Kata penolong dari term wali di atas menjadi sangat relevan dalam konteks keacehan paska tsunami dan konflik antara TNI/Polri dengan GAM. Dimana konflik sejak 1976 sd 2005 telah menyebabkan ratusan meninggal dengan tragis, sebagian lainnya hilang dan meninggalkan ribuan yatim serta janda akibat perang antara kedua kelompok tersebut. Hal ini juga diperparah akibat bencana Gempa dan Tsunami pada 26 Desember 2004 yang menyebabkan kematian sangat masif.
Laporan Multi-Stakholders Review Report (2009) menunjukkan bahwa kerugian secara ekonomi dan infrastruktur lainnya dari konflik antara TNI/Polri dan GAM mencapai Rp.107.4 triliun (US$10.7 billion). Sementara kerugian yang dialami oleh bencana Tsunami mencapai US$ 4.4 billion atau setara dengan Rp.40.4 triliun (Theguardian, 2005).
Korban jiwa dari dari kedua bencana tersebut juga tidak sedikit. Mesti tidak ada data yang konkrit, namun sejumlah lambaga pemerintah atau independen lainnya memperkirakan dampak bencana konflik dan tsunami telah menyebabkan ratusan ribu orang meninggal, ratusan lainnya hilang, serta meninggalkan ratusan ribu anak yatim. Dampak psikologis para korban ini pastinya tidak dapat dihitung secara materi baik dengan rupiah maupun dengan US Dollar.
Konsep Wali di Aceh
Merujuk kepada fakta di atas, maka sepatutnya Aceh memiliki seorang/lembaga wali yang menjadi pelindung terhadap anak-anak yatim tersebut. Pastinya wali itu adalah orang atau sebuah lembaga yang tidak dikelola oleh orang-orang yang terlibat dalam proses penghilangan nyawa orang tua para yatim tersebut.
Sebaliknya wali adalah perseorangan atau kelembagaan yang suci. Seperti dikatakan oleh Imam Abu Ja’far al-Tahawi al-Hanafi dalam kitabnya al-Tahawiyya menyatakan bahwa wali adalah orang-orang yang suci, dan menjadi orang terdepan dalam menegakkan ajaran Allah dimuka bumi ini.
Pendapat ini setidaknya kita bisa membayangkan bahwa seorang wali itu seperti Syekh Hamzah al-Fansuri, atau Syekh Abdul Rauf As-Singkili maupun seperti Syeikh Nuruddin Ar-Raniry. Mereka adalah orang-orang yang suci yang tujuan hidupnya di Aceh adalah membangun umat manusia untuk menjadi hamba yang dekat dengan Tuhan, menjadi pelindung para yatim serta penerang kehidupan negara meskipun mereka tinggal digubuk tanpa penerang.
Fungsi Kewalian
Dalam konteks pembangunan paska konflik dan Tsunami, maka perhatian terhadap anak yatim menjadi hal yang harus diprioritaskan. Proses ini juga harus mempunyai sinergi dengan penegakan hukum atau setidaknya proses rehabilitasi dan kompensasi terhadap kerugian dan kehilangan yang mereka alami, baik kehilangan nyawa orang tuanya maupun kehilangan hartanya.
Satu terobosan yang pernah dilakukan untuk mewujudkan fungsi kewalian tersebut ketika masa Pemerintahan Aceh di bawah kepemimpinan Irwandi Yusuf melalui program Beasiswa Anak Yatim. Namun program ini mengalami sedikit kemacetan ketika di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah. Namun demikian, seharusnya program itu harus mampu memperlakukan anak yatim tersebut sesuai dengan faktor dan kondisi yang menyebabkan mereka menjadi anak yatim.
Artinya, jika orang tua anak yatim tersebut terbunuh oleh pihak yang berperang, maka tanggung jawab itu harus dibangun tidak saja melalui beasiswa, melainkan juga hak-hak lain yang seharusnya mereka dapatkan dari orang tuanya yang sudah terbunuh tersebut. Begitu juga jika beasiswa itu dianggap kompensasi dari reseki yang seharusnya diberikan oleh orang tuannya, maka berikanlah sesuai porsinya, tanpa ada pemotongan apapun:
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka,janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangalah kamu makan harta mereka bersama hartamu, sungguh (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar (QS. An-Nisa ayat 2).
Penelitian The Aceh Institute (2012) menunjukkan bahwa mayoritas anak yatim yang mendapatkan bantuan beasiswa tersebut masih hidup di bawah garis kemiskinan, dan tidak sedikit diantaranya hidup dirumah yang tidak layak.
Berbeda dengan rumah yang diklaim milik wali naggroe, pemerintahan Aceh (Gubernur dan DPRA) telah mengeluarkan dana publik sudah mencapai 35 milyar namun belum juga siap untuk ditempati karena menunggu pelantikan yang juga mengambil uang publik sebanyak 50 milyar sebagaimana telah disahkan dalam APBAP tahun 2013 (www.ajnn.net).
Andaikan dana sejumlah itu membangun rumah anak yatim bisa mencapai 1700 rumah dengan harga per-rumah lima puluh juta rupiah. Sayangnya mereka tidak peduli, meskipun Saifuddin Bantasyam pernah mengatakan bahwa ingatlah bahwa rumah yang mewah itu, mobil yang mewah itu, jabatan yang mewah itu, dan uang gaji yang wah itu bahwa bahan bakunya adalah darah, air mata dan penderitaan anak yatim dan janda akibat perang yang pernah digenderangkan itu.
Fenomena ini menjadi sejarah baru Aceh bahwa demi nafsu semua dapat dilakukan. Konsep wali yang dibangun oleh UUPA maupun draft qanunnya, belum merefleksikan apa yang dikatakan oleh Imam Abu Ja’far al-Tahawi al-Hanafi dalam kitabnya al-Tahawiyya, melaikan konsep yang dilandansi oleh mazhab Marchivilien, seperti dalam tulisan saya sebelumnya menyembelih sifat marchivienist
Terakhir, tapi bukan akhir kita masih menunggu dan berharap lahirnya wali-wali yang suci, wali yang hanya cinta kepada Ilahi, wali yang cinta para yatim piatu, wali yang sesui dengan adigium Aceh gn syariat, lagee zat dan sifat, dan wali yang cinta hidup zuhud dalam kesederhanaanya. Sebagaimana ditulis oleh waliyullah bernama Rabiatul Adawiyah yang dikutip dari Tinta tanpa Dawat (2013): Wahai Tuhanku! Malam yang akan pergi dan siang pula akan menganti. Wahai malangnya diri! Apakah Engkau akan menerima malamku ini supaya aku berasa bahagia ataupun Engkau akan menolaknya maka aku diberikan takziah? Demi kemulian-MU, jadikanlah caraku ini kekal selama Engkau menghidupkan aku dan bantulah aku di atasnya. Demi kemulian-MU, jika Engkau menghalauku dari pintu-MU itu, nescaya aku tetap tidak bergerak juga dari situ disebabkan hatiku sangat cinta kepada-MU