SALUT dan berani, itulah reaksi saya setelah membaca Liputan Eksklusif Menanti Langkah PA ke Depan (Serambi, 5/5/2014). Tidak hanya saya, ribuan rakyat Aceh lainnya, barangkali, ikut tergoda untuk membaca seluruh sajian laporan eksklusif yang dikemas dengan amat menarik itu. Meski demikian, tampaknya tidak semua terungkapkan ke publik isi dari laporan; Mengapa Partai Aceh (PA) bisa terjun bebas suaranya, hingga berkurang kekuatan politiknya di DPRA periode 2014-2019 mendatang ini.
Walaupun PA menang pada Pemilu Legislatif 9 April lalu, tapi publik menilai PA sudah kalah. Jika ditelusuri rekam jejak perolehan kursi di DPRA. Pada 2009 perolehan suara PA mencapai 1.007.173 suara (47%), sehingga mampu mendominasi DPRA dengan 33 kursi dari 69 kursi. Sedangkan pada Pileg 2014 ini hanya memperoleh 29 kursi dari 81 kursi DPRA.
Untuk itulah tulisan ini coba menganalisis dan menjawab pertanyaan di atas, termasuk fenomena menguatnya parpol berbasis nasional (parnas) sebagai kekuatan baru di parlemen Aceh untuk periode lima tahun ke depan.
Banyak faktor
Penurunan suara PA sudah banyak di prediksikan oleh para polikus serta pengamat politik. Banyak faktor yang melatarbelakangi penurunan suara PA pada Pemilu 2014, antara lain: Pertama, mesin PA tidak lagi sesolid dan setangguh seperti pada Pemilu 2009; Kedua, PA telah mengalami perpecahan di internalnya dengan melahirkan Partai Nasional Aceh (PNA); Ketiga, publik menilai kinerja kader PA yang duduk di parlemen tidak memberikan dampak signifikan terkait kesejahteraan rakyat. Kader PA pada momentum Pilkada 12 kabupaten/kota kalah, terdiri dari: Banda Aceh, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Luwes, Subulussalam, Singkil, Aceh Selatan, Aceh Tamiang, Simeulue, dan Aceh Tenggara;
Dan, keempat, belum lagi PA terjebak dalam urusan kepentingan ekonomi, sehingga melupakan konsituen. Bahkan ketika kampanye di Pilkada 2012 belum terlaksana 21 janji politik PA memenangkan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Ditambah lagi pemisahan zona daerah pemilihan (Dapil) semakin memperkuat pengurangan jumlah kursi di parlemen bagi PA. Misalnya untuk Dapil Bener Meriah dan Aceh Tengah sudah lepas dari Bireuen. Di wilayah timur, Aceh Tamiang dan Langsa sudah terpisah, sebelumnya masuk Dapil Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang (Prediksi Kontestasi di Pemilu 2014; ajnn.net, 8/4/2014).
Bagi saya, PA kalah disebabkan masuk perangkat dari parnas, dimana basis konstituennya terambil oleh parnas. Terlihat dari afiliasi politiknya dengan Gerindra makin menurunkan dukungan masyarakat Aceh. Hal ini dikarenakan masyarakat korban konflik di Aceh masih belum bisa menerima ikhlas aktor pelanggaran hak asasi manusia (HAM), yang di dalamnya termasuk Prabowo Subianto. Apalagi jumlah korban konflik Aceh cukup banyak.
Artinya, klientilistik PA dengan Gerindra langkah mundur dari strategi pemenangan yang dibuat PA. Kesimpulannya afiliasi politik tidak memberikan efek bagi kemenangan PA sekaligus menjadi bomerang bagi internal partai. Maka berdampak koalisi PA-Gerindra terancam bubar. Ini pun bisa mempersulit suara dukungan Prabowo menjadi presiden di Aceh. Berujung banyak hijrah ke presiden lainnya pada Pilpres tahun ini.
