Adanya praktek maksiat di kawasan Ulee Lheu dianggap sebagai bukti bahwa Bandar wisata yang dikembangkan belum memenuhi kriteria Islami. Ataukah mungkin kata Islami tersebut sekedar lips service Pemko Banda Aceh saja untuk menjadikan Banda Aceh sebagai lokasi wisata dengan target mengejar PAD (Pendapatan Asli Daerah) semata? Pasalnya, hingga hari ini kita belum melihat suatu pilot project Islam yang menjadi miniatur kota Banda Aceh sebagai manifestasi Bandar Wisata yang Islami, bahkan lokasi wisata yang dikembangkan justru menjadi arena maksiat yang tentu saja tidak Islami. Jika Bali sebagai Bandar Wisata yang terkenal dengan tradisi dan budaya Hindu-nya yang menjadi daya tarik para wisatawan, maka seharusnya Banda Aceh juga memiliki pilot project berbasis Islam yang dikemas dengan rapi dengan harapan bisa menarik minat para wisatawan untuk mengunjungi.
Embel-embel Islami setelah Bandar Wisata tersebut terasa sangat paradoks jika kita kaitkan konsistensi penegakan syariat Islam di lapangan. Seharusnya, konsistensi penegakan syariat Islam ini bisa juga kita kemas dengan rapi untuk kita sajikan kepada para wisatawan. Bahwa di sini ada suatu objek wisata berbasis Islam yang kita tawarkan kepada mereka dan menjadi keunikan dan keistimewaan tersendiri bagi kota Banda Aceh sebagai wilayah yang sedang menerapkan syariat Islam. Dan dengan demikian, pemerintah tidak hanya meraup keuntungan secara material dari Bandar Wisata Islami tersebut, tapi sekaligus sebagai investasi abadi di akhirat nanti.
Akar permasalahan
Kalau boleh jujur, dari berbagai sisi syariat Islam sebagai modal dasar Bandar Wisata yang sedang kita bangun sesungguhnya tidak mendapatkan perhatian yang signifikan dari Pemko Banda Aceh. Kenapa? Jika kita perhatikan ke belakang, syariat Islam di Banda Aceh hanya bergaung akhir-akhir ini. Khususnya setahun terakhir dan saat isu aliran sesat lagi marak-maraknya. Razia syariat Islam jika kita perhatikan tidak berjalan secara simultan dan kontinu. Jika kita runut lebih jauh, ini jelas merupakan efek dari anggaran yang diplot untuk syariat Islam begitu minim setiap tahunnya meskipun kita lihat dalam hal prioritas program, syariat Islam selalu menempati prioritas pertama setiap tahunnya. Bayangkan jika pada tahun 2011 untuk dinas syariat Islam hanya mendapat alokasi anggaran sebesar 0,618 persen, atau Rp3.662.544.485 dari total belanja daerah TA 2011 sebesar Rp592.668.864.996. Kondisi serupa juga berlaku di tahun-tahun sebelumnya. Artinya, komitmen Pemko Banda Aceh dalam membangun Bandar Wisata Islami ternyata tidak seperti yang digembar-gemborkan. Syariat Islam tetap tidak mendapat perhatian yang layak. Disamping itu, peran dinas Syariat Islam belum berfungsi secara maksimal. Dinas Syariat Islam masih terkesan hanya mengurusi persoalan yang bersifat seremonial semata.
Efeknya adalah semakin rutinnya suguhan maksiat di Banda Aceh. Perhatikan apa yang terjadi di malam Nisfu Syakban beberapa waktu lalu. Di saat hampir semua meunasah-meunasah dan mesjid di Banda Aceh melaksanakan shalat Nisfu Syakban, namun di pusat kota justru digelar pementasan konser musik yang jauh dengan nilai-nilai Islam. Dan yang aneh, ini bukan kali yang pertama. Tentunya, ini efek ketika secara finansial perhatian untuk penegakan syariat Islam belum maksimal yang tentu saja dilatarbelakangi oleh ketidakseriusan.
