Dikotomi Sumber Daya Partai Lokal
Partai Lokal yang terdapat di Aceh merupakan satu dari sekian poin hasil konsensus perdamaian pada 15 Agustus 2005 yang menandakan bahwa Republik Indonesia memberikan hak dispensasi khusus pada Aceh dalam rangkaian proses dinaminasi kebangsaan terhadap negara yang berbentuk Republik. Perdamaian Aceh yang hanya melibatkan dua komunitas bertikai yaitu RI dan GAM memberikan arti penting bahwa perdamaian tersebut memberikan kesempatan untuk membangun kembali Aceh yang sudah terpuruk akibat konflik yang berkepanjangan. Namun demikian, perdamaian tidak semata-mata menjadi akses kesejahteraan kelompok tertentu saja, tapi juga untuk seluruh manusia yang hidup di Aceh. Saat ini terdapat paradigma yang terbangun di Aceh bahwa realisasi dari poin-poin perdamaian yang ada hanya diwujudkan untuk menenangkan riak di permukaan dengan memprioritaskan kepentingan pihak yang terlibat dalam konflik Aceh. Nyatanya sebagian besar rakyat Aceh merasakan dampak konflik sehingga mereka juga harus menjadi prioritas dari substansi perdamaian tersebut.
Partai lokal hasil kontruksi perdamaian pada dasarnya harus menjadi harapan baru bagi rakyat Aceh sebagai akses untuk mendapatkan hak mereka sebagai warga negara. Dalam proses ini, mantan anggota GAM dan berbagai kalangan masyarakat lainnya diberikan kesempatan untuk terlibat langsung dalam proses demokratisasi di Aceh dengan membentuk Partai lokal. Hasilnya, pilkada pasca damai pertama pada 2006, posisi Gubernur dan beberapa Bupati dikuasai oleh mantan elite GAM. Pada pemilu legislatif tahun 2009, sebagian kursi di DRPA dan DPRK juga didominasi oleh mantan anggota GAM. Terlepas dari kecurangan pemilu yang ada, hal ini menunjukan bahwa euforia perdamaian Aceh diwujudkan dalam pesta demokrasi tersebut, dan sekaligus saat itu menandakan bahwa GAM merupakan representasi sebagian besar masyarakat Aceh. Era reformasi dengan sistem pemerintahan yang desentralistik menjadi ruang bagi proses rekonsiliasi konflik ini di Aceh. Tapi kemudian kemenangan yang telah dicapai oleh partai lokal Aceh tidak mampu menjadikan dirinya sebagai partai yang kuat karena tidak mampu melembagakan dirinya sendiri secara kuat. Oleh karena itu, proses pelembagaan partai lokal di Aceh sudah layaknya bercermin pada partai-partai di Eropa yang survive sepanjang sejarah modern Eropa, tidak hanya dengan mengandalkan euforia perdamaian yang ada, memposisikan diri sebagai pejuang, bertindak dalam kepalsuan atas nama rakyat Aceh ataupun mengandalkan sumber daya politik yang telah dikuasai sebelumnya.
