Menguliti KiloMeter Peradaban Versi Jokowi

2
453
Penulis Menguliti Kilometer Peradaban Jokowi

Baru-baru ini Presiden Indonesia, Joko Widodo, baru saja menetapkan Barus adalah kilometer nol peradaban Islam Nusantara[i]. Berbagai reaksi dari penetapan tersebutpun muncul. Diantaranya ada yang terperanjat tidak percaya karena awal sejarah Islam sudah lama diajarkan sejak sekolah dasar diawali di Samudra Pasé. Juga sebagian lainnya menganggapnya sebuah kebijakan yang tidak berazaskan kepada pertimbangan ilmiah dan kajian akademik. Secara umum, respon-respon tersebut menunjukkan bahwa penetapan Barus sebagai titik nol peradaban Islam Nusantara  bukan saja menyakiti Aceh (Pasé), tetapi juga cacat secara bahasa dan tradisi ilmiah sejarah itu sendiri.Para sejarawan berbeda pendapat tentang tempat pertama Islam datang[2]. Ketidak sepakatan ini bukan saja diamini diantara para ahli sejarah yang mengunakan pendekatan sains seperti arkeologi, juga sejarawan oral pun juga berbeda pendapat. Di level lokal para ahli dan pengiat sejarah berpendapat bahwa Bireun (kesultanan Jempa), ada juga berpendapat Peureulak, dan lainnya menyatakan Lamuri sebagai tempat awal singgah Islam. Meskipun para sejarawan berbeda pendapat tentang tempat pertama kedatangan Islam, Samudra Pasé disepakai oleh sejarawan sebagai tempat pertama peradaban Islam di Asia Tenggara. Oleh karena itu penetapan Barus sebagai titik nol peradaban Islam nusantara bermasalah secara bahasa dan menyalahi kesepakatan ahli sejarah.

Samudra Pasé dan Filologi

Perhatian akademisi terhadap Samudra Pasé dapat disimpulkan sangat minim dan memprihatinkan. Sebagai kajian sejarah lisan, Alfian (1973; Kronika Pasé; Sebuah Tinjauan Sejarah), dan Gade (1993; Pasé dalam Perjalanan Sejarah; Abad ke-13 sampai abad ke-18) menunjukkan kepedulian mereka. Namun pendekatan mereka masih sangat klasik dan kurang mendapat respon sejarawan lainnya. Hurgronje menyingung secara sekilas tentang Samudra Pasé, namun sebagai laporan etnografi otentitas laporannya kurang valid karena Hurgronje tidak hidup di masa Samudra Pasé dan laporannya hanya dapat diterima sebatas masa-masa beliau menjadi sebagai saksi sejarah saja.

Sebuah kajian yang patut diapresiasi adalah usaha yang dilakukan Othman Yatim (1988, Batu Aceh: Early Islamic Gravestones in Peninsular Malaysia),[3] kemudian dilanjutkan oleh Taqiuddin (2015; Daulah Shalihiyah di Sumatera: Kearah Penyusunan Kerangka Baru Historiography Samudra Pasé)  bersama kawan-kawan CISAH dan MAPESA[4]. Usaha Yatim dapat dikatakan sebagai peletak dasar kajian sejarah Samudra Pasé dengan pendekatan filologi.

Usaha filologi dengan membaca kaligrafi yang terpahat di batu-batu nisan (batu Aceh menurut Istilah Yatim) adalah sebuah usaha sejarah yang super otentik dan valid. Tingkat reabilitas datanya dapat disetarakan dengan level axioma dalam ilmu matematika. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama kaligrafi adalah bahasa yang ditulis untuk menyampaikan makna dari pelaku sejarah kepada pembaca sejarah (saat ini).  Secara teori komunikasi (lihat formula Lasswell) batu nisan menjadi media komunikasi antara komunikan dan komunike yang terpisah dalam jaraknya waktu berabad-abad lalu.

Kebenaran makna yang dikandung bahasa bersifat postulat sehingga makna yang dipahami dari batu itu harus diterima sebagai kebenaran bagi dirinya sendiri. Bahasa adalah kebenaran yang sifatnya hasil kesepakatan kolektif/masyarakat, menolak makna dalam bahasa/kaligrafi di batu nisan adalah sama dengan menolak bahasa sebagai komunikasi itu sendiri. Karena itu, menolak bahasa sama dengan menolak kemanusiaan yang berentiti sebagai hayawanun naathiq. Kedua, apalagi yang tertulis dibatu-batu nisan itu bukan hanya konsep-konsep dari suatu bahasa, tetapi disana terukir angka-angka yang merupakan tanggal, bulan dan tahun mereka wafat.[5]

Misalnya angka tertua dapat ditemukan pada nisan Mahbub Al-qulub al-Khalaiq Ibnu Mahmud dengan bulan Zulhijjah, tahun 622 hijriah, sementara setelahnya nisan Sultan Malikussaleh  tertulis tahun 696 di bulan Ramadhan. Batu nisan Sultanah Nahrasiyah paling lengkap tertara angka dengan tanggal 17 bulan Zulhijjah tahun 831 H (detilnya lihat buku Taqiyuddin, 2015).

