Sangkarut keberadaan Bawaslu di Aceh sebenarnya bukanlah hal baru, ini telah terjadi sejak awal 2013 setelah Bawaslu pusat merekrut tiga orang komisioner Bawaslu Aceh, dan ketika Bawaslu merekrut anggota Panwaslu kabupaten/kota di Aceh membuat DPRA dan Pemerintah Aceh semakin meradang. Selain itu, perseteruan antara Bawaslu dengan Pemerintah Aceh bukan saja persoalan hukum terkait dengan sengketa kewenangan lembaga Negara, namun juga erat kaitannya dengan masalah politik, khususnya partai penguasa saat ini di Aceh.
Sengketa hukum?
Banyak pihak menyakini bahwa kasus pertentangan antara Pemerintah Aceh dengan Bawaslu adalah terkait dengan persoalan kewenangan yang diberikan oleh UU. Hal ini seperti diketahui bahwa pembentukan Bawaslu didasarkan kepada pasal 22E UUD 1945 yang pengaturannya lebih lanjut diatur dalam UU No.15 tahun 2011 tentang Penyelengara Pemilihan Umum. Lebih lanjut pasal 1 ayat (17) menyatakan bahwa Badan Pengawas Pemilu Provinsi, selanjutnya disingkat Bawaslu Provinsi, adalah badan yang dibentuk oleh Bawaslu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi. Atas perintah pasal 1 ayat (17) maka Bawaslu pusat membentuklah Bawaslu provinsi, dan selanjutnya Bawaslu provinsi membentuk Panwaslu kabupaten/kota, kemudian Panwaslu kabupaten/kota membentuk Panwascam sampai Pengawas Pemilu Lapangan.
Kemudian UU ini juga memberikan kewenangan kepada Bawaslu, Bawaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, pengawas pemilu lapangan , dan pengawas pemilu luar negeri untuk melakukan pengawasan terhadap penyelengaraan pemilu. Pemilu yang dimaksud disini adalah pemilihan umum DPR-RI, DPRD (provinsi) dan DPRD (kabupaten/kota) sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 ayat (18) UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Dearah.
Disisi lain, pemerintah Aceh bersama dengan DPRA yang dimotori oleh politisi Partai Aceh menggugat hasil pembentukan Bawaslu Aceh, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwascam dan juga PPL yang didasarkan kepada UU No.15 Tahun 2011. Wakil Ketua Komisi A DPRA, Nurzahri menyatakan bahwa pembentukan Bawaslu provinsi Aceh, Panwaslu kabupaten/kota, Panwascam dan PPL tidak sah jika didasarkan kepada UU No.15 Tahun 2011, melainkan harus didasarkan kepada UUPA, dan namanya juga bukan Bawaslu, melaikan Panwaslih.
Dasar hukum pendapat Nurzahri sebenarnya merujuk kepada Pasal 60 ayat (2) yang menyatakan Anggota Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), masing-masing sebanyak 5 (lima) orang yang diusulkan oleh DPRA/DPRK. Lebih lanjut, tugas dan wewenang Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) disebutkan pada pasal 61 ayat (1) UUPA yaitu: melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota; dan melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang undangan.
Jika merujuk kepada ketentuan materil UU di atas maka jelas bahwa UUPA membatasi tugas dan wewenang Panwaslih yang diusulkan oleh DPRA/DPRK yaitu hanya untuk pemilihan kepada daerah, namun tidak untuk pemilihan anggota legislatif dan presiden/wakil presiden. Melihat ketentuan teks materil UU tersebut, maka jelas bahwa apa yang digugat oleh DPRA dan Pemerintah Aceh dengan sendirinya melawan dari ketentuan pasal 60 UUPA itu sendiri. Selain itu ketentuan dalam UU No.15 tahun 2011 dengan UUPA tidak saling bertentangan dan atau bersengketa, sehingga tidak perlu ada tafsiran lain terhadap ketentuan meteril kedua UU tersebut.