(De)-Institusionalisasi Partai Lokal
Pada dasarnya bentuk dan pola partai lokal sama dengan partai nasional yang ada di Indonesia, hanya saja rulling class dan ruled class-nya hanya berada di Aceh.Randal dan Svasand mengemukakan bahwa pelembagaan (institusionalisasi) partai politik ialah proses pemantapan partai politik baik dalam bentuk dari wujud perilaku maupun dalam sikap atau budaya (the process by which the party becomes established in terms of both of integrated patterns of behavior and of attitude or culture). Proses pelembagaan ini mengandung dua aspek, aspek dimensi internal-eksternal, dan aspek elemen struktural-kultural. Dimensi internal menjelaskan mengenai hubungan antar bagian dalam tubuh partai, yang mana pada bagian ini berimplikasi pada peningkatan kontinuitasdan prospek terhadap akuntabilitas pemilu. Dimensi eksternal menjelaskan bahwa partai dalam melembagakan dirinya tidak hanya membentuk bagian dirinya di bagian internal saja, melainkan perlu membentuk hubungan di luar partai. Elemen struktural, seperti dengan dimensi eksternal merujuk pada interaksi partai dengan pemerintahan yang ada, dengan sebagai syarat, dasar pelembagaan partai yang mana partai mendapatkan otonomi dari Negara. Sedangkan elemen kultural terlihat pada sikap masyarakat terhadap partai, terutama mengarah pada derajat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan komitmennya terhadap proses pemilu. Bila kedua dimensi ini dipersilangkan, maka akan terdapat empat variabel penting, yaitu: pertama, derajat kesisteman (systemness) suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan struktural. Kedua, derajat identitas nilai (value infusion) suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan kultural. Ketiga, derajat otonomi suatu partai dalam pembuatan keputusan (decisional autonomy) sebagai hasil persilangan aspek eksternal dengan struktural. Dan keempat, derajat pengetahuan atau citra publik (reification) terhadap suatu partai politik sebagai persilangan aspek eksternal dengan kultural (Randall dan Svasand, 2002).
Dalam studi komparatif kepartaian di Indonesia, partai lokal menjadi objektifisikasi isu penting baru untuk dikaji dan dibicarakan, karena menimbulkan dampak sistemik terbaru dalam sistem kepartaian negara yang bersistem republik. Salah satunya tentang bagaimana partai lokal dengan semua dinamisasinya mampu terlembaga dengan baik. Tiga partai lokal yang baru saja bertarung pada pemilu 9 April 2014 di Aceh lalu tidak mampu membangun pelembagannya secara konkrit, terlihat dari proses kampanye yang dilalui, hanya berkutat pada isu-isu konyol yang bahkan cenderung intimidatif, tidak mempunyai konsep visioner yang jelas dan adaptif, kemudian sebagian besar publikasi media hanya disuguhi dengan berita tentang kekerasan yang dialami lintas partai.
Jika dikaji lebih jauh proses pelembagaan partai lokal dengan menggunakan variabel Randall dan Svansand maka tidak dapat ditemukan proses pelembagaan tersebut. Pertama, systemness merujuk pada pengelolaan infrastruktur parpol dan dinamika internalnya. Dengan kata lain, kesisteman adalah proses pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik, termasuk penyelesaian konflik, dilakukan menurut aturan, persyaratan, prosedur, dan mekanisme yang disepakati dan ditetapkan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) partai politik (Surbakti, 2013). Partai lokal di Aceh tidak mampu fungsi-fungsinya sebagai partai, terbukti dengan tidak jalannya fungsi tersebut secara substantif. Selanjutnya, Value infusion, terkait dengandimensi attitudinal pelembagaan partai politik di mana nilai-nilai ideologisyang dapat menarik dan melekat pada para anggota atau pendukungmenjadi perhatian utama dan terakhir. Identitas nilai berkait dengan orientasi kebijakan dan tindakan partai politik menurut ideologi atau platform partai. Identitas nilai seperti ini tidak hanya tampak pada pola dan arah kebijakan yang diperjuangkan partai politik tetapi juga tampak pada basis sosial pendukungnya. Partai lokal dalam hal ini berhasil membangun basis logika identitas yang kuat, namun berimplikasi negatif karena ketidakmampuan untuk mengontrol logika yang ada, misalnya menkontruksikan partai lainnya sebagai musuh yang nyata karena perbedaaan nilai