Pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 telah dilewati, kemenangan oleh kandidat sudah diketahui cuma menunggu waktu penetapan saja kecuali ada kandidat yang belum menerima kekalahannya hingga menggugat ke pihak yang bersangkutan dengan berbagai alasan tertentu. Kandidat yang meraih kemenangan jangan terlalu membanggakan diri sebab ke depan akan menanggung beban yang sangat besar, jangan sampai muncul situasi menjadi dua golongan yakni “kita” dan “mereka” dengan artian “kita” adalah yang berkuasa, yang bebas, yang kuat, dan yang benar sedangkan “mereka” adalah yang dikuasai, yang tidak bebas, yang lemah, dan yang salah. Filosofi semacam ini harus dikecamkan karena bisa menstimulasi terjadinya perpecahan yang mengakibatkan kondisi tidak kondusif.
Kemenangan adalah amanah, dan amanah itu harus dijalankan dengan semaksimal mugkin dengan jiwa Islami, demokratis dan nasionalis. Sebagai seorang nasionalis ia bersedia mengorbankan waktu, pikiran dan hartanya demi kepentingan dan keselamatan rakyatnya. Konsep nurani bervisi kerakyatan, ia tuli terhadap kelompoknya namun peka terhadap rakyatnya. Ia menjadi teladan kebenaran tatkala korupsi, kolusi dan nepotisme berkembang. Ia tidak mengesankan dirinya bekerja karena lambalan rupiah tapi selalu bekerja dalam skala nasional yang besar. Pengabdiannya tinggi, keyakinan gagasannya besar, pengorbanan dan kecintaan nya selalu pada rakyat terlebih kepada yang tertindas dan teraniaya.
Cukup sudah rekayasa politik yang menyebabkan kekacauan, penuh pertikaian dan saling menghujat tapi bangunlah dengan kerukunan dan kepercayaan antar sesama supaya hidup menjadi nyaman dan lebih terarah. Sumardjo (2001) mengatakan bila hidup belum nyaman dan belum terarah itu akibat tatanan politik belum beres. Kita tahu urusan dapur tidak akan menjangkau politik namun yang jelas politik yang menentukan urusan dapur. Karenanya refleksi politik sangat besar yang membutuhkan orang profesional untuk men jalankannya.
Prasangka
Melihat kondisi paska pilkada banyak kejadian negatif yang muncul misal persaudaraan dan kekompakan mulai pudar, saling menghujat dengan alasan yang tidak realistis mungkin karena terpedaya oleh harumnya kekuasaan. Penulis melihat pada hakikatnya kejadian ini berawal dari prasangka, Jones (1986) mengatakan prasangka adalah sikap antipati (perasaan negatif) yang berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Atau dalam agama disebut dengan su-uddhan (berprasangka buruk) dimana salah satu perbuatan yang dilarang keras sebab dalam prasangka nafsu emosi yang memaksa diri kita untuk mengambil tindakan atau kesimpulan tanpa melihat secara realita hingga apapun yang dilakukan orang selalu bernilai negatif tanpa memikir dengan objektif.
Terlebih bicara kondisi negeri kita Aceh mulia ini, banyak kekurangan yang harus kita perbaiki sebut saja seperti pengangguran, kemiskinan, pendidikan atau masalah lain bila prasangka masih menjadi culture kita dalam kehidupan maka negeri ini tak akan pernah berubah menjadi lebih baik sebab prasangka merupakan lingkaran setan (the vicious cycle) yang selalu membawa kepada kerusakan dan kehancuran.
Salah satu sikap kita di kehidupan sosial ini adalah belum siap menerima kekalahan, walaupun kadang –kadang ada dampak positif dari sikap tersebut, tapi apa daya jika dalam hal politik semua punya ambisi untuk berkuasa dan tak mau menerima kekalahan sungguh malapetaka yang terjadi. Kita tahu hidup seseorang ditentukan oleh struktur sosial, dan struktur sosial ditentukan oleh kondisi kehidupan politik, kehidupan politik ditentukan oleh pemegang kekuasaan, dan secara langsung kehidupan politik membentuk kehidupan tiap pribadi (somardjo,2001). karenanya ambisi terhadap kekuasaan hal yang bisa kita maklumi namun sangat tidak kondusif bila tidak dikelola dengan pikiran yang jernih.
Kekalahan memang menyakitkan tapi bukan sibuk menuding pihak lain secara tidak realistis sebagai sumber kekalahannya, menganggap diri paling benar yang tak dapat dikalahkan sedangkan yang lain salah dan harus kalah. Alangkah sangat prihatin ini terjadi padahal yang menang belum tentu benar dan belum tentu salah, begitu juga dengan yang kalah. Semestinya kekalahan bukanlah sebuah beban dan kemenangan bukanlah sesuatu yang sangat dibanggakan. Kekalahan bukanlah akhir dari segalanya karena kesempatan masih banyak yang penting punya introspeksi penyebab kekalahan tersebut agar ke depan lebih siap dalam pertarungan.
Sebagai penutup, sungguh berbahagia orang yang tidak terkena sindrom kekuasaan karena kekuasaan yang diambisikan bukanlah dipandang sebagai “milik” tetapi sebagai “kewajiban” yang harus ia pertanggung jawabkan walaupun banyak orang menganggap kekuasaan itu “milik” yang tidak pernah memakai kekuasaan sebagai kekuatan untuk mengembangkan kemanusiaan nya untuk orang lain tapi malah mengisi kekuasaan demi memenuhi keinginan pribadi atau kelompoknya. Na’uzubillah.
Jamri M. Syuib [Mahasiswa ilmu Politik, FISIP UIN Ar-Raniry, Banda Aceh]