Otonomi khusus merupakan sebuah kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat ke provinsi Aceh,yang secara administrative berada pada tingkat provinsi. Hal ini seakan-akan pemerintahan di tingkat kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan apapun di dalam mengimplementasikan otonomi khusus. Apakah ini benar atau salah?,
Secara realita, pertentangan kekuasaan dalam pengelolaan dana OTSUS antara antara pemerintahan Aceh dan pemerintahan di kabupaten kota tidak dapat dihindari. Mengenai kewenangan ditingkat provinsi, sebagaimana telah dijelaskan dalam pasal 179 UU No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), di dalam ayat (1) Penerimaan Aceh dan kabupaten/kota terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Dan ayat (2) menegaskan bahwa Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari, (a) Pendapatan Asli Daerah; (b) Dana Perimbangan; (c) Dana Otonomi Khusus; dan (d) lain-lain pendapatan yang sah.
Dari penjelasan pasal di atas, dapat dikatakan bahwa, salah satu yang menjadi sumber pendapatan dan pembiayaan bagi pemerintahan di kabupaten/kota adalah Dana Otonomi Khusus. Namun demikian, dalam Qanun No. 2 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus, di dalam Pasal 8 Qanun ini menyebutkan bahwa Dana Otonomi Khusus bersumber dari APBN dan merupakan penerimaan Pemerintah Aceh.
Sehingga, pemerintahan Aceh menganggap bahwa dana otonomi khusus merupakan penerimaan yang dimiliki oleh pemerintahan Aceh saja, hal ini tentunya akan bertentangan dengan pasal 179 ayat (2) UUPA, dimana di ayat (2) dengan tegas menyebutkan sumber pendapatan daerah baik di pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota salah satunya adalah dana otonomi khusus, dengan demikian dapat dikatakan, seyogyanya kedua-duanya memiliki hak di dalam pengelolaan dan penggunaan dana otonomi khusus.
Dana otonomi khusus seharusnya dinikmati oleh kedua pemerintahan baik pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota, dimana dana ini berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) plafon dana alokasi umum nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu persen) plafon dana alokasi umum nasional.
Tetapi sayangnya pemerintahan Aceh di dalam mempersepsikan dana otonomi khusus hanya memakai dasar yuridis Pasal 183 ayat (1) dimana disebutkan bahwa dana otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf c, merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Jurang Konflik
Tarik menarik terhadap pengelolaan dana otonomi khusus ini telah memicu konflik laten antara dua pemerintahan, berbagai pertanyaan menyangkut dengan pengelolaan dana otonomi khusus sering dipertanyakan oleh aparatur pemerintahan dari kabupaten/kota, dan sepertinya kabupaten/kota tidak memiliki peran apapun di dalam pengelolaan dana otonomi khusus tersebut.
Menurut penulis, dalam memaknai otonomi khusus, seharusnya melihat Aceh secara keseluruhan, dengan tidak adanya dikotomi antara pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota sebagaimana disebutkan di dalam UUPA yang menyebutkan keduanya adalah pemerintahan. Artinya masing-masing memiliki wewenang di dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan juga termasuk hak untuk mendapatkan alokasi anggaran sesuai dengan yang telah diatur di dalam perundang-undangan, hanya saja di dalam konteks hubungan antar pemerintahan yang lebih arif, diperlukan adanya mekanisme pengaturan yang lebih adil didalam pengelokasian dana otonomi khusus ini, misalnya perlu kirannya memberikan kesempatan bagi pemerintahan di kabupaten/kota untuk mengelolanya, disamping aturan perundang-undangan mengatakan bahwa dana otonomi khusus juga merupakan penerimaan bagi kabupaten/kota, dan tentunya kabupaten/kota yang merupakan bagian dari Aceh secara keseluruhan juga memiliki hak sebagai daerah Aceh untuk menikmati dana otonomi khusus. Pemerintahan Aceh disamping mendapatkan porsi di dalam pengelolaan dana otonomi khusus, pemerintahan Aceh di tingkat provinsi sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan pedoman atau norma standar dan prosedur bagi pemerintahan di kabupaten/kota di dalam pengelolaan dan penggunaan dana otonomi khusus, dan sekaligus dapat melakukan pengawasan pelaksanaannya, dengan demikian sebenarnya hak pengelolaan dana otonomi khusus juga harus dikelola oleh pemerintahan kabupaten/kota.
Otonomi Khusus di Aceh
Perlu disadari, konflik telah memberikan peluang bagi Aceh di dalam membangun masa depan yang lebih baik, hadirnya UUPA telah memberikan peluang untuk membangun Aceh yang lebih baik di masa depan. Aceh diberikan kewenangan untuk memiliki beberapa kewenangan di dalam membangun pola hubungan dengan pemerintahan Indonesia, misalnya terkait dengan Pasal 8 di UUPA yang memerintahkan pemerintah pusat untuk melakukan negosiasi dan konsultasi dengan pemerintahan Aceh terkait dengan tiga hal yaitu (1) Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. (2) Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Dan (3) Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur. Disamping itu Pemerintah juga harus mendapat persetujuan Gubernur untuk mengangkat Kepala Kepolisian di Aceh dan Kepala Kejaksaan. Disamping itu Aceh memiliki kewenangan-kewenangan di dalam pengelolaan sumber daya alam, misalnya tekait dengan pengelolan minyak dan gas bumi, dimana amanat dari Pasal 160 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh.
Di dalam konteks hubungan antara pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota untuk memaknai otonomi khusus, sebenarnya UUPA juga telah memberikan pembagian kewenangan bagi keduanya di dalam menjalankan urusan pemerintahan, disamping urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan dan urusan pemerintahan yang bersifat istimewa, ditambah dengan beberapa kewenangan misalnya sesuai dengan yang disebutkan di dalam Pasal 162 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berwenang untuk mengelola sumber daya alam yang hidup di laut wilayah Aceh. namun memang UU No. 11 Tahun 2006 tidak membagi dengan tegas kewenangan di dalam menjalankan urusan pemerintahan dan pembagian kewenangan antara pemerintah aceh dan pemerintah kabupaten/kota, UU hanya mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah dan pemerintahan aceh, menyangkut dengan pembagian kewenangan antara pemerintahan aceh dan pemerintahan kabupaten/kota, antara kedua pemerintahan ini perlu diatur lebih lanjut dengan Qanun. Dengan demikian memaknai otonomi khusus sebenarnya adalah memaknai Aceh secara keseluruhan dengan tidak adanya dikotomi antara pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota, dimana dapat dimaknai masing-masing pemerintahan memiliki otonomi di dalam memiliki kewenangannya dan pengaturan pemerintahannya sendiri. Hanya saja di dalam hubungannya dengan Pemerintah, pemerintahan aceh memiliki kewenangan yang lebih dibandingkan dengan pemerintahan di kabupaten/kota.