Hanya saja tafsiran berbeda difahami oleh DPRA atas pembentukan Bawaslu Provinsi Aceh. Atas tindakan itu publik melihat muatan politisnya terasa sekali. Bawaslu harus terbebaskan dari upaya mengarahkan atas kepentingan kelompok atau partai tertentu. Kalau dibentuk oleh hasil rekruitmen politik Bawaslu Provinsi Aceh hingga kabupaten/kota maka hasilnya politis juga.
Terjebak Pada Kepentingan
Jangan sampai hanya karena faktor kepentingan atas rekrutmen anggota Bawaslu versi DPRA, menjadi pemicu dan mencari celah sehingga bertindak diluar mekanisme yang sudah ditetapkan melalui aturan hukum. Ini juga menunjukkan karakter pemimpin yang kurang memberikan panutan dalam menyelesaikan konflik antar institusi
Semangat memaksakan kehendak dari DPRA terlihat keinginan melakukan pemilihan ulang Bawaslu Provinsi Aceh yang sudah dilantik terlihat dengan arogansi ingin menarik aset fasilitas dan personil Sekretariat milik Pemerintah Aceh yang digunakan oleh Bawaslu Provinsi Aceh. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terlihat dari awal proses pembentukan Bawaslu sangat memaksakan kehendak.
Semakin tidak menuju titik terang penyelesaian konflik politik dan hukum ketika Mahkamah Konstitusi tidak tegas, bahkan mengarahkan ke muara konflik ke depannya. Ada poit dari isi putusan MK mengatakan antara Bawaslu RI bersama Pemerintah Aceh dan DPRA harus bermusyawarah, berarti putusan tersebut bersifat saran dan mengambang. Kalau pun tidak menemukan titik temu saya sarankan tetap saja berjalan fungsi dan perannya Bawaslu Provinsi Aceh untuk mensukseskan pemilu 2014.
Dasar pertimbangannya adalah Bawaslu pusat memiliki Surat Keputusan Pengangkatan Bawaslu Provinsi Aceh sebagai dasar pelaksanaan kerja dan dukungan anggaran. Seandainya saja Bawaslu Aceh seluruh fasilitas dan staf ditarik, maka seluruh penganggaran dan staf disediakan oleh Bawaslu Pusat. Terlepas nantinya DPRA membentuk Bawaslu versi mereka sendiri. Namun tidak logis jika harus membekukan dan membentuk lain seluruh struktur Bawaslu dari provinsi hingga kabupaten/kota dengan alokasi waktu yang sangat pendek sekali (2 bulan).
Kondisi Kekinian
Kondisi lainnya dihadapi DPRK yang telah melakukan perekrutan Panwaslu Kabupaten versi DPRK akan menghabiskan anggaran daerah karena tidak tercantum dalam APBA/APBK, jika hal tersebut dipaksakan secara politik patut diduga bahwa anggaran tersebut tidak mempunyai legetimasi hukum atas penggunaan anggaran disetujui oleh Depdagri.
Panwaslih yang direkrut oleh DPRK, akan menemui kendala soal SK dan Pelantikan/pengukuhan, karena tidak mempunyai instansi induk tidak ada garis koordinat/garis komando dengan Bawaslu Aceh dan Bawaslu Pusat.
Sekali lagi saya katakan jika kenyataan ditarik jangan salahkan penilaian masyarakat Aceh bahwa DPRA berupaya memperlemah pengawasan pemilu 2014. Bisa di pastikan kontestasi aktor dari partai politik akan melakukan segala cara yang melanggar hukum dan mencederai nilai-nilai berdemokratis. Ataupun pikiran liar saya ingin mengkondisikan dalam keadaan demikian.
Saat ini sangat diperlukan kehadiran Bawaslu Aceh guna mengawasi partai politik agar menjalankan seluruh proses pemilu sesuai dengan aturan, khususnya terkait alat peraga kampanye, kecurangan seperti; money politic, intimidasi dan kekerasan, dll.
Solusi Akhir
Baru-baru ini disepakati sebuah solusi mengatasi polemik Bawaslu Provinsi Aceh dengan DPRA. Solusi sebagai titik temunya yaitu penambahan dua (2) orang komisioner Bawaslu Provinsi Aceh sebelumnya hanya tiga (3) orang. Keputusan tersebut hasil kesepakatan antara pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dengan Bawaslu pusat di Jakarta. Solusi ini merupakan penyelesaian win-win solution, saya apresiasi positif terhadap putusan tersebut.
Putusan itu makin memperkuat kinerja Bawaslu Provinsi Aceh dalam menjalankan fungsi dan perannya secara kelembagaan. Walaupun konsekuensinya bertambah anggaran, namun tidak menjadi kendala utama. Dalam hal beban kerja pun semakin terbantukan dengan penambahan dua orang komisioner Bawaslu Aceh saat ini.
Selanjutnya kita selaku element masyarakat sipil melakukan pengawasan (monitoring) terhadap kinerja Bawaslu Provinsi Aceh. Dengan melakukan itu bisa dipastikan kualitas kinerja mereka sesuai harapan kita semua. Solusi itu makin memperkuat dukungan Pemerintah Aceh dan DPRA terhadap Bawaslu Aceh dalam segala hal. Pengharapan kedua bagi saya jangan sampai dengan hadirnya 2 (dua) orang komisioner menimbulkan konflik internal yang berujung lemahnya kinerja Bawaslu Aceh. Ini harus jadikan kewaspadaan dalam mengelola hubungan personal antar Bawaslu Provinsi Aceh. Ketika sibuk mengurusi konflik internal maka berdampak pada tidak optimalnya kinerja.
Kualitas pemilu 2014 di Aceh sangat tergantung dari penyelenggaranya. Selain itu sangat tergantung dari partisipasi kita semua memberikan dukungan Bawaslu Provinsi Aceh paska terselesaikan polemik pembentukan dengan segala kemampuan kita semua