Aceh Tan Pakat

1
850
Pertemuan dengan CSO yang tergabung dalam CIVICUS Finlandia (2003)

Namun yang kita jalani adalah pola terbalik; berteman dengan orang lain seraya membusuki teman sendiri. Mendongkrak kualitas diri dengan menginjak bahu saudara sendiri. Padahal tanpa sadar kita sedang saling melemahkan.

FAJRAN ZAIN

Terminologi pakat dalam bahasa Aceh memiliki beberapa makna. Diantaranya bisa berarti ajakan, bisa juga berarti satu kata. Catatan ini hendak menggabungkan dua makna denotatif itu menjadi satu topik bertajuk ajakan bersatu kata.

Anda mungkin pernah mendengar kisah bahwa dahulu ada kelompok pebisnis Aceh berbasis di Medan yang sangat solid; Aceh Kongsi namanya. Pada masanya mereka adalah pebisnis yang sangat berjaya, namun sekarang entah sudah sampai dimana cerita perkongsian itu. Masih cerita dari Medan, sampai sekarang kita masih mendengar tentang organ paguyuban masyarakat bernama “Aceh Sepakat”. Semoga hingga hari ini masyarakat Aceh di Medan masih berpakat-pakat dan bersatu kata.

Kisah sukses yang fluktuatif ini sering dirilis tidak hanya berada di Medan, tetapi juga ada di Jakarta dan seluruh kota-kota besar di Indonesia, bahkan hingga ke luar negeri. Banyak yang membuat kita terkagum-kagum atas segala prestasi yang pernah mereka raih, tetapi bukan tidak ada yang akhirnya hanya tersia-sia dan berlalu dimakan sejarah.

Istilah pakat ini sebenarnya mengandung konsep yang luar biasa menantang. Seringkali untuk hal taktis dan strategis, sesama orang Aceh kita tidak pernah saling ajak, juga sulit bersatu kata. Satu tamsil saja; alkisah dalam masa jabatannya Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri, pernah meminta satu nama sebagai representasi rakyat Aceh untuk duduk di dalam jajaran Kabinet-nya. Spontan muncul sebelas nama yang dijagokan. Sayang sekali karena rakyat Aceh tidak satu suara akhirnya tidak satu namapun yang dipilih, sebagai konsekuensinya  tidak ada wakil rakyat Aceh di Kabinet pada periode itu.

Saat ini, dalam suasana pemerintahan baru dan semangat membangun Aceh yang baru, akan sangat positif bila kita mengenang kembali makna pakat dalam kehidupan sehari-hari kita. Dengan ikhtiar hal ini bisa menjadi perekat dan kehendak kolektif yang akseleratif bagi kemajuan Aceh, yang berdasarkan data dari lembaga UNDP memerlukan paling tidak dua generasi untuk bisa memacu ketertinggalan agar sejajar dengan propinsi-propinsi lainnya di nusantara.

Masyarakat Kompetitif

Ilustrasi pembuka diatas adalah pemandangan sehari-hari kita, fenomena tentang sulitnya kita bersatu kata. Ada yang mendiskusikan sebabnya, ada yang terus bertanya-tanya, ada juga yang lelah berfikir dan menerima realitas ini sebagai takdir diri, seraya bergumam, cit ka meunan (memang sudah begitu adanya). Lalu pertanyaannya, apakah orang Aceh memang seperti itu?

Sulit menghujjahnya. Riset antropologis dan sosiologis yang pernah dilakukan, bahkan oleh ilmuwan internasional sekalipun, sejak zaman Belanda hingga saat ini, memang menyimpulkan beberapa kualitas unik yang dimiliki oleh masyarakat Aceh. Berbagai stereotipe pun dilekatkan; Aceh yang keras kepala (stubborn), hobby berperang, pendekar cang panah, tak suka setengah-setengah (lagee nyan crah meunan beukah), dan salah satu hal lain yang menonjol adalah tak lihai berkelompok.

