Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga, iklan adalah berita pesanan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan. Iklan menjadi kian bernilai ketika dikemas atas ditawarkan dalam bentuk yang tidak biasa dan menggugah selera orang untuk membeli produk tersebut. Inilah kekuatan iklan, mampu mendorong seseorang untuk membeli bahkan sebelum barang tersebut dikenal lebih lanjut. Demikian pula kemasan yang membaluti suatu produk, terkadang mampu menyihir seseorang untuk memilih barang yang ditawarkan itu.
Sedemikian menariknya, tak sedikit orang yang justru lebih tertarik menyimak iklan ketimbang acara lainnya ketika menonton TV. Buktinya, banyak trend setter di tengah masyarakat yang berasal dari iklan. Katakanlah seperti iklan, jadi gue harus bilang wow gitu?, orang pintar minum tolak angin, masalah buat loe?, dan lain sebagainya. Kata-kata yang disematkan oleh media tersebut terbukti menjadi mantra ampuh hingga menjadi topik pembicaraan oleh berbagai kalangan di ruang publik.
Bila anda sering berkutat dengan dunia internet, tentu tidak asing lagi dengan istilah ad atau ads yang merupakan kependekan dari advertisement, yang berarti iklan. Godaannya semakin berat jika itu menyangkut dengan hobi dan minat kita, uang, tawaran kerja, bahkan wanita kerap menjadi bahan iklan yang tidak ada habisnya. Karena pada dasarnya iklan itu menggoda pelanggan agar mempunyai pola pikir yang sama dengan pengiklan. Tak ayal, ada sejumlah orang yang tertipu, bahkan dengan jumlah nominal yang besar hanya gara-gara ads yang tidak penting.
Tahun politik
Nah, begitu pula halnya dengan fenomena para calon pemimpin yang beriklan alias berkampanye. Mereka saling memunculkan hal-hal positif di atas hal negatif. Olahan para desainer kampanye menjadi hal yang menarik bagi masyarakat untuk menjatuhkan pilihan hati mereka. Pada tahun-tahun politik seperti sekarang ini, hampir semua momentum bisa dijadikan alat untuk mempromosikan diri. Bahkan, pada saat musibah sekalipun. Kita dapat melihat sejumlah nama yang tertera pada bantuan yang disalurkan tersebut. Dengan harapan, dapat menarik simpati para korban untuk memilih mereka pada saat pemilu nantinya. Sungguh hal yang patut kita sikapi dengan seksama.
Lain lagi halnya bagi kalangan yang kerap menjadi buah bibir karena sering muncul di televisi, media cetak, media online hingga berbagai jejaring sosial seperti facebook, tweeter, dalan lain sebagainya. Mereka kerap menjadi patron bagi sejumlah orang, bahkan dielu-elukan untuk kemudian menjadi panutan dalam kehidupan sehari-hari, baik fashion, lifestyle, bahkan kepribadian seseorang. Jadi tidak mengherankan jika ada beberapa kalangan yang sudah lebih dulu dikenal sebagai tokoh, publik figur, artis, lebih mulus jalannya –dalam artian lebih berpeluang terpilih– ketika terjun ke dunia politik.
Lihat saja sederet nama artis yang kini mewarnai dunia politik di Tanah Air, baik tingkat lokal maupun nasional. Sebut saja seperti Deddy Mizwar (Wakil Gubernur Jawa Barat periode 2013-2017), Rano Karno (Wakil Gubernur Banten periode 2013-2017), Dede Yusuf (Wakil Gubernur Jabar 2008-2013), Rieke Diah Pitaloka (anggota DPR RI periode 2009-2014), dan banyak nama lain. Sejumlah nama tersebut menjadi contoh nyata terjunnya kalangan artis dalam dunia politik. Sehingga bukanlah hal yang baru pula jika dalam periode mendatang akan banyak kalangan artis yang banting stir menjadi politisi.
Unsur iklan dalam istilah marketing dan iklan dalam artian kampanye memiliki beberapa kesamaan. Kepentingan yang sama, yakni supaya lebih dikenal oleh masyarakat konsumen atau konstituen, sehingga mereka tertarik untuk membeli produk yang ditawarkan atau memilih sang calon. Analogi mudahnya begini, setiap produk yang tidak dipopulerkan di masyarakat tentu daya tarik dan daya jualnya akan rendah. Nah, dengan adanya iklan ini akan memunculkan daya tawar tinggi untuk dikonsumsi publik. Makanya kemudian banyak bermunculan caleg-caleg dari kalangan artis yang notabenenya sudah dikenal luas oleh masyarakat. Baik karena sering tampil di TV, media cetak, media online, media sosial, bahkan pembicaraan masyarakat sehari-hari.
Kemudian, bila dilihat dari segi komersialnya, produk yang sudah dikenal luas oleh masyarakat tentu tidak membutuhkan banyak biaya lagi dalam promosinya ke depan. Begitu juga halnya dengan para seleb yang sudah dikenal luas oleh masyarakat, tentu akan memangkas biaya kampanye yang demikian besar. Hal inilah yang kemudian muncul istilah pemimpin populis dan non-populis. Dan media berperan penting dalam hal memopulerkan mereka. Sehingga, saya berpendapat bahwa dengan mengiklankan diri di media, serta melakukan berbagai hal positif akan memangkas sejumlah dana yang diperlukan pada masa kampanye ke depan.
Tidak menjamin
Lebih lanjut, setelah beberapa kasus yang mendera politisi, baik kalangan selebriti, seperti Angelina Sondakh, maupun kalangan lain di berbagai partai politik, seperti Nazaruddin, Anas Urbaningrum (politisi Partai Demokrat); Luthfi Hasan Ishaaq (politisi PKS), dan sejumlah nama lain tak luput dari jeratan korupsi. Tingginya biaya kampanye yang dikucurkan, merupakan satu penyebab orang melakukan praktik korupsi. Dengan kata lain, kepopuleran seseorang tidak menjamin ia tidak melakukan kejahatan, walaupun iklan atau kampanye mereka mempromosikan diri sebagai pribadi yang bersih dan akan berjuang demi rakyat.
Populis bukanlah tolok ukur seseorang itu baik. Perspektif media dan sejumlah kalangan yang mendongkrak citra positif mereka tidak serta-merta menjadi acuan dalam memilih mereka sebagai pemimpin. Kita seyogianya lebih telaten dan hati-hati dalam memilih, terlebih dengan berbagai fakta dan pengalaman yang sudah-sudah. Itu patut menjadi pelajaran bagi kita, karena apa yang yang tampak terkadang bukanlah seperti seharusnya, melainkan ada hal lain yang tidak diperlihatkan.
Kita hendaknya dapat mengecap baik-baik ada hal apa sebenarnya di balik iklan tersebut. Apakah mereka memang benar-benar ada untuk kita atau mereka hanya ada untuk mereka. Satu cara mudah yang dapat dilakukan adalah dengan melihat atau mencari tahu seperti apa track and record mereka. Kita juga dapat mengacu pada hasil penelitian independen yang kredibel dan trustable, yang tidak berafiliasi dengan parpol, pribadi caleg atau capres manapun. Upaya ini dimaksudkan agar kita tidak tertipu dengan iklan lima tahunan itu. Amin!
Mursal, Mahasiswa Prodi Bahasa Inggris, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, & Juga Siswa Sekolah Riset The Aceh Institute, Banda Aceh. Email: mursal.elfaruq@gmail.com
Opini ini telah dimuat di Harian Serambi Indonesia Tanggal 11 Januari 2014