Menyoal Kembali Jam Kerja Kantor bagi Perempuan : Refleksi Hari Perempuan Sedunia

0
138

Oleh : Muhammad Syuib

Setiap tanggal 8 Maret diperingati sebagai hari perempuan se-dunia. Dalam peringatan kali ini saya ingin memberikan sebuah catatan kecil terkait dengan jam kerja bagi perempuan. Dan sebenarnya tulisan ini dapat disebut sebagai curhat dari sejumlah ibu-ibu pegawai negeri sipil (PNS) serta beberapa karyawati BUMN/BUMD kepada penulis yang secara kebetulan bertemu dalam forum-forum seminar, warung kopi, dan diskusi publik. Kebanyakan mereka sudah berkeluarga serta memiliki anak. Keluhan seperti ini sebenarnya sudah berlangsung lama, baik di Aceh maupun nasional, hanya saja para pemimpin negeri ini belum memberi respon. Bahwa menurut mereka jam kerja di instansi-instansi di atas dinilainya kurang bersahabat atau bahkan dapat disebut tidak rasional dan terlalu ‘menyiksa’.

Bayangkan saja, ibu-ibu ini harus berada di kantor pada jam 7.30 WIB pagi untuk mengikuti apel serta finger print. Bagi yang tinggalnya berdekatan barangkali tidak terlalu bermasalah. Tetapi bagi mereka yang tinggalnya berjauhan tentu menjadi masalah mencapai jadwal tersebut. Kalaupun bisa, maka mereka harus berangkat di pagi buta. Misalnya, bagi yang bekerja di kantor Gubernur, sementara tinggalnya di Ketapang, maka ibu-ibu ini harus berangkat sekitar 40 menit lebih awal. Lainnya, yang bekerja di Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh atau RSUD Meuraxa yang berada di jalan Soekarno-Hatta, sementara tinggalnya di Darussalam atau Jeulingke, maka butuh waktu 45-60 menit untuk mencapai tempat ini. Lebih ironis lagi manakala sampai ditempat tujuan, ternyata juga terlambat. Alhasil, mereka pun harus rela beberapa persen gajinya atau tunjangannya dipotong. Padahal usaha maksimal untuk on time telah dilakukan.

Akibat mengejar ‘jam tayang’ tadi, terpaksa sejumlah ibu-ibu ini tidak sempat menyiapkan sarapan pagi bagi keluarganya. Yang lebih menyedihkan lagi mereka yang punya balita dengan terpaksa juga harus memangkas jam tidur sang anak untuk dibawa ke tempat penitipan. Padahal, mungkin saja anak-anak ini belum cukup waktu tidurnya sehingga dapat berpengaruh pada pertumbuhan sang balita sendiri. Walau terasa cukup berat untuk membangunkan si kecil, tetapi hal itu harus dilakukan karena desakan jam kerja.

Demikian juga dengan jam pulang, yaitu antara jam 16.45-17.00 WIB yang dinilainya juga terlalu lama. Belum lagi menjelang tutup tahun anggaran, sebagian mereka harus lembur sampai malam hari. Kondisi yang sama juga terjadi di kantor BUMN, perbankan misalnya walaupun jam kantornya berakhir pada jam 5 sore, tetapi tidak jarang karyawatinya pulang pada jam 7 atau 8 malam. Akhirnya, pertemuan dan komunikasi dengan anak hanya terjadi dimalam hari itupun dalam waktu yang sangat singkat.

Barangkali, tanpa kita sadari pola penerapan jam kerja yang seperti ini telah berkontribusi pada meningkatnya kenakalan remaja di Indonesia, termasuk juga di Aceh. Seperti sering kita dengar, baca dan nonton berita diberbagai media massa bahwa selama ini banyak tindakan kriminal yang melibatkan remaja, seperti pencurian sepeda motor, helm dan juga sandal di mesjid dan tempat-tempat umum lainnya. Selain itu banyak juga diantara mereka yang menjadi komunitas anak punk, pengedar dan pengguna narkoba hingga bergabung dengan organisasi-organisasi yang tidak jelas atau sesat.

