Oleh : Fajran Zain
* Direktur Eksekutif The Aceh Institute dan Dosen Psikologi UIN Ar-Raniry*
Politik Indonesia dalam minggu ini diwarnai dengan munculnya sentimen etnonasionalime Papua yang tampil secara terbuka. Tidak hanya terjadi di tanah Papua, tetapi juga merambah ke pulau Jawa. Peristiwa terkini, seperti dalam video-video yang viral, mempertontonkan massa yang mengarak Bintang Kejora di bilangan Monumen Nasional (MONAS) dan Istana Negara Jakarta.
Ada yang menarik bila dibandingkan dengan Aceh. Upacara menaikkan Bulan Bintang di halaman kantor gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menuai sikap represif aparat; belasan mahasiswa digaruk dan digiring ke Polresta, serta satu orang anggota DPRA menjadi target amuk oknum aparat.
Artinya apa? Bintang Kejora mendapat toleransi yang luas, sementara Bulan Bintang mendapat respon represif. Bintang Kejora dikibarkan dalam pantauan aparat yang powerless dan Bulan Bintang dikibarkan di bawah sikap paranoid dan brutalisme aparat. Aceh dan Papua memang beda.
Lebih jauh lagi, tularan etnonasionalime itu berdampak pada lahirnya kontak tembak di wilayah Deiyai, Papua, 28 Agustus 2019. Insiden ini menewaskan satu prajurit TNI dan melukai dua Polisi. Dalam kondisi yang anarkhis begini, Papua tetap dipantau dengan tenang, tanpa status makar atau teroris. Terbukti bahwa stigma makar dan teroris adalah label subjective yang bisa dilekatkan kepada siapapun atau kelompok manapun tergantung pada aspirasi pemegang kuasa.
Apa arti perbedaan ini bagi Aceh? Glorifikasi sejarah bahwa Aceh adalah Bansa Teuleubeh atau Bangsa Terpilih sesungguhnya hanya Fatamorgana Politik saja. Pepesan Kosong. Kalaupun toh ada, ia hanya eksis dalam beberapa tahun pasca perjanjian damai 2005. Sebutlah itu dengan nama Bulan Madu MoU. Lalu beberapa tahun bergerak, dan semakin berjarak kita dengan pusaran MoU itu maka semakin hambarlah cita rasa kekhususan Aceh. Siapa yang harus kita salahkan?
Istilah Bansa Teuleubeh itu sendiri untuk konteks kekinian terbukti hanyalah klaim tanpa landasan. Kita tidak memiliki referensi tekstual dan faktual apapun sebagai pembenar bahwa klaim itu terbukti, kecuali hanya sebatas kebanggaan semu yang bisa diciptakan oleh siapapun. Boleh jadi klaim ini meng-copy keberadaan bangsa Yahudi yang status Bansa Teuleubeh-nya memang diabadikan dalam Al-Baqarah ayat 47.
Kenapa Papua Beda
Dalam dialektika hubungan internasional yang membuat Papua berbeda terletak pada keberhasilannya menggalang opini komunitas internasional tentang diskriminasi, ketertindasan hak-hak sipil politik dan pelanggaran HAM yang diproduksi oleh negara terhadap satu entitas politik minoritas yang juga eksis di republik ini.
Narasi ketertindasan ini, lengkap dengan beberapa fakta kekerasan fisik dan psikis yang terjadi secara sporadis dari masa ke masa, telah menjadi bahan dagangan elit aktivis Papua diluar negeri. Pada tahun 2009, saya melihat bagaimana kampanye Papua Merdeka berjalan cukup efektif di kota-kota besar Belanda seperti di Amsterdam dan The Hague. Tidak berhenti disana, kampanye yang sama, dilakukan secara terbuka atau tertutup juga merambah Australia. Ini yang membuat Pemerintah Indonesia agak tersendat dalam bertindak dan harus selektif dalam mengeksekusi pilihan kebijakan dalam menangani Papua.
Tahun 2015 yang lalu, penulis pernah menemani seorang aktivis mahasiswa Universitas Cenderawasih (UNCEN), yang juga merupakan anak dari salah seorang petinggi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kehadirannya ke Australia memang untuk melakukan konsolidasi dan penggalangan dukungan. Dalam sebuah diskusi sambil minum kopi di sebuah restoran McDonald di kawasan Northborne Avenue, Canberra, dia menceritakan tentang misi-misi Australia-nya.
Terlihat wajah cerianya saat kami bertemu karena merasa berasal dari wilayah yang sama. Dia memanggil saya “Kakak” dan memanggil dirinya “Adik” begitulah suasana kebatinan (chemistry) itu terbangun. Di akhir kami sempat berfoto bersama yang diunggahnya di FaceBook dengan caption “Panglima Muda OPM bertemu dengan Panglima Muda GAM di Australia”
Lalu kenapa Papua memilih jalan ini? Dalam logika hubungan antar kelompok (intergroup relation) pilihan untuk bergabung dan keluar dari dari satu kelompok adalah sebuah konsekuensi biasa sebagai akibat dari berakhirnya kontrak sosial (Tajfel & Turner, 1886). Hasrat Papua untuk membangun narasi etnonasionlistik-nya berangkat dari asumsi ini.
Pilihan ini tidak berada dalam ruang vacuum, melainkan telah melalui panjangnya-dalam-lebarnya narasi diskriminasi yang dialami, baik secara fisik ataupun psikis. Studi-studi yang masif di lingkungan psikologi sosial juga menemukan banyak sekal hipotesis yang membuktikan bahwa, pertama, diskriminasi lahir dari dan melahirkan ketidakpastian (Hogg & Grieve 1999). Maka tuntutan pemisahan diri adalah bagian dari upaya menemukan kepastian sosial bahwa diskriminasi oleh pihak luar harus segera diakhiri. Kasus di Jawa Timur baru-baru ini cukup membekas dalam memori kolektif Bangsa Papua bahwa mereka memang dipersepsikan sebagai bagian dari Ras Melanesia dengan ciri fisik dan budaya yang berbeda dengan suku-suku lain di Indonesia.
Kedua, diskriminasi juga lahir dari dan melahirkan identifikasi kelompok (diri). Solidaritas kebangsaan inilah yang saat ini sedang kita tonton. Semua anak Bangsa Papua merasa terpanggil untuk mengkonsolidasikan diri, merapatkan saf-saf perlawanan untuk mencapai cita-cita perjuangan.
Hipotesis kedua inilah yang harus diantisipasi oleh Pemerintahan Jokowi-Amin dalam waktu segera. Karena, semakin lama masalah ini dibiarkan maka masalah akan semakin akut. Jokowi harus mampu membangun premis perdamaian seperti yang pernah dipraktekkan SBY-JK dalam menangani Aceh, atau api nasionalisme Papua akan terus membesar dan membakar bendera pusaka Merah Putih.
Revolusi akan dimulai dari Timur. Maka saksikan dan pastikan bahwa kami akan mengajarkanmu sejarah tentang bangsa ini, dimana harga diri kami ditindas, dimana singa-singa tanpa penghormatan yang hidup di hutan belantara akan keluar menunjukkan sikap aslinya (Adagium perlawanan yang mengutip Soekarno)