ACEH BEK LEE GASIN

0
130

SURAT UNTUK PARA KANDIDAT PILKADA ACEH 2017

CUT RIMA MELATI (Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara, FISIP UIN Ar-Raniry, Banda Aceh)

Aceh adalah salah satu daerah yang berstatus istimewa di Indonesia, selain Yogyakarta dan DKI Jakarta, dengan kewenangan khusus untuk mengatur pemerintahan sendiri. Kekhususan Aceh termaktub dalam Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang oleh Taqwaddin Husin dirangkum ke dalam 26 jenis keistimewaan (Serambi Indonesia 30/08/16).

Diantara keistimewaan Aceh itu adalah diakuinya pemerintahan mukim dan gampong sebagai struktur resmi dalam hirarkhi pemerintahan, kewenangan mengadakan kerja sama internasional dengan lembaga atau badan di luar negeri, kewenangan membentuk qanun, adanya Komisi Independen Pemilihan (KIP), kewenangan pembentukan partai politik lokal, kewenangan membentuk Lembaga Wali Nanggroe (LWN) sebagai pemersatu masyarakat, kewenangan memfungsikan kembali peranan lembaga-lembaga adat sebagai wahana partisipasi masyarakat di bidang keamanan dan penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan, kewenangan pelaksanaan Syariat Islam dan seterusnya.

Keistimewaan lain yang sesuai dengan topik tulisan ini adalah adanya dana pembangunan yang dialokasikan khusus untuk melakukan recovery pembangunan Aceh paska konflik yang kita kenal dengan Dana Otonomi Khusus (OTSUS). Nilainya adalah 2% dari total Dana Alokasi Umum (DAU) negara yang didistribusikan selama 15 tahun pertama, kemudian di 5 tahun akan dikurangi menjadi 1% (Islahuddin, 2016). Hingga hari ini pemberian dana tersebut sudah berjalan selama 10 tahun terhitung sejak tahun 2006 dan Aceh masih akan mendapatkan dana tersebut hingga 10 tahun ke depan.

Sayangnya setelah sepulun tahun berjalan dengan dana pembangunan extra tersebut Aceh tetap saja berada dalam kekurangan dan keputus-asaan. Adalah fakta bahwa Dana OTSUS tidak terkelola dengan baik sehingga masyarakat belum merasakan manfaat dari dana tersebut, sebaliknya rakyat Aceh hidup dalam kondisi yang kian sulit. Bahkan yang lebih ironisnya lagi, dengan olokasi APBD terbesar, Rp 12,8 triliun (2016) dan jumlah penduduk terkecil, 5 juta jiwa, tingkat kemiskinan Aceh justru menduduki peringkat tertinggi yaitu 16,73%, lebih tinggi dari tiga provinsi lainnya yakni Lampung (14,44%), Sumatera Selatan (13,55%), dan Sumatera Utara (10,35%). Lantas kemana dana otsus yang sebanyak itu? (Serambi Indonesia, 4/11/17)

Senada dengan kemiskinan, angka pengangguran di Aceh juga masih tinggi.  Data Sosial Ekonomi BPS menunjukkan tingkat pengangguran di Aceh periode Februari 2016 tertinggi ke-empat di Indonesia setelah Kepri, Kaltim, dan Jabar. Publikasi BPS Aceh triwulan I 2016 pada 4 Mei 2016 juga menunjukkan angka pengangguran Aceh periode Februari 2016 masih tinggi dibanding periode Februari 2015 lalu, mencapai 8,13 persen. Jumlah Pengangguran di Aceh per Februari 2016 mencapai 182 ribu orang, mengalami peningkatan sebesar 7 ribu dibandingkan dengan kondisi Februari 2015 lalu yaitu 175 ribu (7,73 persen) (Harian Aceh 9/5/16).

Masyarakat berharap banyak dari adanya dana extra yang dialokasikan oleh pemerintah pusat untuk pembangunan Aceh. Harapan tersebut berupa langkah-langkah pengentasan kemiskinan yang serius, program kesehatan dan pengobatan yang merata serta berkelanjutan, pendidikan yang memihak kaum tidak mampu, serta administrasi yang murah serta mudah.

Dana OTSUS yang diteruskan kepada masyarakat di desa-desa pun tidak dikelola dengan baik dan transparan (Serambi Indonesia 10/11/16), selain fakta-fakta intransparansi. Fenomena inilah yang berkontribusi pada meningkatnya angka kemiskinan di Aceh dan migrasinya tenaga-tenaga skill dari Aceh keluar Aceh, bahkan keluar negeri, untuk mencari sesuap nasi, karena Aceh tidak menyediakan lapangan kerja yang cukup.

Karena itu, dalam agenda Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) 2017 yang tinggal sebulan lagi, kita berharap rakyat Aceh bisa menemukan pemimpin yang mampu menggunakan dan mengelola dana OTSUS seefektif mungkin untuk kesejahteraan rakyat Aceh. Pemimpin yang sadar pada ancaman sosial yang berpotensi menimpa Aceh setelah dana extra untuk pembangunan Aceh itu habis. Adalah fakta selama ini dana OTSUS hanya dinikmati oleh beberapa gelintir orang atau oleh kelompok-kelompok tertentu saja.

Kami, selaku mahasiswa dan warga masyarakat awam berharap pilkada yang ketiga paska konflik ini akan mampu memilih pemimpin yang faham akan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, dan akuntabel. Pemimpin yang mempunyai program-program dan strategi pemberantasan kemiskina, mampu menciptakan lapangan kerja, memenuhkan kebutuhan pokok dan pelayanan publik yang mendasar, serta tahu cara-cara pemberdayaan ekonomi masyarakat, termasuk memastikan suplai listrik yang rutin dan teratur. Petugas Perusahaan Listrik Negara (PLN) sendiri tidak sadar, dan tidak tahu, bahwa ada peran PLN kebodohan dan kemiskinan masyarakat Aceh.

Semoga pilkada kali ini akan menghadirkan pemimpin yang cerdas agar masyarakat bisa mendapatkan kesejahteraan sesuai dengan harapan dan juga mampu mempersiapkan menjadi generasi penerus untuk kepemimpinan selanjutnya.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.