Pajak Pemilu dan Jamses

0
124

Lalu, dalam fase sore, baru kaum perempuannya berhak berpemilu pada pasca perang dunia pertama, kecuali Australia, Finlandia, Selandia Baru, Islandia, atau Norwegia. Bahkan, di beberapa negara, kaum hawanya mesti nunggu usainya perang dunia kedua macam di Prancis dan Italia (1946), Portugis (1972) dan Swiss (1971).

Adapun dalam fase malam, yang gak berhak berpemilu adalah (a) bani berkulit merah pra 1924 di AS dan 1960 di Kanada, (b) bani berkulit gelap pekat sebelum 1965 di AS atau (c) bani berkulit peteng dedet bermula pra 1967 di Australia.

Sederap langkahnya dengan Barat adalah hak berpemilu di Amerika Latin, yang pada awal abad ke 19 sudah ramai-ramai pada merdeka macam Venezuela, Kolombia, Cile, Argentina atau Brasil.

Fase paginya mula-mula diperuntukkan bagi kaum ningrat dan begundalnya seperti di Argentina atau tergantung pada penghasilan semisal di Brasil. Lantas dalam fase siangnya kaum pria pada awal abad ke 20. Kemudian dalam fase sorenya kaum wanita sehabis perang dunia pertama kayak di Ekuador, Brasil, Uruguay, Argentina, Cile atau Meksiko. Fase malamnya juga dialami oleh misalnya kubu buta huruf Brasil pra 1988, kaum kaipang dan warganegara non pri macam di Argentina atau bani berkulit merah macam di Bolivia pra 1952 dan Meksiko pra 1960.

Baik di Barat maupun di Amerika Latin, hak berpemilu itu setel bersantap beradab. Diawali dengan makanan pembuka, lalu utama dan terakhir penutup. Cuma, hasilnya berbeda. Umpamanya di Amerika Latin dengan sistem kepartaian yang gak melembaga atau budaya buayaan jual beli suara di Brasil. Dalam hal kepemiluan, Barat dan Amerika Latin itu seolah Yin dan Yang.

Kontrasnya itu hak berpemilu Indonesia sejak warung republik dibuka sampai sekarang. Fasenya langsung pagi sore bak restoran Padang Pagi Sore, bedhol dan tancep kayon menyatu. Segenap lauk pauk disodorkan. Bahkan jajanan pasarpun disajikan seperti pemilu 1955, yang mengenal wakil minoritas Bule, Cokim dan Erbong. Benar, pada babad Orde Barusan pernah ada fase malam yang diberlakukan bagi bani berkulit merah revolusioner. Ringkasnya: produk pemilu setel pagi sore ini bermisteri.

Sebabnya, dari tamasya berpemilu itu, Nusantara agaknya kerasukan roh elecciones latinoamerica. Sejak reformasi, pemilu terakhirnya cenderung nge-Brasil atau nge-Meksiko. Dalam hal berpemilu, masyarakat gotong royong itu malah maujud jadi masyarakat garong rongrong. Sistem kepartaian lemah dan hubungan caleg dan konstituen bernuansa amplopan.

Gelagatnya, nasib ini buah proklamiran 17/8/1945, Jumat Legi, yang ada bershio ayam, non-pasangannya shio-shio UU Pemilu Reformasi (1999 kelinci, 2004 kambing dan 2009 tikus), tapi pasangannya UU buat pemilu 1955 (ular).

Maka, jika suratan nasib sudah mesti meng-Latinoamerica, perlu dipikirkan buat melumrahkan situasi dengan melegalisasi perdagangan suara dalam pemilu secara terbuka, sekaligus meningkatkan kerjasama bilateral antara caleg dengan konstituen.

“Coming together is the beginning. Keeping together is progress. Working together is success,” Eyang Henry Ford bertogetheran.

Tentu saja, kedua belah pihak harus membayar pajak pemilu. Misalnya pajak penjualan dan penghasilan serta kepada penonton dikenakan pajak hiburan.

Seperti jamsos (jaminan sosial), sebagian pajak disisihkan guna jamses (jaminan bersesajen), agar pemilu Indonesia membuahkan satu tatanan yang gak bikin kerap berdirinya bulu roma macam di Latinoamerica.

Reporter : Pipit Kartawidjaja

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.