Zikir Dan Masa Depan Aceh

0
101

Sehingga naiknya dua mantan tokoh terkemuka GAM ini menjadi starting point yang baik dalam membangun Aceh ke depan. Tentunya pembangunan Aceh ke depan tak akan berjalan baik ketika tidak ada sinergitas atau perpaduan semua komponen politik di Aceh. Sehingga tugas besar Zikir saat ini adalah membangun rekonsiliasi dan consensus dengan semua entitas politik Aceh, terutama para calon gubernur dan wakil gubernur yang tersungkur dalam pilkada kemarin.

Untuk itu paradigma yang mempersepsikan pilkada sebagai ajang perebutan kekuasaan semata (pemenang menumpas pihak yang kalah, sebaliknya yang kalah merongrong wibawa kekuasaan pihak yang menang) harus ditinggalkan. Pilkada mesti diparadigmakan sebagai kontestasi politik bermartabat demi kemaslahatan bersama.

Yang menang merangkul yang kalah untuk duduk bersama merumuskan masa depan Aceh yang lebih baik, pun sebaliknya yang kalah bediri dengan kepala tegak untuk bersama-sama dan bahu-membahu dengan pemimpin yang terpilih untuk mensejahterakan seluruh rakyat Aceh.

Potensi dan peluang untuk mensejahterakan rakyat Aceh sesungguhnya sangat dimiliki oleh pasangan Zikir, hal ini didasarkan oleh beberapa hal. Pertama, Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf sama-sama mantan pejuang GAM. Di mana mereka memiliki bangunan ideology yang sama. Hal ini sangat berbeda kondisinya dengan masa Irwandi Yusuf, yang mana postur ideology Muhamad nazar berbeda dengan bangunan ideologi Irwandi, Sehingga berimplikasi pada harmonisasi roda pemerintahan yang tidak stabil..

Zaini Abdullah dalam kapasitasnya sebagai mantan Menteri Luar Negeri GAM, tentunya memiliki kompleksitas pengetahuan diplomatic, sehingga akan memudahkan ia untuk membangun diplomasi dan negoisasi dengan pihak luar (investor). Sementara Muzakir manaf yang merupakan mantan Panglima GAM tentunya juga memiliki pengetahuan dan relasi sosial yang baik, sehingga memudahkan ia untuk memfasilitasi, memediasi, dan menyerap aspirasi rakyat.

Kedua, Muzakir Manaf dengan kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Aceh (PA) akan memudahkan ia untuk mengontrol legislatif dalam mendukung program-program pembangunan yang pro rakyat. Mengingat mayoritas kursi legislatif (DPRA) di huni oleh kader PA. Memang kondisi ini kalau tak dicermati dengan hati-hati sangat dilematis, bilamana kekuasaan tak dijalankan pada track yang senafas dengan harapan rakyat, sementara legislatif (PA) tersandera oleh kuasa eksekutif. Namun disinilah nantinya peran dan kontribusi masyarakat sipil untuk melancarkan kritik sosial.

Ketiga, besarnya dukungan rakyat Aceh terhadap pasangan Zikir (diatas 50%) adalah modal politik yang sangat besar bagi Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Tinggal bagaimana Zikir mengelolah kepercayaan rakyat yang besar ini untuk mendistribusikan kesejahteraan untuk seluruh warga Aceh.

Ketiga hal diatas merupakan modal sosial-politik yang dimiliki oleh Zikir untuk membawa Aceh ke tangga perubahan. Tentunya modal sosial-politik ini harus didukung oleh kemauan politik yang kuat (political will) dan juga pengorbanan politik (political sacrifice) dari kepala pemerintahan Aceh.

Kemauan politik yang kuat dari Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf antara lain; pembentukan KKR, pembebasan Tapol/Napol Aceh, pengadilan HAM dan nasib para korban konflik yang belum tuntas penyelesaianya saat ini. Kemauan politik itu juga harus diartikulasikan secara sungguh-sungguh untuk penguatan program JKA dan program beasiswa.

Sementara pengorbanan politik berkaitan dengan kesediaan dan kemauan kuat Zikir untuk menempatkan kepala SKPA berdasarkan pada kualifikasi dan skill yang dimiliki oleh aparatur birokrasi. Bukan sekadar sebagai tarian balas jasa karena sudah berkorban untuk memenangkan Zikir sebagai pemimpin Aceh. Bukan pula semata-mata karena pertimbangan primordial, tapi betul-betul mempertimbangkan spirit the right man on the right place. Bahwa balas jasa adalah sebuah keharusan dalam politik, tapi tak mesti dengan menerabas spirit profesionalisme.

Pengorbanan politik juga berkaitan dengan kesediaan Zikir untuk mengapresiasi dan mengakomodir gagasan-gagasan kritis dari intelektual dan cendekiawan kritis Aceh yang boleh jadi selama ini terpinggirkan oleh penguasa. Karena yakinlah apresiasi yang layak dan proporsional pada kaum intelektual memiliki dampak yang konstruktif dan mencerahkan bagi masa depan peradaban Aceh.

Hal ini penting, karena kekuasaan yang berbasis pada pengetahuan jauh lebih kokoh dan memiliki unsur keabadian, karena pengetahuan bisa diwariskan secara terus-menerus dan total, karena menyentuh kesadaran manusia yang paling dasar (Hermawan, 2008). Sangat mungkin konsep inilah yang di praktikkan oleh para Sultan/Sultanah kerajaan Aceh Darusalam pada beberapa abad lampau. Terbukti warisan pengetahuan yang dipahat oleh para indatu tersebut, kita nikmati dan rasakan hingga hari ini.

Paling tidak, dari uraian singkat ini masa depan Aceh memiliki prospek yang gemilang dan mencerahkan ditangan Zikir. Namun semuanya berpulang pada political will dan political sacrifice Zikir. Apakah mereka siap mengartikulasikan secara sungguh-sungguh modal sosial dan politik yang sudah diamanahkan oleh rakyat Aceh.

Meminjam petuah bijak para Sufi, tak ada perjuangan tanpa pengorbanan, pun tidak ada pengorbanan kalau bukan karena lapangnya harapan. Besar harapan, perjuangan dan pengorbanan Zikir selaras dengan tarikan nafas harapan seluruh rakyat Aceh.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.