Oleh: Wiratmadinata (Peneliti Studi Konflik).
I. Pengantar
Tulisan ini adalah sebuah analisa yang mencoba menggali akar konflik kekerasan politik internal di Aceh yang didasari pada persitiwa konflik kekerasan politik terbaru, antara Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PNA), menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2014. Baik PA dan PNA, keduanya adalah partai politik lokal di Aceh yang berdiri berdasarkan UU. NO. 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh atau sering disebut dengan UUPA. Yang menarik adalah, bahwa PA dan PNA sama-sama didirikan oleh para mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang setelah kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki 15 Agustus 2005, mendapatkan kembali hak-hak perdata mereka sebagai warganegara, sehingga dapat terlibat dalam proses politik di Indonesia, khususnya di Propinsi Aceh. Konflik ini sangat meresahkan, mengingat Aceh baru saja mengalami priode damai selama 8 tahun sejak tahun 2005, setelah mengalami konflik bersenjata panjang mulai tahun 1976 hingga 15 Agustus 2005, dimana MoU Helsinki ditandatangani dengan bantuan pihak ketiga, yaitu Crisis Management Innitiative (CMI), sebuah NGO berbasis di Finlandia yang dipimpin mantan Presiden Finlandia, Martii Ahtiisaari. Proses perdamaian juga didukdung oleh Uni Eropa melalui misi Aceh Monitioring Mission (AMM) selama 18 bulan.
Analisis ini mencoba menggunakan referensi historis dari berbagai peristiwa konflik politik internal Aceh sebelumnya, mulai peristiwa Perang Cumbok tahun 1945-1946 yang merupakan konflik internal antara Ulama dan Uleebalang Aceh, Pemberontakan DI-TII tahun 1953-1960 yang dimotori oleh Tgk. Daud Beureueh yang sebelumnya seorang Republikan sejati dengan mendukung kemerdekaan RI tahun 1945, Pemberontakan GAM 1976-2005 yang dipimpin Dr. Hasan Tiro yang didukung sebagian ulama PUSA pendukung DI-TII, hingga konflik PA dan PNA, dua partai politik lokal yang merupakan pecahan dari organisasi GAM. Pengamatan yang dilakukan penulis bukanlah pada peristiwa-peristiwa sejarah tersebut an-sich, melainkan pada pola perpecahan diantara kelompok-kelompok kepentingan politik pada masing-masing peristiwa tersebut diatas, yang ternyata membentuk atau berkontribusi pada terbentuknya konflik internal baru.
Intinya, fokus dari analisis ini adalah pada bentuk dan pola perpecahan kelompok-kelompok politik di Aceh yang terus-menerus membentuk siklus kekerasan yang kemudian disebut sebagai konflik politik di Aceh. Dengan melihat pola-pola tersebut dapat disimpulkan, bahwa ada perilaku politik tertentu yang mengakibatkan orang Aceh sulit berdamai dengan sesamanya sendiri secara politik dan terus-menerus menciptakan konflik baru setelah konflik yang lama mereda. Selanjutnya, dapat dilihat bahwa ternyata tidak ada konflik kekerasan politik internal di Aceh yang dapat dikatakan diselesaikan secara mendasar, sehingga selalu meninggalkan bibit konflik baru. Salahsatu fenomena terakhir yang sangat gamblang adalah perpecahan GAM secara organisasi yang mengerucut pada pembentukan PA dan PNA, dan bagaimana akhirnya kedua kelompok ini memicu kekerasan politik internal baru di Aceh. Intinya; Apa yang terjadi antara PA dan PNA, polanya sama dengan apa yang terjadi antara Uleebalang versus Ulama pada tahun 1945 dalam tragedi Perang Cumbok atau Revolusi Desember itu.