Tidak perlu heran, kepribadian ini terbentuk melalui rentang waktu yang panjang, menyejarah dan mengendap dalam norma serta perilaku sehari-hari. Adalah rahasia umum bila nilai yang berkembang dalam kultur Aceh sangat menekankan pada citra independensi dan egalitarianism. Ini pula yang membuat pola interaksi sosial dan juga komunikasi politik di Aceh menjadi unik. Sebagai ilustrasi, pernah ada seorang nelayan yang baru selesai berpukat, lalu secara tidak sengaja bertemu dengan (Alm) Nurdin AR (pada waktu itu adalah bupati Pidie), tanpa merasa berjarak sang nelayan meminta sebatang rokok. Hebatnya sang bupati tidak merasa tersinggung. Bisa diyakini bahwa hal ini tidak akan kita dapati di tengah-tengah budaya tanah babad, apalagi di keraton Solo atau Yogyakarta.

Independensi dan egalitarianisme dalam kondisi tertentu dipandang sebagai hal yang positif. Namun seringkali maknanya membias secara ekstrim. Setiap individu Aceh semua merasa sebagai cucu raja, semua adalah panglima. Maka terjebaklah kita dalam perangkap kompetisi yang memenjarakan sudut pandang. Disibukkan dengan soal-soal eksistensi, hingga akhirnya kita menjadi pemain tunggal.

Fenomena itu seolah menjadi bagian dari karakter yang menetap. Banyak pendekatan yang bisa dijadikan faktor penjelas. Perspektif social learning menuduh perang dan konflik yang telah menjadikan Aceh menjadi orang-orang yang penuh rasa curiga. Kita yang lama bersetia, namun hanya menerima pengkhianatan. Hubungan simbiosis yang berkembang telah memangsa diri sendiri dan menjadi keterikatan yang manipulatif. Akhirnya kita menyatakan tidak percaya pada siapapun.

Kaum developmentalis secara lebih spesifik berargumen bahwa gangguan isolasionis tersebut adalah refleksi dari kegagalan membangun hubungan dengan orang lain. Sindrom ini merupakan manifestasi dari kurangnya perhatian dari keluarga inti, juga dari lingkungan terdekat, dalam masa-masa awal perkembangan pasca kelahiran (post-natal). Lalu kitapun tumbuh menjadi pribadi yang tidak mudah percaya pada orang lain, juga tidak cerdas secara emosi.

Banyak lagi alasan lain, yang bisa kita gali guna menemukan jawaban yang  meyakinkan, termasuk juga untuk membuat pola intervensinya. Apapun adanya, pola hidup seperti ini tentu tidak produktif. Lihat saja betapa kita telah kehilangan momentum-momentum penting untuk merebut peluang, termasuk juga untuk melakukan lompatan besar perubahan kehidupan sosial pasca tsunami. Lalu, setelah kita punya pemimpin baru hari ini, apakah peluang itu harus kembali pergi?

Horizontal – Vertikal

Sikap hidup kompetitif tersebut bukanlah hal yang tabu. Justru sangat diperlukan untuk melakukan akselerasi perubahan. Sayangnya pola hidup kompetitif yang kita jalani berkualitas rendah. Padahal Nabi Muhammad SAW mengajarkan satu filosofi yang visioner; tegaslah terhadap orang asing/kafir dan bersanding bahulah sesama kaummu. Muhammad Rasulullah wal ladzina aamanu asyiddaa-u ‘alal kuffar ruhamaa-u bainahum (QS: Ar-Ra’d 11)

Atau juga doktrin yang mengatakan; belalah rekanmu di depan orang lain, lalu hukumlah dia di belakang mereka setelah itu. Doktrin ini sangat guna membangun citra individual yang berharga diri (esteem) dan citra kelompok yang solid, maka sikap keberpihakan kepada kaum sendiri harus dipertegas.

Namun yang kita jalani selama ini di Aceh adalah pola pendekatan yang terbalik; berteman dengan orang lain seraya membusuki teman sendiri. Mendongkrak kualitas diri dengan menginjak-injak bahu saudara sendiri. Padahal tanpa sadar kita sedang saling melemahkan yang bermuara pada melemahkan diri sendiri. Model pendekatan kompetitif yang kita jalani selama ini telah menyesatkan kita dari keinginan untuk sama-sama meraih kesuksesan.

Lebih jauh, kompetisi yang terjadi tidak hanya soal pertarungan antara sesama generasi, tetapi melebar pada level antar generasi. Selama ini, di dasar kesadaran kita terdapat perasaan curiga, takut, dan cemburu yang mengganggu keharmonisan hubungan, baik antara rekan-rekan se-usia (cohort) dan juga antar jenjang generasi, ke atas-ke bawah. Maka tinggallah bibit-bibit potensial yang habis dimakan oleh egoisme para senior, dan oleh sinisme rekan-rekan se-usia, juga oleh jejak waktu yang terus berjalan.