Lantas mengapa Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengajukan Sengketa Kewenangan Pembentukan Bawaslu Aceh yang diajukan oleh Bawaslu pusat melawan DPRA? Apakah ini menandakan bahwa kebijakan Bawaslu pusat dalam pembentukan Bawaslu provinsi bertentangan dengan UU? Atau sebaliknya perkara yang diajukan tidak perkara yang diajukan diluar kewenangan MK?
Melihat putusan MK No.3/SKLN-XI/2013 tentang keputusan perkata sengketa kewenangan pembentukan Bawaslu Aceh, MK menyatakan itu adalah di luar kewenangannya. Sebagaimana disebutkan oleh Wakil Ketua MK Arif Hidayat bahwa kewenangan yang menjadi objectum litis permohonan pemohon bukanlah kewenangan pemohon yang diberikan oleh UUD 1945, melainkan kewenangan yang diberikan oleh UU, yaitu UU 15/2011, sehingga bukan merupakan objectum litis dalam SKLN sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 61 UU MK. (Serambi, 23/1/2014).
Artinya, MK tidak berwenang dalam menguji kewenangan lembaga Negara yang diberikan oleh masing-masing UU, baik UU No.15 tahun 2011 maupun UU No.11 tahun 2006, karena sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, bahwa MK berwenang dalam hal menguji sebuah UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, sebaliknya dalam kasus ini tidak ada yang bertentangan dengan UUD 1945 baik UU No.15 Tahun 2011 maupun UU No.11 Tahun 2006. Sebaliknya yang bertentangan hanya kepentingan politik saja.
Kepentingan politik
Merujuk kepada socio-politik yang berkembang, maka perkara yang sebenarnya terjadi hanyalah persoalan kepentingan politik antara DPRA khususnya Partai Aceh + pemerintahan Aceh dengan Bawaslu. Kepentingan politik ini juga dilandasi kepada kenyakinan bahwa Aceh adalah provinsi yang mempunyai status lex specialist derogate legi generalis (aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum). Artinya selain dari enam perkara yang menjadi kewenangan pusat yaitu: (1) Moneter, (2) fiscal, (3) pertahanan (4) politik luar negeri, (5) Justisi/peradilan, dan (6) agama; maka lainnya adalah kewenangan pemerintahan Aceh yang bersifat khusus, termasuk dalam hal pembentukan Bawaslu provinsi Aceh, atau nama lain Panwaslu Aceh.
Asas lex specialist inilah yang juga telah menjebak sebagian penyelengara pemerintah di Aceh, ketika tidak mempelajari secara totalitas apa itu lex specialist dalam konteks hukum di Indonesia. Bagir Manan dalam bukunya Hukum Positif Indonesia sebagaimana dikutip dari artikel AA Oka Mahendra yang berjudul Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, disebutkan bahwa ada beberapa prinsip dalam memahami asas lex spesialist derogate legi generalis, yaitu: (1) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; (2) Ketentuan-ketentuan lex specialist harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (UU dengan UU); dan (3) Ketentuan-ketentuan lex specialist harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis.
Berdasarkan uraian di atas, maka Pasal 61 UUPA jelas mengatur secara khusus tentang kewenangan DPRA/DPRK dalam membentuk Panwaslih untuk pemilukada, dan juga jelas bahwa UUPA tidak mengatur tentang kewenangan DRPA/DPRK dalam membentuk Bawaslu Aceh dan atau Panwaslu kabupaten/kota untuk pemilu legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden. Maka terkait dengan perseteruan antara trio lembaga Negara ini yaitu; DPRA + Pemerintah Aceh versus Bawaslu harus kembali kepada pemahaman hukum itu sendiri secara baik dan benar. Wallahualam.
* Chairul Fahmi, MA, Direktur The Aceh Institute, dan Dosen Politik Hukum UIN Ar-Raniry. Email: chairulfahmi@acehinstitute.org
Opini ini telah dimuat di Harian Serambi Indonesia Tanggal 24 Februari 2014