II. Konflik PA-PNA; lahirnya siklus konflik internal Aceh?.
Sejak pertengahan tahun 2013 hingga memasuki tahun 2014, tanda-tanda munculnya kembali konflik politik yang diwarnai kekerasan di Aceh sepertinya telah dimulai. Konflik internal GAM yang dulunya hanya dibawah permukaan, tampak mulai muncul ke permukaan dengan terjadinya beberapa peristiwa kekerasan hingga ke pembunuhan, terhadap beberapa kader PNA di Aceh Utara dan Aceh Selatan. Kapolri, pada 5 Maret 2014 bahkan dengan tegas mengatakan, bahwa beberapa kekerasan yang terjadi merupakan kekerasan politik.[1] Kekerasan yang telah diwarnai dengan korban jiwa, intimidasi dan perusakan, ini seharusnya bukanlah hal yang mengejutkan, karena jika mencermati pola konflik politik internal Aceh dalam rentang sejarah, hal ini sudah bisa diduga sejak lama.
Konflik internal Aceh bahkan bersifat laten, dimana friksi-friksi internal antara kelompok-kelompok politik di aceh selalu terjadi sejak masa perang kolonial. Penulis Afrika Selatan M.H. Szekely Lulofs dalam bukunya Cut Nyak Dien; Ratu Perang Aceh (1948), dengan gamblang menceritakan bagaimana orang-orang Aceh sudah saling berperang sesamanya ketika Belanda masuk, tapi relatif bersatu saat mereka semua melawan penjajahan Belanda. [2]
Salahsatu moment sejarah terpenting dalam konteks konflik internal Aceh adalah Perang Cumbok (1945-1946), yang sering disebut juga dengan Revolusi Sosial Aceh atau Revolusi Desember.[3] Peristiwa yang bermula di kawasan Lameuloe, Pidie, ini sangat menarik, karena melalui telaah terhadap peristiwa itu bisa dilihat pola-pola konflik internal Aceh sejak masa kolonial, dan pengaruh-pengaruhnya dalam konflik kekerasan politik kontemporer setelah itu, termasuk konflik terbaru antara PA dan PNA yg semakin tajam memasuki tahun 2014. Akar dan Pengaruh konflik internal Aceh masa lalu ini relatif memiliki alur linier dengan pola yang sangat identik. Dengan mencermati pola konflik Perang Cumbok, misalnya, kita bisa menemukan adanya kecenderungan yang sangat kuat, bahwa peristiwa itu adalah warisan politik kolonial dalam bentuk friksi laten antara Ulee Balang versus ulama sejak masa pendudukan Belanda di Aceh. Begitu juga konflik-konflik internal Aceh lainnya setelah itu, yang ternyata memiliki akar dari warisan relasi historis dengan konflik politik dan kekerasan yang terjadi sebelumnya, sampai pada terbentuknya bkonflik politik internal terbaru di tahun 2014 antara PA dan PNA.
III. Perang Cumbok; Pecahnya Ulama dan Uleebalang.
Perang Cumbok adalah sebuah konflik sosial yang berpusat di Pidie, antara kelompok Ulee Balang (Bangsawan) yang dipimpin Teuku Muhammad Daud di Cumbok, seorang Ulee Balang di Cumbok (Lameuloe, Pidie) melawan kelompok Ulama yang tergabung dalam PUSA (Persatuan Ulama Aceh) yang dipimpin Tgk. Daud Beureueh yang berbasis di Beureunen. Perang ini pada dasarnya adalah pergolakan untuk meruntuhkan Feodalisme di Pidie yang dipicu perbedaan pandangan dalam menyikapi Kemerdekaan RI di Aceh paska proklamasi RI, dimana pihak Ulee Balang menghendaki agar Belanda kembali ke Aceh, sementara PUSA menyetujui kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.[4] Tetapi unikya, setelah usai Perang Cumbok tahun 1946, kelak, Tgk Daud Beureueh justru memimpin pemberontakan DI/TII tahun 1953, sebagai bentuk kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah RI yang telah dibelanya semasa Perang Cumbok. Hal tersebut merupakan sebuah fakta yang menarik dimana pola penyelesaian konflik dalam perspektip Aceh selalu cenderung bersifat adversarial (permusuhan), dan bukan secara kooperatif.
NOTE: Sebuah pertanyaan mendasar muncul disini, mengapa orang Aceh tidak mampu memanfaatkan kekayaan kultural dan spiritual mereka untuk menyelesaikan konflik secara non-violence. Khususnya konflik politik internal, sehingga konflik sejenis tidak terus menerus berulang? (Ini merupakan pertanyaan mendasar yang mungkin bisa mengarah pada diskusi tentang kemungkinan mencari cara untuk memutus mata rantai kekerasan dan konflik di Aceh).
