Kehadiran kaum agamawan dalam bursa calon pemimpin Aceh kedepan merupakan sinar harapan baru menuju Aceh yang adil dan makmur. Karena mereka merupakan sosok yang sangat dekat dengan Allah sehingga mereka mudah berbuat adil dan bijaksana, sangat dekat dengan rakyak sehingga memungkinkan mereka bekerja demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Namun ada kendala serius yang mengahalangi mereka untuk jadi pemimpin sebagaimana disampaikan oleh saudar TZ pada paragraf berikutnya Namun dibalik semua itu, ada satu kecemasan dan kegelisahan saya selama ini. Kita paham bahwa jabatan dalam Islam adalah sesuatu yang berat, bukan posisi yang harus dikejar apalagi jika harus mengiba dan mengemis kepada rakyat atau memaksa agar memberikannya jabatan.
Benarkah Islam melarang umatnya untuk meminta jabatan?. Menurut hemat penulis, tidak selamanya meminta jabatan itu dilarang. Dalam situasi tertentu malah wajib hukumnya merebut jabatan. Benar, Islam melarang umatnya meminta jabatan, tapi itu hanya berlaku dalam situasi normal. Dalam keadaan dharurah, (keadaan terpaksa) tiada celaan bagi orang yang meminta jabatan. Sesuai dengan qaidah fiqh dharurah membolehkan sesuatu yang haram. Contohnya boleh makan bangkai dalam keadaan terpaksa untuk menyelamatkan jiwa. Jatuhnya jabatan ketangan orang fasiq yang akan menyengsarakan umat adalah keadaan dharurah yang membolehkan seorang muslim yang adil dan mampu mengemban amanah jabatan untuk meminta jabatan. Karena kalau dia tidak meminta jabatan itu, akan menimbulkan keruskan yang lebih besar. Dalam qaidah fiqh yang lain disebutkan apabila terpaksa memilih salah satu dari dua kerusakan, maka pilihlah kerusakan yang paling kecil dari keduanya. Keadaan terpaksa seperti inilah yang terjadi di negeri Mesir ketika Nabi Yusuf menawarkan diri untuk jadi bendaharawan negera sebagaimana diabadikan dalam al-quran Berkata Yusuf: Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS: Yusuf:55).
Fadhlan (lebih-lebih lagi), larangan meminta jabatan itu dikhitabkan (ditujukan) kepada personal, bukan dialamatkan kepada kelompok. Secara kelompok tidak ada larangan untuk mengusulkan jabatan kepada salah seorang yang diyakini mampu mengemban amanah jabatan dengan baik. Sebagai contoh, peristiwa pemilihan khalifah pertama paska wafatnya Rasululullah. Saw. Ibnu Katsir menceritakan dalam Bidayah wan Nihayah bahwa pada hari wafatnya Rasulullah, para sahabat berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk memilih khalifah sebagai penganti Rasulullah dalam memimpin umat. Mereka terbagi dalam dua kelompok, Anshar (penduduk Madinah) dan Muhajiriin (para sahabat yang hijrah dari Makkah). Masing-masing meminta agar pemimpin barasal dari kalangan mereka. Setelah melewati diskusi yang sengit akhirnya mereka membaiat Abu Bakar As-siddiq sebagai khalifah, karena memang beliaulah yang paling akmal dari rijaalun kaamilun waktu itu.
Adanya wacana memilih Gubernur dari unsur Agamawan dan kaum santri patut diapresiasi, mengingat mereka adalah satu-satunya komponen masyarakat yang belum pernah terbukti jadi pemimpin yang gagal seperti diungkapkan oleh TZ. Malah fakta sejarah masa lalu menunjukkan, mereka sukses memimpin masyarkat, loyal terhadap Negara dan setia kepada rakyat. Hal ini dapat kita lihat pada masa perjuangan mempertahankan kedaulatn Aceh dari kaum penjajah. Kaum agamawan dan santri seperti Tgk. Chik di tiro, Tgk. Abdul Jalil Cot Plieng dan sejumlah ulama lainnya tampil memimpin masyarkat melawan kaum kafir demi mempertahankan Negara dan memelihara agama. Tambah lagi karakter pemimpin Aceh yang Islami melekat erat pada tokoh-tokoh mereka. Yaitu yang memenuhi syarat-syarat seorang pemimpin menurut Islam. Menurut Syeih Muhammad Khudhri. Bik dalam buku beliau Itmamul Wifa ada empat syarat yang mesti dipenuhi oleh seorang pemimpin Islam: pertama, memiliki ilmu dan wawasan yang luas. Kedua, bersifat adaalah (tidak melakukan dosa besar dan tidak berkekalan dengan dosa kecil). Ketiga, tegas dan berwibawa. Keempat, tidak cacat fisiknya.
