Para penulis lingkar luar ini, umumnya adalah generasi angkatan 1998 ke atas. Mereka tumbuh dalam konteks konflik dan damai. Mungkin atas dasar pengalaman ini, mereka mudah memahami sosok Hasan Tiro.
Sekalipun demikian, tidak semua dari mereka menuliskan pandangannya atas dasar perjumpaan fisik dengan Hasan Tiro. Sebagian lain, mereka berjumpa dengan pikiran Hasan Tiro. Sebagian lagi dari mereka berada ditengah kecamuk tindakan yang terkait dengan Hasan Tiro. Inilah ciri kedua dari sebagian penulis dalam buku ini.
Jadi kita bisa membayangkan, sesuai dengan subtema buku ini, bagaimanakah sosok generasi yang berada di lingkar luar yang mengekspresikan pikirannya untuk mengenang Hasan Tiro di dalam buku ini. Mereka bukan sekelompok generasi muda yang hanya mampu meniru bagaimana dialek bila Hasan Tiro mengucapkan salam dan kata-kata lainnya.
Hal yang terakhir ini penting. Apalagi di masa konflik, mereka yang pernah bertemu dengan Hasan Tiro sering bertingkah laku selayaknya Wali sedang berbicara. Namun, peniruan utamanya adalah semata-mata pada gaya dialek berbicaranya. Sedangkan substansi pikiran Hasan Tiro sama sekali tak dapat mereka sentuh, apalagi untuk mengembangkannya. Karena itu, setelah pertemuan berakhir sering menjadi bahan untuk kelucuan yang menyegarkan kawan-kawan.
Peniruan lainnya adalah dalam cara berpakaian yang rapi. Memang Hasan Tiro adalah sosok yang sangat rapi dalam berpakaian. Namun, mereka tak bisa mengambil kesederhanaan yang sangat kuat yang melekat bersama kerapian Hasan Tiro. Para peniru ini justru sering tampil berlebihan untuk hal kegemerlapannya, yang justru sama sekali tidak melekat pada diri Hasan Tiro.
Hal ini lagi-lagi menjadi bahan kelucuan di antara kawan-kawan. Pernah dalam sebuah peristiwa, bagaimana kelompok ini menjadi begitu rapi ketika mengunjugi sebuah kedutaan besar di Jakarta. Para rekannya, yang turut serta rapat bersama dalam merancang agenda tersebut terpaksa harus disingkirkan karena dalam kondisi yang tidak mengkilap. Meskipun demikian, kilap rambut dan sepatu tak memantulkan kilap pikiran dan kukuhnya langkah.
Barangkali di lingkar luar dapat dikatakan ada 2 kelompok, yakni kaum muda yang tertambat pada pemikiran dan tindakan Hasan Tiro; dan kaum muda yang bisa mengadopsi kerapian Hasan Tiro, dan memancarkan dengan gemerlap. Namun kelompok yang kedua ini merasa berada di lingkar dalam, khususnya di masa konflik hingga awal pasca MoU Helsinki terhadap kelompok pertama. Walau pun dalam perkembangan politik selanjutnya, kelompok kedua ini menjadi target politik penyingkiran oleh mereka yang sesungguhnya berada di lingkar dalam.
Memang masih banyak beban pada mereka yang berada di lingkar luar. Pertama, mereka harus menghimpun kembali pemikiran-pemikiran Hasan Tiro. Utamanya material yang tersimpan rapi di dalam tas echolac coklat yang merupakan dokumen berjalan seturut Hasan Tiro. Ada di dalamnya material berupa karya tulis, kaset pidato dan sejumlah foto jejak rekam perjalanan politik Hasan Tiro semasa beliau masih aktif menggerakkan GAM.
Kemudian masih ada material tertulis lainnya, di antaranya, skripsi, tesis dan disertasi Hasan Tiro, serta pikiran yang telah dibukukan. Pertama, mengkaji kembali buku Demokrasi Untuk Indonesia, yang merupakan pendefinisian konstruksi politik Indonesia oleh Hasan Tiro secara kritis. Sejauhmanakah relevansinya dengan konteks Indonesia saat ini? Tentunya, juga dengan konteks Aceh pasca MoU Helsinki.
Kedua, buku Price of Freedom: The Unfinished Diary (1984), yang menjelaskan perjalanan politiknya. Sekaligus sebuah karya, yang seakan-akan Hasan Tiro telah memprediksikan bahwa dirinya tak bisa sepenuhnya memimpin sampai akhir perjuangannya. Itulah mengapa beliau memakai sebutan tak selesai.
Hal penting lainnya, seorang rekan peneliti menemukan ada episode yang telah dihapus pada edisi yang beredar sekarang. Hal ini berkenaan dengan konflik internal elite GAM, manakala beliau sakit berat yang kedua kalinya, yang kemudian melahirkan label politik MP-GAM, dan pembersihan sejumlah angkatan awal (1976) dari jajaran elite GAM.
Bahan lainnya yang juga sangat penting adalah sejumlah naskah Peunutoh Politik Wali. Pemerhati yang kritis bisa membandingkan Peunutoh Politik Wali antar periode 1970-an; 1980-an; 1990-an; dan 2000-an. Ini sebuah kajian yang sangat penting, bukan saja soal kapan Hasan Tiro mulai berpeunutoh politik, serta bilamana sesungguhnya beliau telah berhenti berpeunutoh, akan tetapi peunutoh politiknya masih terus berlanjut atau dilanjutkan.
Dari berbagai bahan yang ada, secara sekilas kita bisa menemukan banyak hal. Pertama, konstruksi politik Indonesia (1950-an). Kedua, konstruksi politik Aceh (hingga 1990-an). Kedua hal tersebut bisa menjadi landasan yang cukup kuat bagi pemikir sekarang untuk membangun konstruksi politik di masa depan.
Sekalipun hingga saat ini kita belum bisa mengharapkan wacana tertulis –dari mereka yang bersikukuh di lingkar dalam, baik KPA maupun PAtentang apa dan bagaimana Hasan Tiro. Tentunya juga, pikiran kritis tentang apakah pikiran dan tindakan politik mereka saat ini masih merupakan seri kelanjutan dari pikiran dan tindakan Hasan Tiro; atau hanya sekedar ambil bungkusnya saja.