Seperti disinggung diatas, peristiwa Cumbok sebenarnya hanyalah puncak gunung es, dari konflik laten antara Ulee Balang dan Ulama yang sudah terjadi sejak ketika Belanda masih menguasai Aceh, dimana Belanda mendapatkan banyak dukungan dari kaum bangsawan, sementara para bangsawan menikmati berbagai keistimewaan dibawah perlindungan Belanda. Previllege yg diperoleh kaum Ulee Balang diantaranya adalah posisi-posisi kekuasaan di dalam struktur kekuasaan Belanda di kawasan Aceh Lheu Sagoe (kesultanan Aceh). Sementara itu, di lain pihak para Ulama sangat menentang Belanda dan dengan sendirinya menyimpan ketidaksenangan terhadap kelompok Ulee Balang yang dianggap mempertahankan status quo sebagai penghkhianat orang Aceh. Meskipun, ada beberapa Ulee Balang, yang tetap pro-Kemerdekaan dan mendukung ulama,tapi Perang Cumbok tetap merepresentasikan konflik Ulama versus bangsawan di Aceh . Dampak perang ini sangat mengerikan, banyak kaum Teuku melarikan diri keluar Aceh atau di wilayah Aceh yang bebas konflik, serta meninggalkan luka mendalam didalam jiwa orang Aceh, terutama di kawasan pesisir Timur dan Utara Aceh hingga kini. Ada kecenderungan orang Aceh menghindari diskusi tentang peristiwa kelam ini dalam pembicaraan sehari-hari, karena takut menyinggung orang-orang yang notebene adalah bagian dari komunitas sehari-hari. Perang Cumbok sendiri berakhir Januari 1946, dimana pimpinanannya,Teuku Daud Cumbok dihukum mati.
IV. DI-TII: Ulama Aceh melawan Jakarta.
Setelah Perang Cumbok usai, ada masa tujuh tahun situasi relatif damai (negative peace) di Aceh, khususnya di Pidie yang menjadi pusat konflik, namun sebuah perang yang lain tampak segera akan terjadi tak lama setelah itu, ketika Tgk. Daud Beureueh, yang notabene pendukung Kemerdekaan RI, justru memulai pemberontakan DI-TII di Aceh melawan Pemerintah RI pada 20 Sepember.[5] Tujuannnya adalah untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) di Aceh bersama Kartosuwiryo di Jawa dan Kahar Muzakar di Sulawesi. Alasan pemberontakan Tgk. Daud Beureueh sendiri adalah karena kecewa pada pemerintah RI yang ingin melebur Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara. Ada juga alasan-alasan lainnya seperti keinginan menjalankan Syariat Islam, termasuk kekuatiran akan kembalinya kekuasaan kaum Ulee Balang di Aceh (trauma perang Cumbok).
Pemberontakan DI-TII berakhir tahun 1960, dimana Aceh mendapat status Daerah Istimewa, yang uniknya status ini justru kelak menjadi alasan baru Pemberontakan Aceh Merdeka oleh (AM) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976 yang dipimpin oleh DR. M. Hasan Tiro. Hasan Tiro sendiri berasal dari Kecamatan Tiro yang relatif masih bertetangga dengan kawasan Lameuloe yang kemudian diberi nama Kota Bakti, dimana Teuku Daud Di Cumbok bersama banyak tokoh Uleebalang lainnya memimpin Perang Cumbok. Daerah Cumbok dan Tiro sebenarnya hanya dipisahkan oleh sebuah sungai bernama Sungai Keumala, Pidie.
Pendirian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976, oleh Hasan tiro didukung sebagian ulama yang dulunya tergabung di dalam PUSA, salahsatunya adalah Tgk. Ilyas Leube, teman dekat Tgk. Daud Beureueh yang menjadi bagian penting dari gerakan Aceh Merdeka generasi pertama, dan generasi selanjutnya. Tapi sebenarnya lebih banyak lagi ulama yang tidak menyetujui gerakan Hasan Tiro ini. Disini bisa kita lihat Transformasi Konflik yang terjadi dari Perang Cumbok ke Pemberontakan DI-TII, ternyata juga memiliki relasi historis dengan pemberontakan[6] Aceh merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka, bukan hanya pada aspek substansi pertikaian tetapi juga relasi aktornya.