Mungkin kita perlu berlatih cara mengembangkan kerjasama seperti yang dipraktekkan oleh saudara-saudara kita dari Tapanuli, Minang, dan Bugis. Lihat saja bagaimana ketika sesama Bugis saling mendongkrak, siapa yang tidak kenal nama-nama seperti AA. Baramuli, A. Latief, Malaranggeng bersaudara, Marwah Daud, Ketua KNPI Idrus Marham, Ketua PB-HMI plus PB-KOHATI, yang relatif naik ke panggung kekuasaan bersamaan dengan masa jabatan Jusuf Kalla di pemerintahan nasional.

Lihat Bagaimana Azyumardi Azra, yang pada masa jabatannya sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah (Syahid) Jakarta, berhasil menjadikan UIN Syahid itu menjadi UIN Cabang Imam Bonjol di Padang. Azra memberi ruang yang besar bagi dunsanak-dunsanak yang berprestasi untuk ikut berkontribusi, sebagai tenaga pengajar, guna membangun kualitas SDM Indonesia. Sementara Aceh hanya memiliki 3 atau 4 orang dosen dari seribuan lebih tenaga pengajar di institusi tersebut. Padahal pada era-era awal, tahun 1960-an, IAIN Syahid hanya memiliki 3 Fakultas yang ketiganya dijabat oleh orang Aceh: Peunoh Daly (Fakultas Syariah), Muhsin Idham (Fakultas Tarbiyah) dan Abdul Muthalib (Fakultas Dakwah). Dan banyak sekali beberapa contoh lainnya.

Jangan salah tafsir. Ini bukan ajakan untuk melakukan KKN yang picisan, tetapi lebih pada himbauan untuk mampu mengembangkan kerjasama ke dalam (internal), dan berkompetisi keluar (external), saling mempromosikan kekuatan yang ada dan menahan diri terhadap kelemahan sesama. Agar kita tak terjebak menjadi petarung yang egois dan hebat di kandang.

Franciss Carr, seorang psikolog sosial dari Australia, memperkenalkan konsep dinamika kelompok yang disebut dengan  Motivational Gravity. Dia membagi pola kerjasama kolektif ke dalam 4 kuadran. Kuadran 1 (pull up – push up) yaitu seniornya mempromosikan dan rekan-rekannya juga ikut mendukung promosi itu; kuadran II (pull up – push down) yaitu seniornya mempromosikan walau rekan-rekannya menjatuhkan citranya; kuadran III (pull down – push up) seniornya mengacuhkan potensinya namun rekan-rekannya terus menerus mempromosikan; dan kuadran IV (pull down – push down) seniornya acuh dan rekan-rekannya juga ikut menjatuhkan citranya.

Maka dalam kuadran manakah kita berada? Tentu akan sangat ideal berada dalam kuadran 1 –senior dan teman sejawat ikut mempromosikan—namun terkutuklah kita bila masuk dalam kuadran 4, disaat senior acuh teman sejawat juga ikut menjatuhkan prestasi kita. Saya khawatirkan bahwa kita sedang berada di kuadran 4 ini. Semoga kekhawatiran saya salah.

Dalam aspek strategis, kesadaran kerjasama ini jelas diperlukan, karena sebagai entitas kolektif kita juga ingin tampil dalam blantika nasional atau bahkan internasional. Kita butuh banyak sekali orang-orang yang pakar di berbagai bidang, di berbagai lini. Minimal sebagai prasyarat untuk membentuk lapis kelas menengah yang kuat guna mempercepat proses recovery Aceh pasca konflik dan bencana alam, khususnya mengisi proses perdamaian Aceh

Gardner (1990) melansir bahwa diperlukan setidaknya 1% dari semua warga dewasa sebagai pemimpin di seluruh lini kehidupan. Mereka adalah kelompok minoritas yang memiliki nilai lebih (value added) dan bisa menjadi motor (driven) bagi 99 % sisa populasi yang ada, guna mentransformasikan ide ide perubahan. Pertanyaannya, dari 4.2 juta asumsi penduduk Aceh hari ini, apakah kita memiliki angka 1% itu?

Pernah dimuat di website Aceh Institute edisi 16 Februari 2006

1 COMMENT

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.