Dua foto diatas diambil dari Guide Book, CISAH [Centre for Information of Samudra Pasai Heritage), hal: 5. Sebagai tokoh terawal sejarah awal Samudra Pasé, lihat juga: http://misykah.com/[7]. Angka-angka matematika yang terdapat di nisan tersebut menunjukkan maknanya yang mengandung kebenaran absolut. Makna dalam angka adalah kebenaran objektif yang axiomatik, mengingkarinya sama dengan menolak satu tambah satu sama dengan dua. Jika seorang ahli sejarah tradisional menemukan sebuah artifak, maka seorang ahli sejarah dituntut untuk memaknai artifak tersebut dengan pendekatan laboratorium dan penafsiran subjektif (historiography). Berbeda dengan itu, bahasa kaligrafi yang tertulis dan angka-angka yang terpahat dinisan seperti membaca surat saja, maknanya dipahami secara alami dan pasti.[8]

Titik Kilometer Nol Peradaban Islam Nusantara

Penetapan kilometer Nol peradaban Islam Nusantara sangat bermasalah secara bahasa. Sebagai alat komunikasi, setiap kata-kata dari sesuatu bahasa itu mengandung makna, kode ideologis dan benda/sesuatu. Karena kata-kata disepakati secara acak tanpa sebuah rencana dan pengukuran, maka makna dari kata-kata itu tidak dapat disematkan kecuali melalui kesepakatan dan persetujuan secara sadar juga. Karena itu sebuah kata dapat dipahami maknanya jika code ideologisnya sama antara tiap-tiap penutur (Hall 1997). Misalnya saja kata “stone” secara spontanitas dapat dipahami sebagai benda keras, berat dan padat oleh penutur bahasa Inggris. Kemampuan memahami ini terjadi karena setiap penutur bahasa inggris ini memiliki kode ideologi bahasa mereka sama.

Namun ironisnya dengan istilah “Kilometer Nol Peradaban Nusantara”. Setiap kata dari istilah ini mengandung masalah serius. Kilometer adalah alat ukur yang digunakan dalam jarak suatu ruang (void), sementara Nol adalah penentuan awal yang dihitung secara matematis, seperti sedang menyipat panjang sebuah jalan. Ironisnya yang diukur bukanlah jarak seperti jalan, tetapi peradaban, inilah sebab absurditasnya. Tentunya benak kita akan bertanya, mungkinkah peradaban dapat diukur dalam bentuk angka-angka? Apakah peradaban itu memiliki panjang lebar, seperti benda panjang yang alat ukurnya berkilo-kilo meter? Nah kalo begitu di kilometer berapakah sekarang peradaban itu sudah berjalan?

Lazimnya, para sejarawan dan ahli peradaban mengukur perkembangan peradaban dengan fase-fase dan level-level tertentu sebagaimana yang dilakukan Arnold Toybee, Ibnu Khaldun dan August Comte. Salah satu sejarawan Rusia memperkenalkan istilah zero civilisation, namun istilah zero ini tidak konkret seperti kilo meter, zero peradaban ini berkaitan dengan penjelajahan luar angkasa.

Lain lagi dengan istilah “Islam Nusantara”. Nativisasi Islam dan pengkotak-kotakan Islam adalah suatu usaha yang berlawanan dengan tabiat ajaran Islam itu sendiri. Usaha ini bukan saja melemahkan persatuan umat Islam, namun juga menjauhkan umat Islam dari ulama-ulama mutaqadimin para salaful shalih, sehingga menjadikan umat terjebak dalam manhaj yang nol-Islam. Hamka sendiri sebagai penulis sejarah tidak menyebutkan “Islam Nusantara” tetapi “Sejarah Islam di Nusantara”.

Kembali ke Samudra Pasè, penulis tidak menolak bahwa ada kemungkinan-kemungkinan bahwa Islam datang pertama selain di Samudra Pasè, namun sebagai sebuah peradaban harus diakui bahwa itu dimulai disini di negeri endatu Samudra Pasè. Pengakuan ini bukanlah kefanatikan tetapi tuntutan bahasa dari istilah “peradaban” itu sendiri dan dari risalah balighah ahli sejarah international, nasional dan lokal. Mereka sepakat bahwa Samudra Pasè sebagai pintu gerbang peradaban Islam di Asia tenggara dan pada masa puncaknya digelari dengan serambi mekkah. Marilah kita akhiri tulisan ini dengan puisi dari Purbanagara, Pujangga baru 1933;[9]

Di Atjeh di udjung Andalas pulau

Berseri sedjarah waktu nan lampau

Masa Pasé kilau kemilau

Berselimutkan beledu sutra antelas;

Tempat pojangku mula sembahjang

Menjambut Islam ketika datang

Menjambut megahnya sampai keseberang

Kulihat bekasnja sedih hatiku

Sepantun bunga jang hampir laju,

Karena memandang makam pajangku;

Tidak diminat kurang didjaga

Ditiliti ranting berbagai akar

Sehingga kelam tidak bersinar.