V. Perpecahan GAM sebelum MoU Helsinki: MP-GAM.
Pola perpecahan internal Aceh ini ternyata terulang lagi dalam tubuh GAM, dimana kelompok Hasan Tiro juga ditentang oleh Husaini Hasan (Mentri Pendidikan GAM) yang membentuk kubu MP-GAM dipicu oleh perbedaan pendapat dalam sistim keorganisasian GAM. Pertentangan ini menajam ketika proses-proses damai sedang diupayakan oleh berbagai pihak termasuk unsur GAM sendiri paska kebangkitan kembali GAM pada tahun 1998.[7] Tapi sebenarnya konflik internal ini samasekali tidak berkaitan dengan soal ideologi, tetapi lebih karena pertarungan kepentingan kelompok saja. Konflik internal ini bahkan sempat mengambil korban, dimana salahseorang juru bicara MP-GAM, Teuku Don Zulfahri tewas dibunuh di Malaysia pada tahun 1998.[8] Sampai sekarang, kasus ini tak pernah jelas, secara hukum. Konflik MP-GAM dan GAM memang tidak sampai meluas dan relatif tidak menjadi konflik terbuka sampai tahun 2004, dimana akhirnya konflik GAM dan pemerintah RI diselesaikan lewat MoU Helsinki, 15 Agustus 2005. Dalam proses damai ini kubu MP-GAM samasekali tidak dilibatkan, dan tetap meninggalkan duri dalam relasi internal GAM. Note: Dalam kacamata Conflict Management, hal ini juga menjadi salahsatu faktor lain konflik internal Aceh, khususnya dalam kaitan GAM.
VI. Perpecahan GAM paska MoU Helsinki: PA vs PNA.
Sampai disini, selesaikah konflik internal di tubuh GAM? Ternyata tidak. Setelah posisi politik GAM semakin menguat paska MoU Helsinki, dan diperkukuh dengan keluarnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA- UU. NO11 tahun 2006), sebenarnya mantan anggota GAM atau PA yang merupakan organisasi politik resmi, hanya tinggal merealisasikan berbagai agenda sosial dan politiknya sebagaimana yang telah mereka sepakati, diantaranya mendirikan partai politik lokal di Aceh. Sayangnya agenda-agenda paska konflik berdasarkan MoU Helsinki dan UUPA, justru menyimpan begitu banyak persoalan detail yang tidak seluruhnya mampu dikelola dalam perspektip conflict Management, sehingga malah menimbulkan banyak persoalan baru tanpa hadirnya suatu agenda intervensi yang dapat meredam berbagai distorsi paska kesepakatan damai. [9]
1. Babak baru konflik Aceh; GAM vs GAM.
Babak baru konflik internal Aceh dimulai saat pemilihan Gubernur Aceh tahun 2006. Agenda setting paska MoU Helsinki adalah dilaksanakannya suatu pemilihan umum yang demokratis, dimana unsur-unsur GAM dapat ambil bagian dalam kontestasi politik. Saat itu, Petinggi GAM Swedia memilih DR. Ahmad Humam Hamid, MA, seorang dosen di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, sebagai Calon Gubernur dan Drs. Hasbi Abdullah seorang petinggi GAM sebagai Calon Wakil Gubernur. Bagi pimpinan resmi GAM, terutama yang berbasis di Swedia dibawah komando Meuntro Malek (Sekarang Wali Nanggroe Aceh), kedua orang ini adalah calon yang disiapkan secara resmi oleh GAM.
Tetapi kelompok mantan GAM lainnya, terutama para Panglima Sagoe, generasi GAM yang lebih muda dan berbasis di dalam negeri, lebih memilih mengajukan calon berbeda, yakni drh Irwandi Yusuf– mantan utusan GAM dalam lembaga AMM dimasa transisi Aceh paska MoU–sebagai Calon Gubernur, dan Wakilnya adalah Muhammad Nazar, aktivis SIRA yang juga dekat dengan GAM. Pasangan ini disebut dengan pasangan SINAR, singkatan Seuramoe Irwandi Nazar. Sementara di kubu PA Pasangan Humam Hamid dan Hasbi Abdullah disebut dengan pasangan H2O yang merupakan singkatan dari Humam Hasbi Ok. Disini konflik internal GAM semakin menemukan bentuknya menjadi perseteruan terbuka yang kemudian memecah-belah GAM dalam dua kutub yang sangat bertentangan.
