Pilkada Serentak Vs Salus Populi Suprema Lex Esto

0
259

Oleh: Muhammad Syuib

Rapat bersama Komisi II DPR RI, Pemerintah dan penyelenggara pemilu, Senin (21/9/2020) menyepakati bahwa pelaksanaan Pilkada serentak 2020 tetap akan digelar pada 9 Desember tahun ini. Ada empat alasan mengapa Pemerintah tetap pada keputusan tersebut. Pertama, untuk menjamin hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih dalam suatu agenda yang telah diatur dalam undang-undang dan berbagai peraturan perundang-undangan. Kedua, sampai sekarang belum ada satu ahli pun atau lembaga yang dapat memastikan kapan Covid-19 akan berakhir. Karena sifatnya tidak pasti, maka menunda Pilkada sampai Pandemi selesai juga akan menimbulkan ketidakpastian. Pilkada serentak kali ini adalah memilih kepala daerah di daerah Pilkada serentak tahun 2015. Aceh sendiri tidak masuk di dalamnya.

Alasan ketiga, Pemerintah tidak menginginkan kepemimpinan di daerah dilaksanakan oleh pelaksana tugas (plt) pada 270 daerah dalam waktu bersamaan karena ditundanya pilkada. Menkopulhukam, Mahfud MD, mengatakan bahwa plt tidak memiliki kewenangan mengambil kebijakan-kebijakan strategis. Sedangkan situasi sekarang, kebijakan-kebijakan strategis yang berimplikasi pada penggerakan birokrasi dan sumber daya lain seperti dana, memerlukan pengambilan keputusan dan langkah-langkah yang sifatnya strategis. Dan keempat, Pemerintah telah menunda Pilkada dari sebelumnya 23 September 2020 menjadi 9 Desember 2020.

Seruan Penundaan

Namun disisi lain, jumlah warga dan tenaga kesehatan (Nakes) yang terpapar Covid-19 terus meningkat secara signifikan. Kini, setiap harinya ribuan orang terinfeksi virus Corona, padahal sebelumnya hanya puluhan kasus saja. Efeknya pun meluas, mulai dari kesehatan, ekonomi, sosial-budaya, mental-spiritual, hingga politik. Masyarakat kehilangan lapangan pekerjaan dan pendapatan. Memenuhi kebutuhan sehari-hari pun terasa sulit.

Jelas ini sebuah ancaman bagi keberlangsungan hidup mereka. Itu pula, seruan-seruan penundaan Pilkada disuarakan oleh berbagai elemen hingga masa kritis Pandemi ini berakhir. Organisasi Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi massa terbesar di Indonesia juga ikut serta menyerukan agar Pilkada serentak tidak dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020.

Seruan serupa juga datang dari Nakes yang tergabung dalam organisasi perawat (PPNI) dan IDI di berbagai daerah. Mereka khawatir, kluster baru Pilkada akan muncul. Hal itu dapat menambah beban para Nakes yang sudah berjuang mati-matian selama ini, ditambah dengan fasilitas dan Nakes yang terbatas. Ada ribuan Nakes saat ini yang terinfkesi Covid-19 dan lebih dari seratusan sudah meninggal dunia.

Para penyeru penundaan sepakat bahwa walaupun Pilkada serentak nantinya dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat, sulit sekali mengindari adanya kerumuman atau kosentrasi massa yang banyak mengingat Pilkada ini adalah kegiatan yang melibatkan masyarakat banyak dan pada saat yang bersamaan mayoritas masyarakat belum memiliki budaya tertib dan disiplin yang baik.

Prinsip Salus Populi Suprema Lex Esto

Lalu, apakah ini artinya Negara/Pemerintah mengabaikan keselamatan rakyatnya demi memastikan agenda politik berjalan? Penulis yakin niat Pemerintah tidak sampai kesana, tetapi memaksakan agenda tersebut dalam keadaan Pandemi ini telah menggiring opini publik berfikir demikian. Cicero, seorang filsuf Italia pernah menyebutkan bahwa prinsip Salus Populi Suprema Lex Esto harus selalu dikedepankan dalam situasi apapun. Prinsip ini memiliki arti bahwa kesejahteraan dan keselamatan masyarakat harus menjadi prioritas paling utama/tinggi oleh pemegang kekuasaan. Apalagi dalam sebuah negara hukum, keberadaan prinsip ini mempertegas akan peran dan fungsi yang mesti dimainkan oleh negara yakni memastikan bahwa seluruh warganya aman, tertib, damai, dan sejahtera.

