Mei adalah bulan penting bagi pegiat HAM Indonesia untuk mengenang dan memperjuangkan segala tragedi pelanggaran HAM yang terjadi seperti Tragedi Mei 98 yang menjadi simbol perjuangan bergesernya sistem pemerintahan di Indonesia. Bulan Mei juga penting bagi masyarakat Aceh untuk mengenang banyak sekali peristiwa pelanggaran HAM salah satunya Tragedi Simpang KKA.
Bagi Aceh pelanggaran HAM tentu menjadi hal yang penting untuk diselesaikan. Penyiksaan masa konflik, hingga penghilangan nyawa secara paksa masih tersimpan utuh dalam memori korban, dan membutuhkan stimulus ekstra untuk dapat menambal luka lama. Salah satu instrumen yang relevan adalah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKRA). KKR Aceh faktanya merupakan amanat dari MoU Helsinki.
Namun mewujudkan kinerja lembaga KKRA bukanlah pekerjaan rumah yang mudah. Adanya regulasi nasional sebagai cantolan KKRA adalah suatu problematika tersendiri ditengah semangat penuntasan persoalan HAM masa lalu. Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) sebagai dasar hukum pembentukan kelembagaan KKRA mensyaratkan pembentukan kelembagaan melalui peraturan perundang-undangan yakni qanun (perda), sedangkan dalam hal berkerjanya lembaga tersebut harus tetap mengacu pada UU KKR Nasional yang sudah di cabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2006 silam.
Inilah yang menjadi Anomali dari pembentukan kelembagaan KKRA itu sendiri, sehingga sampai dengan saat ini kinerja dari KKRA ini sering diragukan oleh para pihak, termasuk pihak-pihak yang selalu mengkaitkan keberadaan KKRA ini dengan KKR Nasional. Padahal Putusan MK terkait UU KKR Nasional itu tidak membatasi untuk para korban mencari upaya rekonsiliasi sebagaimana yang disebutkan dalam Putusan No. 006/PUU IV/ 2006 dan 020/PUU IV/ 2006 tentang pengujian UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR.
Problematika KKR
Sejak awal pembentukan kelembagaan ini, pro dan kontra timbul di kalangan para praktisi. Namun dialektika tersebut tidak menghentikan semangat pembentukan kelembagaan KKRA. Mulai dari Pengesahan Qanun No 17 tahun 2013 tentang KKRA hingga pembentukan pansel dan pemilihan komisioner KKRA sudah dilakukan.
Pertanyaanya kemudian, bagaimana action kelembagaan ini dapat diwujudkan, bukankah memang UUPA mensyaratkan berkerjanya kelembagaan KKRA itu tidak terpisah dari UU KKR Nasional seperti yang diamanatkan didalam Pasal 229 ayat (2) UUPA. Disinilah sebenarnya akrobatik kekhususan Aceh harus di utamakan, pemerintah Aceh bersama pemerintah pusat sebenarnya bisa duduk bersama membahas keberadaan kelembagaan KKR Aceh ini, karena memang disatu sisi keberadaan UU KKR Nasional masih belum masuk kedalam prioritas prolegnas untuk tahun ini. Disebabkan oleh beberapa hal yang menaifkan pembentukan KKR Nasional tersebut.
Adanya kekhawatiran pengungkapan sejarah masa lalu terhadap keterlibatan para pelaku menjadi penting, begitupun dengan pengungkapan kebenaran fakta dan peristiwa masa lalu yang menjadi niat suci pembentukan kelembagaan KKRA juga harus menjadi penekanan dalam pemberlakukan ini.
Namun ironinya keberadaan UU KKR Nasional yang hendak digagas untuk dibentuk kembali saat ini, selalu dikaitkan dengan persoalan kasus pelanggaran HAM 65 (keluarga PKI) yang selalu menjadi alasan terhambatnya pembentukan UU KKR Nasional, padahal seharusnya hakikat dari keadilan transisional itu harus dilihat secara utuh, tidak hanya terbatas pada kasus tertentu. UU KKR Nasional tidak hanya diperuntukkan untuk korban kejahatan 65 melainkan juga untuk mengungkap kebenaran dan rekonsiliasi kejahatan pelanggaran HAM lain di Indonesia, termasuk Aceh.