Tidak menurut zaman berputar.

Arah ketimur pandangan mata

Mengalir Kruëng gagah perkasa:

Bukan pakaian berputus asa,

Bertjerai-berai beraku berdia,

Ta’ ada insan nan ta’kan berkuasa![ii]

Saifuddin Dhuhri adalah dosen IAIN Malikussaleh-Lhokseumawe dan Peneliti Senior MAA Aceh Utara, bisa dihubungi via email: saifuddindhuhri@gmail.com

[2] Herwandi, Bungoh Kalimah: Kalihrafi Islam Dalam Balutan Tasawuf Aceh (Abad 16-18): Telaah Sejarah Seni Berdasarkan Data Tekstual Pada Makam; Ismail, Pasai Dalam Perjalanan Sejarah : Abad Ke-13 Sampai Awal Abad Ke-16; Djajadiningrat, Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan Tentang Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan Bahan-Bahan Yang Terdapat Dalam Karya Melayu.

[3] Yatim, Batu Aceh: Early Islamic Gravestones in Peninsular Malaysia.

[4] Muhammad, Daulah Shalihiyah Di Sumatera: Kearah Penyusunan Kerangka Baru Historiography Samudera Pasai.

[5] Gumbrecht, The Powers of Philology Dynamics of Textual Scholarship.

[6] CISAH, Tinggalan Samudra Pasai.

[7] CISAH, Tinggalan Samudra Pasai.

[8] Dwight, Modern Philology: Its Discoveries, History and Influence; Gumbrecht, The Powers of Philology Dynamics of Textual Scholarship.

[9] Hookaays, Penyedar Sastra.

[i] [lihat: https://news.detik.com/berita/d-3455557/jokowi-akan-resmikan-titik-nol-kilometer-islam-di-nusantara-di-barus] dan [https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2017/03/26/113829/soal-barus-titik-nol-islam-di-nusantara-ini-penjelasan-sejarawan.html]

[ii] Lihat Penyedar Sastra, Dr. C. Hookaays, Penerbit J.B. Wolters, Gronigen-Djakarta, 1952

 

Referensi

CISAH. Tinggalan Samudra Pasai. Lhokseumawe: CISAH, 2008.

Djajadiningrat, Raden Hoesen. Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan Tentang Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan Bahan-Bahan Yang Terdapat Dalam Karya Melayu. Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983.

Dwight, Benjamin. Modern Philology: Its Discoveries, History and Influence. New York: A.S. Barnes and Burr, 1860.

Gumbrecht, HANS ULRICH. The Powers of Philology Dynamics of Textual Scholarship. Chicago: Illionois Press, 2003.

Herwandi. Bungoh Kalimah: Kalihrafi Islam Dalam Balutan Tasawuf Aceh (Abad 16-18): Telaah Sejarah Seni Berdasarkan Data Tekstual Pada Makam. Andalas Unieversity Press, 1962.

Hookaays, Christian. Penyedar Sastra. Gronigen-Djakarta: J.B. Wolters, 1952.

Ismail, Muhammad Gade. Pasai Dalam Perjalanan Sejarah : Abad Ke-13 Sampai Awal Abad Ke-16. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993.

Muhammad, Taqiyuddin. Daulah Shalihiyah Di Sumatera: Kearah Penyusunan Kerangka Baru Historiography Samudera Pasai. Lhokseumawe: Cisah, 2015.

Yatim, Othman Mohammad. Batu Aceh: Early Islamic Gravestones in Peninsular Malaysia. Kuala Lumpur: Museum Association of Malaysia, 1988.

 

2 COMMENTS

  1. izinkan kami JBMI (JAM’IYAH BATAK MUSLIM INDONESIA ) menjelaskan maksud terkandung pada peresmian Tugu Kilometer 0 Peradaban Islam Nusantara:
    Pertama, Memperbesar nilai implementasi pradaban Islam dalam menghadapi kemajemukan Bangsa Indonesia, yang diperkirakan telah berkembang di kota Barus pada abad sebelum masehi dengan kedatangan para pedagang dari Kerajaan Timur Tengah , India, China untuk membeli Kapur Barus.
    Kedua, Di Barus pertemuan peradaban Islam dengan masyarakat Nusantara di Pasai merubah Kerajaan Pasai menjadi kerajaan Islam pertama.
    Ketiga, Memperkoko Meningkatkan semangat silaturahim untuk memperkaya peradaban perdagangan islam yang telah dibawa para pedagangan arab pada zaman nabi muhammad SAW ke Barus untuk membeli Kapur Barus yang digunakan sebagai bagian dari rukun pardu kifayah
    Keempat, Mempertahankan kearipan Lokal yang dikaitkan dengan seminar sebelumnya dengan tema : Penerapan Dalihan Natolu (Ajaran Masyarakat Batak) ditinjau dari pandangan semua Agama dan Pancasila.
    Kelima, Meningkatkan nilai wawasan kebangsaan yang mempunyai pengaruh signifikan menghadapi tantangan bangsa.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.