Politik Tanda dan Permainan Bahasa

0
313

Disatu sisi fenomena ini adalah language play atau permainan bahasa semata. Sebagaimana keyakinan dua ahli teori retorika kontemporer, Richard Weaver dan Kenneth Burke yang mengatakan bahwa seluruh penggunaan bahasa yang disengaja bersifat sermonik Jadi tidak ada bahasa yang sepenuhnya dapat dipertahankan secara netral dan objektif tanpa tendensi. Karena pada dasarnya kita berbicara untuk mempengaruhi dan meyakinkan orang lain baik dalam kejelekan atau keburukan (Johannesen, 1996:4)

Disisi lain mengenai tanda sebagai bagian dari salah satu cabang ilmu sosial, budaya dan bahasa, sering disebut dengan studi semiotik. Fiske (1990:40) membagi tiga aspek penting dalam studi mengenai tanda tersebut. Tiga hal tersebut adalah tanda itu sendiri, kode atau sistem yang diorganisir dan budaya dimana tanda itu dipakai. Studi ini sendiri tidak hanya mempelajari teks dalam lingkup linguistik belaka. Ia dapat menganalisa teks dalam ruang lingkup yang lebih besar, dimana teks tersebut terintegrasi, terkodifikasi dan terstruktur dalam sebuah sistem dan budaya seperti iklan, film, fashion, puisi, drama dan atau berita surat kabar misalnya.

Tanda terdapat dimana mana. Kata, lampu lalu lintas dan poster iklan dipinggir jalan adalah tanda yang kemudian mempunyai makna dibaliknya. Dalam hal ini politik tanda bisa jadi bekerja dalam level konotatif. Misalnya banyak orang di Aceh ketika ditanya apakah menyukai politik pasti umumnya akan menjawab tidak. Mereka berpendapat bahwa politik itu sadis, politik itu tidak jujur, politik itu semuanya bull shit alias omong kosong dan sederet konotasi negative lainnya. Nah dalam konteks ini politik sudah berada dalam lingkaran budaya, orang-orang, masyarakat dan sistem yang memang kotor, korup dan tidak bisa dipercaya. Kata politik sudah terkodifikasi dalam sistem budaya masyarakat. Pada dasarnya hampir semua kata termasuk politik misalnya awalnya bersifat netral atau positif. Tapi karena ada makna dibaliknya yang sangat kuat dipengaruhi oleh budaya dan kultur setempat, maka makna asli (denotatifnya) berubah menjadi negatif. Oleh karena itulah pemaknaan satu symbol, kata dan tanda bisa jadi berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari satu budaya ke budaya yang lain. Dan dari satu agama ke agama yang lain. Dan ini adalah sebuah keniscayaan, karena mekanisme pemaknaan konotasi bekerja dalam tingkat subjektivitas.

Tapi jangan lupa makna kata, tanda dan simbol juga bisa direkontruksi menjadi lebih baik atau lebih buruk. Dulu ketika Aceh masih dalam konflik dengan Jakarta, banyak hal yang masih dianggap tabu dan terlarang bahkan dianggap mitos. Sebut saja misalnya menyebutkan kata-kata GAM dan merdeka. Politik bahasa dan konstruksi makna ketika itu mendefinikasikan dua kata diatas sebagai hal yang jelek, separatis dan berbahaya. Bahkan pada taraf tertentu dianggap mitos, dalam artian bahwa GAM tidak akan pernah merdeka dan tidak akan pernah terjadi proses pembicaraan antara GAM dan Jakarta. Namun sekarang itu sudah berubah, mengucapkan kata kata GAM katakanlah, bukan merupakan hal yang aneh dan terlarang lagi, meskipun masih ada yang alergi terhadapnya. Demikian juga ketika itu kita diberi label dan tanda seperti separatis dengan diberikan KTP Merah Putih, sehingga asosiasi, asumsi dan interpretasi warga luar terhadap orang-orang Aceh sangat sinis dan stereotypist sehingga selalu muncul pertanyaan pengantar Oh dari Aceh ya, apakah sudah aman disana? demikian juga pemberitaan media luar Aceh terhadap kondisi rill di Aceh sangatlah tidak relevan dan terkadang berlebihan (sangat hiperbolik) dengan kondisi faktual yang ada.

Contoh lain adalah ketika dulu kata kata syariat islam dan simbol busana muslim yang sebelum pelaksanaan syariat islam dianggap suatu hal yang aneh bagi banyak warga Aceh, apalagi ditandai dengan bumbu-bumbu peristiwa disekitar yang semuanya banyak diberitakan negatif dan katanya dipolitisir. Maka syariat islam cukup membuat terkejut banyak pihak, bahkan sekarang media luar dan sejumlah pihak juga masih memberitakan sisi negatif dari pemberlakuan syariat islam. Tapi sekarang, pemandangan warga Aceh yang memakai busana muslim dan pemakaian simbol keislaman dalam kegiatan resmi pemerintahan. Juga ketika hampir semua meragukan komitmen gubernur dan wakil gubernur terpilih dari kalangan independen serta sejumlah partai lokal dalam beberapa diskusi pra pemilihan, hampir semua menyatakan komitmen dengan pemberlakuan syariat islam atau minimal menyatakan berusaha menjalankan nilai islami dan semangat memperbaiki formalisasi syariat islam yang kabarnya memang masih butuh keseriusan untuk diterapkan. Jadi tidak heran jika sampai sekarang ketika warga Aceh mengadakan perjalanan keluar Aceh, salah satu dari pertanyaan wajib selain mengenai kondisi Aceh dan bencana tsunami adalah mengenai syariat islam. Salah satu pertanyaan umum adalah apakah umat agama lain harus memakai busana muslim?. Belum lagi ditambah dengan belum maksimalnya optimalisasi esensi syariat islam sendiri yang memang masih tidak sepenuhnya berjalan membuat makna prototip (asli) syariat islam makin menambah daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh warga Aceh.

Oleh karena itu tanda, kata, simbol dan budaya tempat ia dipakai bisa direkayasa oleh pelaku (dan) politik. Ia bisa berubah menjadi positif dan negatif. Karena yang biasa dipakai adalah salah satu diantara dua, eufemisme-penghalusan makna kata, dari buruk menjadi baik, atau setidaknya netral. Atau sebaliknya prejudice-generalization prasangka, asumsi dan dugaan dari baik atau netral menjadi buruk. Karena makna kiasan (konotatif) bekerja secara tidak objektif, kita sering tidak sadar dengan kehadiran makna yang dibawanya via media. Sehingga kita membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif (Sobur: 2001). Oleh karena itulah studi semiotik yang bisa membaca tujuan akhir politik tanda menjadi penting untuk mempelajari tanda-tanda politik, khususnya dalam era dimana garis pembeda antara satu hal dengan yang lainnya cenderung melebur dan tidak kentara lagi, lebih spesifik lagi, di dunia politik.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.