Tokoh yang memenuhi empat syarat ini dikenal dengan istilah rajulun kamil (tokoh yang sempurna). Diluar kaum agamawan akan sangat sulit mencari rajulun kamil yang memiliki empat syarat itu di masa sekarang ini, kususnya syarat yang kedua yaitu adaalah. Padahal adaalah merupakan syarat paling utama (sesudah memiliki ilmu yang memadai) yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin cerdas yang tidak memiliki sifat adaalah merupakan ancaman paling berbahaya bagi rakyat dan Negara, karena kecerdasan itu akan digunakan untuk memperkaya diri dan keluar dari jerat hukum. Sebaliknya seorang pemimpin yang memiliki sifat adaalah takkan terjebak dalam praktek KKN dan takkan berkhianat kepada rakyat untuk memperkaya diri dan kelompoknya, karena itu adalah dosa besar yang sangat mereka takuti. Adaalah inilah yang menjadi modal bagi Abu Bakar as-Siddiq yang mengawali jabatannya dengan ungkapan orang yang kuat di antara kalian, lemah di hadapanku sehingga aku tak akan segan-segan mengambil hak darinya. Orang yang lemah di antara kalian, kuat dihadapanku sehingga aku takkan mendhalimi haknya. Ungkapan ini beliau buktikan dalam tindakan nyata sehingga masyarakat hidup makmur damai sejahtera di bawah kepemimpinannya. Adaalah ini pula yang menjadi landasan kepemimpinan Umar bin Khattab yang tak pernah pandang bulu dalam melaksanakan hukum Allah. Anak beliau sendiri beliau rajam hingga mati karena terbukti berzina dengan seorang perempuan Yahudi. Juga sifat adaalah ini sebagai pioneer bagi Umar bin Abdul Aziz dalam menjalankan pemerintahan, sehingga domba-domba gembalaan di hutan bisa hidup berdampingan dengan serigala dalam masa kekhalifahannya. Dikisahkan bahwa ketika wafatnya khalifah, Musa bin Arun berkata, Pada zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz kambing kami digembala bersama-sama dengan serigala. Namun pada satu malam seekor serigala telah menerkam kambing kami. Tidak lain pasti lelaki soleh ini (Umar bin Abdul Aziz) telah wafat. Dan memang mereka mendapatkan beliau wafat pada malam tersebut.
Semoga saja pilgub 2011 mampu melahirkan pemimpin yang meiliki sifat adaalah seperti Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz, yang memimpin demi kesejahteraan rakyat dan mencari ridha Allah. Bukan ingin memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya. Malah mereka menjadi miskin setelah jadi pemimpin padahal sebelumnya mereka adalah orang kaya. Bukan sebaliknya, sebelum jadi pemimpin tak punya apa-apa, sesudah jadi pemimpin jadi kaya raya dengan uang hasil korupsi. Mereka mengutamakan kesejahteraan masyarakat daripada kesejahteraan keluarga dan kelompok mereka sendiri. Semoga Aceh menjadi makmur seperti kemakmuran masyarakat di masa Umar Bin Abdul Aziz. Pernah terjadi di zamannya seorang lelaki membawa harta yang begitu besar jumlahnya kemudian ingin membagikan kepada yang memerlukan, namun tidak ada seorang pun yang datang untuk mengambil harta itu karena mereka telah tercukupi keperluannya.
Semoga!!!!