga menarik dicermati melihat bagaimana pergumulan adat di India yang terbiasa membeli laki-laki yang derajatnya tinggi atau seorang ayah yang memberikan mahar kepada anak perempuannnya lalu suami berhak memiliki mahar tersebut. Berbagai fenomena ini harus direspon secara arif, tentang sudah relevankah implementasi konsep mahar, dan atau sudah sesuaikah konsep mahar dengan maqashid syar’iyah.
Pemberdayaan Perempuan
Konsep mahar harus dipahami kembali secara antropologis-sosiologis yang tetap merujuk kepada fikih. Sebenarnya hakikat dari mahar itu sendiri adalah memberdayakan para istri, mahar menjadi pegangannya disaat para suami mulai betindak diluar kewenangannnya. Mahar adalah simbol harga diri. Apa yang menjadi fenomena adalah seringnya mahar dianggarkan untuk acara walimah sehingga mengakibatkan esensi mahar menghilang begitu saja.
Perempuan tanpa skill plus dengan kehilangan mahar tak bisa melakukan apa-apa jika kasusnya adalah kesewenang-wenangan suami. Data-data mahkamah syariah mengindikasikan titik nadhirnya perjalanan rumah tangga sebagian masyarakat Aceh melalui kasus cerai gugat.
Suami dinilai gagal melaksanakan kewajibannya, fokus akan pemenuhan hak-hak dengan mengabaikan kewajiban menjadi kekeliruan besar yang dilakukan. Tragisnya pasca perceraian istri tak bisa lagi berbuat apa-apa, bahkan dalam beberapa kasus uang sepersenpun sudah tak dipunyai lagi, mahar yang menjadi pegangan istri sudah lenyap untuk acara pesta walimah.
Mengembalikan Marwah Mahar
Prakek pemberian mahar yang bertentangan dengan maqashid syariah kerap terjadi khususnya di kampung pedalaman. Hukum adat menjadi rintangan dalam meneapkan konsep mahar khas maqashid shariah.
Mahar jika dilihat dari istilah ilmu fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya dalam kaitannya dengan perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan tentang pengertian mahar yakni sebagai pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik bebentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Fakta bahwa seorang perempuan berprofesi dokter di Kabupaten Pidie misalnya mahar perkawinannya haruslah pada batasan yang sangat tinggi sedangkan perempuan yang hanya tamat Sekolah Dasar (SD) maka jumlah maharnya cukupla dengan batasan paling rendah. Hal ini terus berjalan dan bagi masyarakat sendiri sudah tak lagi menjadi masalah besar. Padahal praktek ini sendiri sudah jauh melenceng daripada fikih terutama fikih Syafi’i yang dianut masyarakat Aceh sendiri.
Ketimpangan praktek pemberian mahar ini telah memunculkan kesan akan perendahan derajat wanita. Padahal Islam adalah agama yang menerapkan konsep musawah antara satu dengan lainnya.
Disatu sisi tingginya mahar haruslah diapresiasi dengan melihat kepada anasir-anasir positif yang ada di belakangnya. Tatapi ada ketimpangan yang besar manakala wanita Aceh telah dikastakan sesuai dengan nasab dan pekerjaaannya. Untuk itu Mahar harus dikembalikan kembali kepada konsep fikih sebenarnya..
Mahar pada akhirnya menjadi tempat untuk menaikkan grade para istri. Wanita harus dihormati dan kaum Hawa harus responsif. Tak serta merta bisa diperlakukan semena-mena. Membangun kembali konsep mahar adalah sebuah keniscayaan agar unsur-unsur maqashid syari’ah bisa terpenuhi. Kaidah Fikhiyah menyatakan, Addaf’u Aqwa min Raf’i. Mengobati menjadi hal utama daripada menghilangkan sesuatu.
Penulis tak terlalu terkesan dengan apa yang dipertontonkan di media tentang mahar berupa mushaf Alquran atau hal-hal bernilai romantis-hostoris dari pasangan selebritis misalnya karena hal ini pada dasarnya tak membawa nilai-nilai dari konsep mahar itu sendiri. Belajar kembali dari sejarah maharnya Nabi Musa dan Rasulullah akan mampu menyadarkan kita bahwa hakikat mahar itu sangat bernas dan sakral.
Azmi Abubakar
[Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo. Mahasiswa Pasca Sarjana Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry.] Email: azmiabubakarmali@gmail.com