Makin terlihat suara PA digerus/terambil oleh partai nasional ketika mesin partai dimanfaatkan oleh caleg/kandidat DPR RI Aceh II, seperti; Firmandez dan Marzuki Daud. Setiap kampanye PA lakukan selalu melibatkan kedua orang tersebut yang berasal dari Partai Golkar. Walaupun pelibatan mereka bukanlah keputusan resmi partai tetapi keputusan segelintir elit/petinggi Partai Aceh. Belum lagi cara-cara PA di Pemilu 2014 menurut data lembaga MaTA menemukan PA kedapatan melakukan politik uang dan menggunakan fasilitas Negara (www.peristiwa.co, 15/4/2014).
Jika PA berrmain dengan cara politik transaksional seperti saat ini, tidak tertutup kemungkinan, partai berbasis/kalangan nasional akan menggilas PA di masa datang. Karena sikap dan tindakan PA tersebut memberikan ruang bagi kebangkitan partai nasional di parlemen. Ke depannya diharapkan keberadaan partai nasional di parlemen mampu memberikan dinamika di parlemen (DPRA). Tujuan konsolidasi dari berbagai parnas agar mampu mengimbangi kekuatan PA secara dominan. Mengimbangi tidak hanya memperoleh kursi saja, tetapi dari metode komunikasi politik lintas parnas, sehingga mampu mempengaruhi kebijakan yang dibuat bagi kemaslahatan masyarakat Aceh pada umumnya.
Intinya di DPRA perlu oposisi yang mampu mengimbangi PA sebagai pemenang tidak mayoritas pada Pemilu 2014. Nantinya kebijakan dibuat memberikan nuansa baru dan adanya dinamika di parlemen DPRA. Saya tegaskan lagi kondisi ini harus di manfaatkan partai nasional untuk membangkitkan kembali partai nasional di Aceh. Momentum awal kalangan dari partai nasional mengambil celah di Pemilihan Kepala Daerah tahun 2017 untuk mampu kadernya terpilih sebagai gubernur. Syarat utama membangun konsolidasi dan komitmen memangkan jagoannya di Pilkada 2017 nantinya. Pertanyaanya apakah berani partai berbasikan nasional mengambil sikap tersebut?
Perlu introspeksi
Implikasi turunnnya dukungan kepada PA itu bagi masa depan Aceh dalam kurun waktu lima tahun ke depan, Membaca prediksi implikasi harus dilihat secara dua arah. Arah perbaikan dan perubahan yaitu elite dan kader PA perlu melakukan introspeksi (otokritik) ke internalnya, guna memperbaiki agar mampu bertahan serta menjadi pemenang ke depannya. Bentuk perbaikan, antara lain, menjadi partai yang benar-benar berkarakter inklusif dan modern, penguatan kaderisasi, manajemen kepartaian, dll.
Hal lainnya PA melakukan upaya pendidikan politik kepada konstituenya ataupun masyarakat Aceh secara menyeluruh. Memberikan penjelasan program-program rasional dilakukan paska menang di pemilu 2014. Faktanya selalu menebar janji-janji politik, sehingga makin menurunkan dukungan dan simpati dari masyarakat Aceh.
Sedangkan arah lainnya, kemungkinan besar selama lima tahun kedepan hadirnya kekuatan oposisi yang sudah terkonsolidasi dari kalangan parnas di DPRA. Warna baru dan hadirnya dinamika akan membawa harapan baru, bahwa kebijakan yang dibuat tidak satu pintu atau satu arah seperti postur parlemen 2009-2014, yang harus tunduk pada permainan dan kepentingan PA.
Kebijakan regulasi tidak lagi terkontrol pada satu partai lagi, karena dominasi PA tidak lagi berkuasa penuh di parlemen Aceh. Ini menjadi babak baru bagi kondisi parlemen di Aceh serta harapan dari masyarakat Aceh. Bagi saya kehadiran PA harus tetap dipertahankan karena bagian dari keunikan dan warna tersendiri dari dinamika politik di Aceh. Tidak hanya PA saja, partai lokal lainnya harus bertahan juga, sehingga kehadirannya tidak termonopoli hanya satu parlok saja. Semoga!
Aryos Nivada, Peneliti dan Penulis Buku Wajah Politik dan Keamanan Aceh, tinggal di Banda Aceh. Email: aryos@acehinstitute.org
Opini ini telah dimuat di harian Serambi Indonesia, hari Rabu, 7 Mei 2014
Sumber : Serambinews.com