identitas yang dibangun oleh elit partai, sehingga mengarah pada kekerasan.. Lalu Decisional autonomy, otonomi politik terkait dengan hubungan parpol dan lingkunganeksternalnya, misalnya hubungan baik (bebas ikatan politik) dengan sumber otoritas tertentu (penguasa, pemerintah), maupun dengan sumber dana (pengusaha, penguasa, negara atau lembaga luar), dan sumber dukungan massa (organisasi masyarakat). Dalam hal ini Partai lokal belum mampu melepaskan citra mereka sebagai partai perjuangan GAM ataupun identitas lainnya, sehingga kebijakan yang ada bersifat selfing oriented dan tidak berimplikasi apapun pada masyarakat. Kebijakan tersebut masih dipengaruhi oleh euforia perjuangan GAM yang mendapatkan kesempatan oleh RI kepada GAM untuk ikut dalam kontestasi demokrasi. Kemudian partai lokal cenderung membangun patron klient sistem yang sangat rentan dengan praktik politik uang, patron yang merupakan mantan elit GAM membangun basis-basis klient dari para mantan kombatan GAM di lapangan, dengan memanfaatkan relasi ini, kandidat atau kader partai lokal sangat mudah mendistribusikan dan mengatur praktik politik uang ini.Terakhir, reification, hal ini terkait dengan kemampuan partai untuk menanamkan suatu citra tertentu di benak para pemilih. Derajat pengetahuan publik tentang partai politik merujuk pada keberadaan partai politik tersebut yang telah tertanam pada imajinasi publik seperti dimaksudkan partai politik itu, yang menjadi isu utama di sini bukan tentang sikap masyarakat mengenai partai politik umumnya, tetapi tentang corak dan kiprah masing-masing partai politik bagi masyarakat. Bila sosok dan kiprah partai politik tertentu telah tertanam pada imajinasi publik seperti dimaksudkan partai itu, maka pihak lain baik individu maupun lembaga di masyarakat akan menyesuaikan aspirasi dan harapannya atau sikap dan perilaku mereka dengan keberadaan partai politik itu. Jelas bahwa partai lokal hanya sebatas simbolisasi perdamaian, bukan menjadi penyalur pemenuhan hak masyarakat di Aceh. Publik cenderung hopeless dengan keberadaan partai lokal akibat citra yang ditampilkan hanya penguasaan sumber daya bagi mereka yang memposisikan diri sebagai pejuang.
Berdasarkan fakta di atas, saya memproyeksikan basis logika terbalik (party de-institutionalization) dari institusionalisasi partai yang dikembangkan Randall dan Svansand. Pada dasarnya, proses alamiah rusaknya keberadaan partai lokal di Aceh diakibatkan oleh partai lokal itu sendiri. Jika partai lokal tidak mampu melembagakan dirinya sendiri dengan baik, maka preferensi partai lokal akan ditinggalkan oleh masyarakat Aceh. Sejatinya pelembagaan partai akan ditentukan oleh profesionalisme dan pengelolaan partai. Proses ini tidak hanya menjelang pemilihan umum, tapi juga menyangkut dengan rutinitas kegiatan partai. Pengelolaan dan profesionalisme tersebut terdiri dari beberapa aspek penting kehidupan partai. Termasuk dalam hal ini adalah pembangunan ideologi dan kebijakan, aturan main, kekuasaan dan latar belakang sosial anggota partai dan pemimpinnya, rekruitment dan kandidat yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, serta proses marketing politik partai tersebut. Profesionalitas dari pada pengurus partai yang menjalankan fungsinya akan sangat menentukan keberlangsungan pelaksanaan aspek tersebut sebagai elemen penting partai. Jika suatu partai politik mampu mengelolakeempat variabel tersebut dengan baik, maka dapat dikatakan parpol tersebut telah mengalami pelembagaan politik yang optimal, denganhasilnya tentu adanya stabilitas organisasi, efektivitas peran dan posisipolitiknya, menguatnya basis konstituen dan penerimaan pemilih, serta adanya dinamika internal yang mendorong soliditas parpol. Dengan kemampuan partai lokal untuk melembagakan dirinya sebagaimana di atas, maka dapat dipastikan partai lokal akan mampu bertahan di Aceh, baik dengan aturan yang ada maupun memiliki basis suara yang tetap dan stabil. Dalam hal ini juga, sejatinya partai lokal juga harus mampu ber-co-eksistensi dengan partai nasional demi perwujudan demokratisasi yang baik di Aceh dan pengaruhnya di lingkaran isu nasional.
Randall, Vicky and Svasand, Lars. Party Institutionalization In New Democraciesdalam Party Politics Journal, Vol 8, No 1, Januari 2002.