Salah satu jawaban yang menarik adalah pentingnya LSM di Aceh melakukan investasi politik baik dalam kaitannya dengan politik perubahan maupun dalam kaitannya dengan perubahan politik. Jika yang pertama (politik perubahan) berkaitan dengan gagasan-gagasan cerdas LSM tentang ke-Aceh-an maka yang kedua (perubahan politik) berkaitan dengan gerakan perbaikan sistem tatakelola kehidupan ke-Aceh-an, minimal diranah cara berdemokrasi ureung Aceh. Dan bicara investasi tentu saja bicara modal, model dan modul.
Pada level modal banyak hal yang bisa dipakai oleh LSM sebagai modal investasi politik perubahannya. Aktivis yang terus terkaderisasi bisa dilihat sebagai tabungan atau deposito yang memiliki nilai yang mahal di pasar-pasar politik seperti di partai politik maupun di pesta politik (pemilu). Sementara pikiran atau gagasan, keanggotaan, dan dampingan bisa menjadi modal lain yang memperkuat modal utama yakni orang atau aktivis.
Jika bentuk modal utama bisa dibangun dalam ranah model investasi non-konvensional maka modal dalam bentuk lainnya bisa dimainkan dalam ranah model investasi spekulatif. Dalam hal-hal tertentu keduanya bisa saja saling berkaitan.
Tentu saja memiliki modal dan model saja belum mejamin investasi politik akan mendatangkan kuntungan (baca: perubahan Aceh ke arah yang lebih baik). Diperlukan modul yang menggambarkan kemampuan manajemen dan strategi untuk memastikan modal yang dimiliki oleh LSM dan model investasi yang dipakai benar-benar memproduksi keuntungan yakni perubahan Aceh ke arah yang lebih baik.
Jika direfleksi secara mendalam maka banyak sekali kerugian-kerugian yang telah diperbuat oleh LSM terutama paska Aceh terbebas dari konflik dan bencana. Diantara kerugian yang utama adalah melepaskan modal utamanya (aktivis) untuk begitu saja diambil oleh para pelaku investasi politik lainnya yakni partai politik. Malah aktivis sebagai modal produktif dibiarkan begitu saja menjadi modal habis bersamaan dengan habis masa jabatan pengabdiannya di LSM.
Banyak contoh kasus yang bisa disebutkan. Misalnya, masuknya banyak aktivis LSM ke partai politik yang sama sekali lepas dari manajemen pengelolaan modalitas politik perubahan di LSM. Padahal, semua aktivis yang dilamar atau yang mau diterima oleh partai politik semuanya berangkat dari pengkaderan LSM-nya. Jadi menjadi aktivis LSM tidak bisa muncul sendiri melainkan dijadikan oleh LSM baik melalui pengkaderan secara terlatih maupun secara manajerial. Jadi baik melepaskan begitu saja atau memutus hubungan dengan aktivisnya untuk diambil oleh pihak lain atau terlepas sendiri, dalam konteks investasi politik perubahan Aceh, adalah sebuah kerugian yang amat besar.
Sungguh, perubahan Aceh untuk mengarah kepada keadaan yang lebih baik lagi sudah tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar bebas begitu saja khususnya dalam konteks periode transisi ini. LSM sebagai salah satu pilar demokrasi yang memiliki modal harus ikut melakukan intervensi pasar sehingga dinamika pasar politik yang memang masih sangat rawan bisa ikut ditentukan keuntungannya yakni bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Dalam konteks Aceh, intervensi ini sekaligus juga sebagai penjamin agar perdamaian Aceh tetap berkelanjutan di atas landasan demokrasi murni (genuine) dan bukan di atas landasan demokrasi yang abu-abu.
Meski hasil refleksi di atas mengisyaratkan kekuatiran namun idiologi LSM masih menyediakan ruang harapan yakni terbukanya ruang bagi dilakukannya re-visioning politik LSM di Aceh guna memastikan segenap modalitas civil society menjadi investasi politik yang mendatangkan perubahan lebih baik lagi bagi Aceh.
Re-visioning ditingkat politik perubahan sudah bisa dimulai diwacanakan, didiskusikan, dan dijadikan visi secara sinergis yang pada gilirannya dijadikan program apa yang disebut dengan Aceh Impian. Jika gagasan, visi dan program Aceh Impian hasil rumusan LSM bisa menjadi inspirasi dan bahkan referensi bagi pelaku politik dan pembangunan maka bisa dikatakan bahwa investasi politik LSM sudah memainkan perannya. Untuk memainkan peran diwilayah politik perubahan melalui gagasan, visi, dan program Aceh Impian (Aceh Dream) sangat dimungkinkan karena LSM memiliki modul yang akhir-akhir ini semakin popular yakni pendekatan appreciative inquiry (AI). Pendekatan ini bisa menjadi alternatif untuk mengatasi kebuntuan pembangunan akibat perencanaan yang masih terus bertahan pada pendekatan problem solving.
Melalui pendekatan AI, LSM bukan hanya bisa menawarkan suatu gagasan segar tentang bagaimana pembangunan dilakukan melainkan dengan pendekatan AI, LSM ikut serta dalam memperbaiki pola pandangan, pola perilaku, dan pola relasi yang lebih segar lagi di antara semua komponenan ke-Aceh-an.
Dengan re-visioning di tingkat politik perubahan ini akan dengan sendirinya mengubah aksi politik LSM di tingkat perubahan politik. Dengan masuk dan berperannya sumberdaya LSM (aktivis) ke pasar politik (partai politik) dan pemilu maka gerak pasar perubahan ke-Aceh-an bisa ikut diupayakan secara by design, jadi tidak dibiarkan lagi hanya ditentukan secara bebas oleh pelaku pasar (politik) yang memiliki tata kelola yang ditentukan oleh mereka sendiri.
Akankah momentum politik Aceh di 2011 dan periode-periode berikutnya serta gerak pasar politik provinsi dan kabupaten akan kembali berjalan bebas tanpa keikutsertaan LSM untuk berinvestasi? Sayup-sayup tapi pasti sejumlah diskusi sudah pernah digelar dan kabarnya akan terus digelar baik secara terbatas maupun secara lebih terbuka. Hmmm.semoga perubahan Aceh menjadi lebih baik lagi memang terwujud adanya. Semoga.