Bisa saja salah satunya adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang yang didapatkan dari orang tua khususnya Ibu. Bagaimana tidak, dari bayi anak-anak ini sudah dititipkan di child care (penitipan anak) yang notabene nya diasuh oleh orang lain. Padahal anak-anak ini membutuhkan porsi pengasuhan dan kasih sayang orang tua, khususnya ibu, yang lebih besar ketimbang dari orang lain. Karena pada masa kecil inilah karakter dia sebagai manusia mulai dibentuk dan diperkenalkan oleh orang tuanya. Jadi bisa anda bayangkan disaat mereka butuh tentor langsung dari ibu, ternyata mereka mendapatkan dari orang lain. Berharap kasih sayang dari pengasuh-pengasuh di child care tentu lah tidak sama kualitasnya dengan yang dimiliki dan diberikan oleh seorang ibu sebagai orang tua.

Disisi lain, ibu-ibu ini juga tidak punya pilihan selain harus menitip anak-anaknya di child care karena mereka harus berangkat bekerja baik di kantor pemerintah, BUMN (misalnya perbankan)/BUMD (misalnya PDAM) dan perusahaan-perusahaan swasta di pagi buta. Jika tidak, maka tidak ada apapun yang bisa diberikan untuk anak-anaknya. Sehingga para ibu terpaksa mengambil resiko yang menurutnya dianggap lebih kecil yaitu tetap bekerja tapi anak dititip dan mengabaikan dampak besar yang tidak disadarinya.

Harapan untuk keluar dari situasi seperti ini sebenarnya sedikit terbuka manakala Wakil Presiden Jusuf Kalla diawal-awal pelantikannya sempat mewacanakan akan memberikan kelonggaran jam kerja bagi PNS perempuan dan karyawati khususnya yang memiliki anak. Waktu itu banyak komentar positif disampaikan masyarakat agar gagasan tersebut dapat dijalankan. Namun banyak juga yang protes,  karena dianggap diskriminatif. Namun sayangnya, wacana itu kini tenggelam entah kemana, sebagian menyebut sedang dikaji, sebagian lagi katanya sudah ditong sampah. Pun begitu, perlu kiranya kita mendorong kembali agar wacana tersebut dapat dihidupkan kembali dan segera direalisasikan menjadi sebuah kebijakan, apalagi jika kita sepakat bahwa pola jam kerja seperti itu berpengaruh pada meningkatnya kenakalan remaja. Maka adanya kelonggaran waktu ini menjadi suatu keniscayaan.

Bagaimana dengan Aceh, Mungkinkah?

Penulis tidak tahu persis, apakah aturan mengenai PNS daerah dan karyawan BUMD itu menjadi kewenangan nasional atau dilimpahkan ke daerah. Jika itu menjadi kewenangan nasional maka harapan di atas masih kecil untuk diwujudkan di Aceh. Itu artinya kita harus menunggu sampai pemerintah pusat mengeluarkan aturan tentang kelonggaran jam kerja bagi perempuan. Namun demikian Pemerintah Aceh dapat saja melakukan pressure agar wacana itu segera direalisasikan.

Tetapi jika pemerintah daerah (Aceh) punya ‘saham’ untuk mengatur itu maka kita berharap jam kerja bagi perempuan ini dapat dievaluasi kembali sehingga mereka mendapatkan jam kerja yang lebih rasional. Jam 9 misalnya adalah jam masuk yang cukup rasional bagi kaum ibu yang punya balita karena disamping berkesempatan mempersiapkan sarapan pagi, mereka juga tidak harus memangkas jam tidur anak. Demikian juga dengan jam pulang, sebagaimana wacana Wapres di atas, dapat dipercepat satu jam lebih awal. Walaupun dengan kondisi ini mereka juga harus menitipkan anak di tempat penitipan, tetapi paling tidak waktu bertemu dan mengasuh sang anak sudah jauh lebih banyak dibandingkan sebelumnya.

Untuk itu, respon dan inisiatif dari pemimpin negeri serta pimpinan instansi pemerintah, BUMN/BUMD sangat dinantikan agar ibu-ibu tidak lagi dipaksakan mengejar ‘jam tayang’ apel serta finger print dan mengabaikan anak-anak bangsa yang notabenenya akan menjadi generasi penerus bangsa ini. Semoga.

*Penulis adalah Peneliti The Aceh Institute*

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.