Irwandi Yusuf, yang akhirnya terpilih sebagai Gubernur Aceh pada Pilakada Gubernur Aceh 2006, telah dianggap sebagai sosok yang melawan mainstream kekuasaan GAM, karena terang-terangan berseberangan dengan para petinggi GAM kelompok Swedia. Kemenangan ini juga dianggap mencoreng kewibawaan GAM, yang notebane baru mendapatkan kemenangan politik paska MoU Helsinki di Aceh. Maka jalan satu-satunya untuk mengembalikan kewibawaan GAM adalah dengan merebut posisi Gubernur dan Wakil Gubernur pada pemilihan Gubernur lima tahun berikutnya, yakni Pilkada Gubernur Aceh tahun 2012.
Sementara menunggu hal itu terjadi, GAM telah membentuk Partai Lokal sendiri dengan nama Partai Aceh (PA) pada tahun 2008, dan akhirnya berhasil memenangkan Pemilu Legaslatif DPR Aceh, dengan menguasai 33 dari 65 kursi legislatif yang tersedia pada tahun 2009. Dengan demikian, secara formal; PA memiliki kemampuan untuk mengajukan calon Gubernur dan Wakil Gubernur sendiri pada Pilkada Gubernur tahun 2012 nantinya. Tak lama setelah itu, kelompok Irwandi Yusuf juga membentuk Partai baru bernama Partai Nasional Aceh (PNA), Partai ini diharapkan dapat membantu pasangan Irwandi Yusuf dalam Pilkada Gubernur 2012. Irwandi sendiri di PNA bertindak sebagai pendiri dan Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP).
Pada pemilihan Gubernur Aceh tahun 2012, Irwandi Yusuf kembali mencalonkan diri sebagai incumbent berpasangan dengan birokrat yang menjabat salah seorang kadis (kadis PU) selama priode kegubernuran Irwandi Yusuf , yaitu DR. Ir. Muhyan Yunan. Sementara GAM melalui kali ini melalui jalur formal PA, mencalonkan dr. Zaini Abdullah (Abang kandung Hasbi Abdullah) dan Muzakir Manaf (mantan Panglima GAM), sebagai Calon Gubernur dan wakil Gubernur dengan sebutan Zikir. Singkat cerita, kali ini PA kembali menegakkan kewibawannya dengan berhasil memenangkan pasangan Zikir sebagai Gubernur dan Wakil gubernur Aceh. Maka praktis baik lembaga Eksekutif maupun Legislatif di Aceh kini telah dikuasai unsur GAM dan PA. Sementara PNA yang baru terbentuk belum memiliki kursi di DPR Aceh, sehingga tetap melalui jalur independen, tanpa dukungan kekuatan politik partai yang memadai.
Situasi menjelang Pilkada Gub 2012, persis seperti kondisi menjelang Pemilu Legislatif 2014 ini, berbagai teror kekerasan, pembunuhan intimidasi dan sejenisnya terjadi. Peristiwa paling terkenal adalah serangkaian pembunuhan misterius terhadap warga suku Jawa yang jadi pekerja kabel listrik di Aceh Utara, Pidie dan Banda Aceh menjelang akhir tahun2011. Tercatat 10 orang tewas terbunuh dalam kekerasan menjelang Pemilu dan meningkatnya kecemasan di seluruh Aceh.[10] Kekerasan-kekerasan ini terjadi bersamaan waktunya dengan polemik tidak disetujuinya kandidat Calon Independen dalam Pemilu Gubernur waktu itu oleh DPRA yang dodominasi oleh PA, pendukung pasangan Zikir. Intinya; PA di DPR Aceh ingin mengganjal pasangan Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan, agar tidak dapat ikut persaingan Calon Gubernur dengan menggunakan dasar MoU Helsinki dan pasal 256 UUPA yang menyebutkan Calon Indepen Gubernur Aceh hanya berlangsung satu kali, yaitu pada Pilgub 2006 saja. Aturan itu sudah dibuat melalui Qanun DPR Aceh, Qanun No. 3 tahun 2006 yang telah direvisi.
