Kegalauan dan sikap kontra dari sebagaian komponen masyarakat Aceh ini, memang sangat berdasar. Pasalnya, realitas penerapan syariat Islam yang kita lihat sampai hari ini masih jauh panggang dari api, dimana teks tercerabut dari konteks. Dalam artian, wujud implementasi syariat Islam belum mencerminkan persoalan yang kontekstual dalam sendi kehidupan masyarakat Aceh. Alih-alih mengatur persoalan yang substantif, yang terjadi malah pengaturan soal remeh-temeh dan tidak menyentuh kebutuhan dasar umat.
Bagi saya, peraturan bupati (perbup) Aceh Barat tentang penggunaan busana muslim bagi warganya adalah hal yang sangat remeh-temeh. Bagaimana mungkin seorang bupati menghabiskan waktu mengurus ribuan rok untuk kaum perempuan, ditengah begitu banyak persoalan umat yang lebih urgen dari masalah rok tersebut.
Hal ini terbukti dengan murtadnya beberapa warga Aceh Barat. Sehingga menjadi pertanyaan bagi kita, kenapa hal tersebut terjadi di Aceh Barat yang notabene sebagai kabupaten yang setidaknya menjadi mainstream dalam penerapan syariat Islam di Aceh. Mulai dari penabalan sebagai kota Tauhid-Tasawuf sampai pada pengaturan aksesoris perempuan oleh sang bupati. Terus pertanyaan lanjutanya, apa arti semua simbol tersebut?
Hal inilah yang di sitir oleh intelektual Nahdlatul Ulama (NU), Masdar F Masudi agama lahir bukan untuk membangun kebesaran simbolik komunalistik, tapi menyingkirkan kemelaratan-keserakahan sebagai musuh utama spiritualitas dan kemanusiaan. Lebih lanjut Masudi menegaskan bahwa disinilah titik temu dan arena jihad yang paling sejati semua agama.
Apa yang di sitir Kyai Masudi diatas menemukan relevansinya di Aceh Barat. Hal mana dapat kita lihat bahwa syariat yang bergema dalam ruang simbol, menjadi tersungkur ketika berhadapan dengan kemelaratan dan keserakahan. Artinya simbol kota Tauhid-Tasawuf dan perbup busana muslim yang dilendingkan penguasa Aceh Barat, ternyata tidak memiliki dampak mencerahkan bagi penguatan akidah umat. Karena sudah ditelikung oleh kolaborasi kemelaratan-keserakahan.
Kasus murtadnya tiga orang warga Aceh Barat diatas sesungguhnya menjadi argumentasi yang tak terbantahkan bahwa syariat Islam yang diterapkan di Aceh Barat masih bergerak pada aras tafsir kekuasaan. Disinilah kiranya syariat itu diboncengi kepentingan penguasa. Sehingga syariat Islam bukanya membawa rahmat bagi umat tapi menimbulkan tekanan dan trauma pisikologis.
Untuk itulah, hal-hal yang mendesak dan urgen sifatnya bagi umat harus menjadi prioritas untuk diurus ketimbang menyibukan diri dengan persoalan remeh-temeh. Dan persoalan kemelaratan serta keserakahan adalah masalah urgen yang perlu menjadi perhatian serius oleh para pengambil kebijakan dan seluruh komponen masyarakat Aceh.
Karena kemelaratan akan berdampak pada timbulnya berbagai penyakit sosial, mulai dari perampokan yang sedang menggejala di Aceh saat ini, kekerasan pada rumah tangga sampai pada kasus murtad yang terjadi di Aceh Barat. Begitupun dengan keserakahan yang juga sedang mendapat tempat di bumi Serambi Mekah saat ini. Hal ini dapat kita lihat dari perilaku korupsi yang sudah bergerak secara masif dengan berbagai modus operandi dan kekerasan yang mulai terjadi dalam soal tender proyek. Keserakahan inilah yang menjadi salah penyebab timbulnya kemelaratan.
Ketika dua hal ini, kemelaratan dan keserakahan belum menjadi perhatian serius dari pengambil kebijakan (decision maker), maka syariat Islam adalah sebuah cita yang utopis. Kalaupun sekarang sudah berlaku syariat Islam di Aceh, maka itu hanyalah sebuah eksperimentasi yang sifatnya parsial dan sarat dengan vested interest dari yang memiliki kuasa.
Untuk itu menjadi sebuah keharusan bagi para penguasa untuk memberantas kemelaratan dan keserakahan secara konsepsional dan holistik. Jika dua hal ini bisa diatasi, maka yakinlah umat akan dapat menjalankan ajaran agama dengan hati nurani yang jernih dan akal budi yang cerdas, sekalipun tanpa didukung dengan penerapan syariat Islam. Selagi penguasa masih menari pada wilayah yang remeh-temeh, maka jangan pernah berharap syariat Islam akan menginternalisasi dalam laku kehidupan umat.
Kepatuhan Artifisial
Bahkan syariat Islam yang terkesan dipaksakan, hanya melahirkan kepatuhan artifisial, bukan lahir dari kesadaran ruhaniah. Sehingga penghambaan kepada Sang Khalik bukan lagi terbetik dari kesadaran iman yang otonom, tapi tidak lebih sebagai ketundukan yang dipaksakan. Padahal prinsip dalam Islam sangat jelas dan masuk akal bahwa tiadanya paksaan dalam agama (Qs 2:256).
Sehingga memaksakan umat untuk tunduk pada kepatuhan artifisial adalah bentuk pengingkaran terhadap ayat Tuhan diatas. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi penguasa, ulama, intelektual, dan komponen-komponen lain di bumi Serambi Mekah ini untuk memperbicangkan problem-problem kemanusiaan secara serius. Baik itu masalah keserakahan maupun problem kemelaratan dengan segala varianya.
Hal ini dilukiskan secara reflektif oleh Rektor UIN Jakarta – Prof. Komarudin Hidayat, bahwa hikmah hidup keberagamaan haruslah bermuara pada komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tanpa harus dihambat oleh sentimen kelompok keagamaan. Jika memang agama di wahyukan untuk manusia, dan manusia bukan untuk agama, maka salah satu ukuran baik-buruknya sikap hidup beragama adalah dengan menggunakan standar dan kategori kemanusiaan, bukanya ideologi dan sentimen kelompok (Hidayat, 1998).
Ketika nilai-nilai kemanusiaan ini terinternalisasi dalam diri penguasa dan seluruh elemen masyarakat Aceh, maka kemelaratan-keserakahan akan tersingkir dan tidak mendapat tempat disetiap jengkal bumi Serambi Mekah. Sehingga keimanan kepada Allah SWT betul-betul terpantul dari letupan kesadaran ruhaniah, bukan didasarkan pada kesadaran palsu (artificial) yang dipaksakan oleh syariat Islam, yang boleh jadi lebih banyak diboncengi kepentingan kekuasaan.