Selain itu, prinsip ini menitik beratkan bahwa negara harus diperintah berdasarkan hukum dan hukum mesti dibuat berdasarkan keselamatan dan kesejahteraan rakyat secara luas. John Locke, seorang filsuf terkenal lainnya menggunakan istilah ini dalam bukunya yang berjudul Treaties on Government (1689). Ia mengatakan, prinsip ini mempertegas bahwa rakyat yang telah mendelegasikan kekuasaan kolektif kepada penguasa sebagai pemegang kedaulatan rakyat, maka dengan demikian, menjadi tugas utama negara untuk melindungi kesejahteraan dan keselematan mereka. Oleh karena itu, untuk melindungi rakyatnya, negara harus membuat hukum untuk penyelenggraan pemerintahan yang baik dan hukum itu sendiri tidak boleh bertentangan dengan keinginan atau kehendak rakyat banyak.

Maka, berdasarkan deskripsi prinsip Salus Populi Suprema Lex Esto di atas, seyogianya Pilkada serentak ditunda. Publik menghendaki agar penundaan dilakukan guna menghindari resiko yang lebih besar. Ahli pandemi dan juga Nakes, sebagai pihak yang lebih paham dan patut didengar dalam persoalan Covid-19 ini, sudah merekomendasikan agar Pilkada serentak sebaiknya diundur. Jika tidak, maka sikap Pemerintah untuk tetap melaksanakan Pilkada terkesan telah mengabaikan prinsip Salus Populi Suprema Lex Esto. Jika ini yang terjadi, maka negara dianggap gagal menjalankan tanggung jawabnya yakni melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia sebagai cerminan dari prinsip Salus Populi Suprema Lex Esto tadi.

 Prokes Ketat Vs Budaya Tidak Tertib

Pemerintah menyakinkan bahwa Pilkada serentak akan dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat disertai penegakan hukum dan sanksi tegas. Komitmen ini akan menjadi tantangan tersendiri mengingat budaya tertib dan displin masyarakat yang masih rendah. Fakta menunjukkan bahwa faktor penyebab meningkatnya jumlah orang yang positif Covid-19 adalah rendahnya kepatuhan warga pada Prokes. Warung kopi masih dipenuhi kawula muda hingga larut malam, kerumuman massa (bahkan tanpa masker) masih terjadi di pasar-pasar, acara keramaian tetap berlangsung. Lalu, akankah pada momentum Pilkada mereka patuh secara totalitas?harapannya demikian, tetapi menurut penulis terasa sulit ekpektasi ini bisa terwujud. Karena penegakan hukum yang baik selain adanya sanksi yang tegas juga perlu didukung oleh budaya hukum yang baik dari masyarakat dan aparatur penegak hukum itu sendiri.

Berbeda halnya dengan Singapura, Korsel, Jerman, Perancis, Selandida Baru dan Amerika Serikat yang juga melaksanakan Pemilu (nasional maupun lokal) ditengah Pandemi. Mereka adalah negara maju, umumnya tingkat kepatuhan warga pada hukum masih lebih baik dibandingkan kita. Budaya tertib dan disiplin sudah menjadi karakter masyarakatnya. Jika ada pelanggaran, penegakan hukum juga berjalan tanpa tebang pilih.  Sedangkan kita, “negosiasi” dan tebang pilih masih mewarnai supremasi hukumnya. Itu pula yang membuat penulis ragu bahwa dengan sanksi yang tegas sekalipun akan sulit mencegah terjadinya pelanggaran dalam Pilkada nantinya. Donald Black dalam bukunya the Behavior of Law mengungkapkan bahwa pada level tertentu hukum akan melihat siapa anda, perlakuan berbeda akan dirasakan ketika hukum “mengenal” anda.

Pun demikian, putusan akhir ada pada Pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu, apakah tetap dengan keputusan 9 Desember ataukah digeser. Kalaupun pada akhirnya harus dilakukan sesuai jadwal, maka Pilkada secara tidak langsung (melalui DPRD misalnya) bisa menjadi salah satu opsi. Walaupun ini bukanlah opsi yang populer. Tapi toh, yang kita harapkan kepala daerah definitif ada, kluster baru dapat dihindari. Namun begitu, penundaan Pilkada jauh lebih diinginkan mengingat prinsip Salus Populi Suprema Lex Esto tadi, bahwa keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi dan harus diutamakan sebagaimana dijabarkan dalam Preambule UUD 1945. Nah!

*Muhammad Syuib, MH, MLegSt adalah dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry dan Peneliti The Aceh Institute,  Email: mosyumid@yahoo.com*

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.