Persoalan sejarah masa lalu Aceh terhadap pelanggaran HAM sangat berbeda dengan kasus di daerah lain di Indonesia. Aceh pernah memasuki Masa Darurat Militer dan Sipil, serta pernah juga masuk dalam scope sejarah Darul Islam yang juga menyisakan tabir kelam pelanggaran HAM. Namun sepertinya publik hanya menilai keberadaan UU KKR Nasional hanya semata-mata diperuntukkan untuk korban pelanggaran HAM 65 saja, sehingga UU KKR Nasional hingga saat ini seperti mati suri dan tidak bergaung.
Disinilah sesungguhnya urgensi pendirian KKRA itu dilakukan untuk memperjelas keberadaan KKR Nasional yang masih belum akan dibahas dalam dalam prolegnas tahun ini. Aceh tidak mungkin lagi menunggu UU KKR Nasional sebagai landasan patokan berkerjanya kelembagaan ini, Aceh harus bisa menempuh jalur diplomasi secara politik melalui pemerintah Aceh dan pemerintah pusat untuk membahas kelanjutan kelembagaan KKRA.
Salah satu cara terbaik adalah dengan membentuk Komite Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi yang terdiri dari unsur Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat yang bertugas mendorong percepatan pembentukan KKR Nasional dan memperkuat instrumen kerja dari KKRA.
Dalam Qanun KKRA disebutkan bahwa untuk menyelenggarakan fungsi dari kelembagaan ini, maka KKRA berwenang mendapatkan dukungan resmi terhadap pelaksanaan tugas komisi dari institusi negara dan asistensi teknis yang diperlukan untuk pencapaian tujuan pembentukan komisi. Di poin penting inilah sebenarnya starting point penekanan terhadap dukungan keberadaan KKRA di mata nasional. KKRA tidak bisa bekerja sendiri tanpa adanya dukungan pusat, termasuk nantinya memanggil para pelaku pelanggaran HAM yang notabenya tidak berada di Aceh, dan menindak lanjuti hasil dari rekomendasi itu sendiri yang dalam hal ini diberikan kepada Pemerintah Aceh untuk dapat mengungkapkan fakta kebenaran untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yakni memaafkan atau tidak memaafkan pelaku pelanggaran HAM masa lalu.
Untuk mendukung keberadaan KKRA sebagai lembaga yang bertugas mengungkapkan kebenaran dan rekonsiliasi untuk para korban, ada baiknya kita melihat pada pandangan sinis dari Hannah Arendt yang dituliskannya dalam buku The Origins of Totalitarianism (1958) yang menuliskan bahwa ”Men are not able to forgive what they cannot punish” (kita tak bisa mengampuni apa yang tak dapat kita hukum). Demikian juga, bagaimana kita bisa melupakan apa yang tak pernah dibuka untuk kita ingat bersama?.
KKR dalam hal ini hadir sebagai lembaga yang bisa mematahkan pendapat sinis penulis “Analyzing Nazism and Stalinism” ini, dengan menempatkan keadilan diatas kesetaraan (justice as fairness) sebagaimana yang diungkapkan oleh Rawlsian-Habermasian (Transitional Justice: 2000), dengan mengungkap kebenaran persistiwa pelanggaran masa lalu menjadi terang benderang.
Untuk itu tidak ada salahnya bila Pemerintah Aceh bisa segera meyakinkan pemerintah pusat untuk mendukung keberadaan KKRA dengan membawa misi penguatan kelembagaan terlebih dahulu, sebelum nantinya membuka akses jaringan terhadap kelembagaan lain yang menjadi institusi negara untuk mengakui kinerja dari KKRA itu sendiri.
Erlanda Juliansyah Putra, S.H.,M.H. (Pengamat Politik Hukum Aceh, saat ini bekerja sebagai Tenaga Ahli Anggota DPR-RI, email erlandajp@gmail.com )