Terpilihnya pasangan Zikir sebagai Gubernur Aceh, ternyata tidak justru menghentikan konflik internal Aceh. Spiral konflik yang memang tidak pernah selesai, kembali mengikuti siklusnya dalam bentuk perseteruan anatara PNA dan PA, dua Partai Politik lokal yang memiliki akar genealogisnya dari GAM.
Praktis di awal tahun 2014 babak baru konflik politik internal Aceh memasuki babak baru, dimana momentum kekerasan konflik internal muncul menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2014. Persis seperti pola kekerasan politik yang terjadi pada Pilgub 2012 yang memakan 10 korban tewas, menjelang Pemilu Legislatif April 2014, kasus-kasus intimidasi, kekerasan fisik dan pembunuhan yang memakan korban kembali terjadi. Apakah pola ini terjadi secara kebetulan? Sayangnya dalam catatan penulis, pola ini tampak bersifat teratur yang menunjukkan apa yang terjadi menjelang Pilgub 2012 dan kekerasan menjelang Pemilu Legislatif 2014 memiliki persamaan, baik dari segi pola, momentum dan aktornya.
2. Pola Konflik Politik Internal Aceh.
Dari beberapa catatan di atas, hal pertama yang bisa kita pelajari dari konflik internal Aceh sejak masa kolonial hiungga kini adalah, bahwa friksi-friksi internal sangat memberi warna konflik-konflik horizontal antar-orang Aceh maupun konflik vertikal orang Aceh ketika berperang melawan Belanda, atau ketika gerakan pemberontakan Aceh ditujukan pada kekuasaan Pemerintah RI. Hal ini bisa kita baca polanya sebagaimana terlihat dari Perang Kolonial, pemberontakan DI/TII maupun yang terakhir pemberontakan GAM melawan RI. Ketika konflik melawan pihak luar berakhir, maka konflik internal segera terbentuk. Dalam setiap fase historis konflik itu, kita bisa temukan koneksi antara yang satu dengan yang lainnya, baik dari deskripsi historisnya secara umum, maupun relasi aktornya. Dengan kata lain, pada setiap moment konflik tidak pernah ada penyelesaian konflik yang memadai sehingga dapat mentransformasi konflik tersebut pada suatu resolusi baru masa depan Aceh yang damai dalam bentuk kesepakatan kolektip, dan atau suatu kesadaran sejarah mengenai akar konflik yang mereka hadapi.
IX. Penutup: Absennya Transformasi Konflik yang Positif.
Transformasi konflik internal dari masa ke masa yang terjadi di Aceh yang umumnya terjadi dengan trend spiral konflik yang berkesinambungan, menunjukkan indikasi kuat bahwa pada setiap event penyelesaian konflik sebenarnya tidak pernah ada intervensi yang fundamental, dimana akar konflik benar-benar telah putus atau diselesaikan. Apa yang dipahami sebagai priode damai dalam setiap momentum penyelesaian konflik sebenarnya hanyalah sebuah jeda sesaat, yang dalam siklus konflik disebut dengan momentum Negative Peace.[11] Sementara itu Prof. John Deavies dan Eddie Kaufmann, pakar konflik dari University of Maryland mengatakan, bahwa Negative Peace adalah suatu situasi damai, tetapi setiap pelaku potensial konflik tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan setiap perbedaan pendapat secara non-violence. Ketiadaan keterampilan mengelola konflik baik di level formal maupun non-formal, mengakibatkan masing-masing kelompok yang berbeda pendapat hanya memiliki model penyelesaian secara adversarial (permusuhan) dan langsung tanpa hadirnya kekuata positip yang melakukan driving forces ke arah damai. [12] Disinilah pentingnya kemampuan Conflict Management dari pihak otoritas, tapi sayangnya kemampuan inilah yang jelas sekali tidak tersedia. Akibatnya, setiap peristiwa yang terjadi, hanya lewat sebagai catatan dan diterima sebagai kenyataan, tanpa ada tanda-tanda yang pasti mengenai ending point-nya.