Sebagai ureng Aceh, penulis merasa prihatin dengan situasi demikian karena dapat berpengaruh pada instabilitas daerah yang mereka pimpin. Harusnya semua pemimpin daerah di Aceh menghindari dari terjadinya konflik yang menurut penulis sangat tidak substansi itu, jauh dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi) seorang kepala dan wakil kepala daerah. Padahal kalau merujuk pada awal-awal pendeklarasian mereka sebagai pasangan pemimpin, seakan sulit memprediksi apa yang terjadi sekarang. Dulunya semangat dan dorongan untuk bersama-sama membangun daerah begitu besar, keinginan untuk mewujudkan good governance (pemerintahan yang baik) juga sangat kuat. Semua itu mereka padukan dalam bentuk kekompakan dengan slogan-slogan kampanye yang penuh inspiratif, heroik dan optimistik.
Tapi kini, keretakan demi keretakan mulai terjadi secara pelan tapi pasti hingga kemarin menjadi puncaknya ketika orang tertinggi di pemerintahan Aceh mengeluarkan beberapa kebijakan yang dianggap menyinggung wakilnya. Sang wakil pun curhat karena merasa tidak nyaman dengan kebijakan tersebut. Kita sebagai rakyat yang dipimpinya jadi gelisah dan bertanya-tanya apa perihal yang membuat persoalan ini terjadi? Apakah ini disebabkan oleh perasaan keenakan di kursi kekuasaan sehingga satu sama lain tidak mau diganggu ataukah karena sudah terciumnya sikap saling koh can (menyalip) sebelum sampai ke garis finis?. Sebagai rakyat setidaknya kita butuh penjelasan guna menghindari keresahan dan asumsi-asumsi negative. Selama ini tindakan para pemimpin sering menggiring opini rakyat untuk memandang mereka dari sudut pandang yang negative. Padahal dalam realita kadang-kadang harus diakui pandangan tersebut bisa tidak benar.
Salah satu dampak yang muncul ketika komunikasi antar pemimpin negeri mengalami kemacetan alias tidak saboh kheun adalah terganggunya pola kerja pemerintahan yang berimbas pada terhambatnya pembangunan kesejahteraan bagi masyarakat. Ini artinya lagi-lagi masyarakat yang menjadi korban dari perseteruan para elite. Sangat lah tidak elok jika beban itu ditanggung oleh rakyat, seharusnya para pemimpin lah yang memiliki kewajiban untuk menanggung beban rakyat, bukan justru menambah beban baru bagi mereka. Efek lainnya, semakin menambah rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan aparaturnya. Konsekuensinya banyak program pemerintah yang sulit mendapat dukungan masyarakat. Contoh, alih-alih mendukung pembangunan jalan atau infrastruktur lainnya, masyarakat lebih tertarik menjual tanah dengan harga yang lebih mahal, padahal mereka sadar jika sarana-sarana tersebut juga untuk mereka.
Oleh karena itu, kiranya resiko-resiko ini penting untuk diperhatikan oleh semua calon pemimpin Aceh ke depan mengingat pemilihan kepala daerah (pilkada) 2011 di depan mata. Kita tidak ingin pemimpin Aceh di masa mendatang terjebak dalam kondisi serupa, banyak hal substansi lainnya yang harus dikerjakan oleh mereka. Apa jadinya negeri ini, jika para pemegang kendali saling ceet gateh (takle) atau koh can (menyalip), maka berantakanlah negeri ini.
Guna menghindari hal tersebut, seyogyanya para pemimpin di Aceh memperhatikan pentingnya komunikasi yang berimbang baik dengan sesama mereka maupun dengan yang dipimpinya, dengan demikian akan tercipta sebuah kesolidan dan terbangunnya sebuah kepemimpinan yang ideal.
Misalnya dengan memaknai komunikasi sebagai upaya dalam berbagi makna, rasa, keadilan dan cinta kepada sesama. Tidak saling taking granted (mengambil keuntungan) dalam situasi tertentu dengan mengabaikan kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakati bersama. Semua upaya yang dilakukan dalam menangani persoalan publik haruslah dapat dilakukan secara proporsional dan profesional, sehingga akan terhindar dari bencana yang lebih besar. Selain itu, para pemimpin di Aceh diharapkan mampu memahami istilah ta yujak u keu di toeh geunteut, ta yujak di likot di koeh gaki (disuruh jalan di depan mengeluarkan angin dan ketika disuruh jalan di belakang justru mentakle kaki yang di depan) sehingga kewaspadaan selalu ada, dan alhasil sikap ini akan melahirkan jak u be let tapak, duek u be let punggon (jalan berdasarkan ukuran kaki, duduk berdasarkan ukuran badan), dengan demikian tidak ada satupun yang merasa diganggu maupun dilangkahi. Semua kita berkepentingan untuk menjaga agar tidak memancing situasi dan orang lain.
Hal lainnya para pemimpin juga dituntut untuk memahami hakikat demokrasi dimana kita harus tahu kapan harus berbeda dan kapan harus sama. Sehingga kita akan mampu meletakkan sesuatu pada tempatnya secara benar dan proporsional. Barang kali dalam beberapa hal kita harus mencontoh prilaku orang-orang Barat dalam berdemokrasi; misalnya dalam pertarungan politik antara Obama dan Hillary Clinton, mereka saling menghargai dan yang kalah dalam pertarungan juga mau mengakui kekalahannya dan bahkan mendukung pemerintah yang menang, begitu juga antara Obama dan Joe Biden juga saling mendukung. Ini adalah sesuatu yang baik yang semestinya ada pada kita selaku orang timur yang katanya menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai demokrasi. Model-model seperti ini merupakan salah satu model dalam menciptakan harmonisnya komunikasi antar pemimpin negeri ini
Yang terakhir, jauh sebelum mereka terpilih sebagai pemimpin sebaiknya diperlukan sebuah perjanjian tertulis yang mengatur pembagian wilayah kerja diantara mereka. Walaupun tupoksi masing-masing juga sudah tertera dalam undang-undang, tapi perjanjian diinternal keduanya tentu sangat diperlukan guna menghindari sikap saling menyalip dan mencaplok wilayah kerja orang lain serta menimbulkan misskomunikasi dan penyalahgunaan hak dan wewenang ketika mereka memimpin.
Akhirnya kita berharap harmonisasi antar pemimpin di Aceh dapat dipulihkan kembali dengan mengedepankan sikap untuk kepentingan yang lebih besar yakni kepentingan rakyat sehingga pembangunan kesejahteraan rakyat dapat terus dilanjutkan dan keinginan untuk mewujudkan Aceh sebagai daerah contoh dalam segala hal dapat terwujudkan. Semoga