Efek ketika anggaran untuk syariat Islam sangat minim adalah merajalelanya pelanggaran terhadap syariat Islam yang dibuktikan dengan banyak kasus-kasus yang pelanggaran qanun-qanun syariat Islam. Dari segi efektivitas penerapan qanun-qanun syariat Islam, mari kita lihat Qanun Syariat Islam Nomor 14 Tahun 2003 yang mengatur tentang mesum (khalwat). Pada Bab II pasal 2 disebutkan bahwa ruang lingkup larangan khalwat/mesum adalah segala kegiatan, perbuatan atau keadaan yang mengarah kepada zina. Tujuan larangan khalwat/mesum dalam pasal 3 disebutkan, antara lain; 1. Menegakkan Syariat Islam dan atau adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat di Propinsi Aceh; 2. Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan; 3. Mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina; 4. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan mesum/khalwat; 5. Menutup peluang terjadinya kerusakan moral. Tapi apa yang terjadi, berdasarkan data yang penulis peroleh, pada tahun 2009 di Banda Aceh terdapat sebanyak 91 kasus pelanggaran terhadap Qanun No.14 tahun 2003 tentang larangan mesum/khalwat ini. Sementara Qanun No.12 Tahun 2003 terdapat 18 kasus pelanggaran. Qanun No.11 tahun 2002 memiliki pelanggaran terbanyak yaitu sejumlah 810 kasus. Pada tahun 2010, Qanun No.14 tahun 2003 jumlah kasus pelanggaran semakin meningkat, yaitu sebanyak 156 kasus. Sementara Qanun No.11 Tahun 2002 terjadi kasus pelanggaran sebanyak 364 kasus.
Ini menandakan bahwa Qanun No.14 Tahun 2003 tentang larangan mesum/khalwat terus meningkat pada tahun 2010 yang lalu. Jika pada tahun 2009 terdapat 91 kasus, pada tahun 2010 meningkat menjadi 156 kasus yang berhasil diungkapkan oleh pihak berwajib (WH/Satpol PP). Ini bermakna bahwa penegakan qanun-qanun syariat Islam di Banda Aceh masih belum efektif. Khususnya jika meninjau Qanun No.14 Tahun 2003 tentang mesum/khalwat. Dengan kondisi seperti ini, apakah layak Banda Aceh disebut sebagai Bandar Wisata Islami?
Masukan untuk Bandar Wisata Islami
Fenomena yang penulis sebutkan di atas bukan berarti kita pesimis atau hanya melihat yang gagal saja dalam usaha membumikan ajaran Islam di Banda Aceh sekaligus menjadikannya sebagai Bandar Wisata Islami. Fenomena ini merupakan realita yang mesti kita lihat dengan kepala dan hati yang jernih. Mesti kita tulis apa adanya. Bahwa inilah pekerjaan-pekerjaan rumah kita hari ini yang mesti kita selesaikan secepatnya. Kita ingin Banda Aceh menjadi prototype atau kota percontohan bagi penegakan syariat Islam di Indonesia umumnya dan Aceh khususnya sehingga Banda Aceh layak mendapat julukan sebagai Bandar Wisata Islami.
Dan dengan demikian, untuk menuju Bandar Wisata Islami banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh Pemko Banda Aceh dan Pemerintah Propinsi khususnya, serta semua komponen masyarakat kota Banda Aceh umumnya. Pertama, menghidupkan Syiar Islam. Ini bisa dilakukan dengan menghidupkan majlis-majlis taklim di seluruh gampong yang ada di kota Banda Aceh. Membangun Aceh yang bersyariat harus dibangun kembali dari mesjid-mesjid atau meunasah. Hanya dengan menghidupkan kembali majlis taklim di setiap gampong syariat Islam akan kembali hidup. Karena syariat hanya akan dipahami dengan ilmu.
Kedua, merawat organisasi Islam. Gerakan Islam yang berakidah lurus harus senantiasa didukung agar terus lestari di Banda Aceh. Dengan eksistensi dan lestarinya gerakan-gerakan Islam tersebut, kita berharap agar mereka bisa mengimbangi atau bahkan mengalahkan dominasi gerakan-gerakan kiri yang memperjuangkan nilai-nilai Barat seperti sosialisme, kapitalisme, pluralisme agama, liberalisme, sekulerisme dan sebagainya yang faktanya pemikiran-pemikiran tersebut hanya menelurkan aliran sempalan seperti Millata Abraham.
Ketiga, Kampung Syariat Islam. Minimal salah satu gampong atau desa dalam wilayah Kota Banda Aceh mestilah bisa dijadikan rujukan bahwa benar Banda Aceh ini Bandar Wisata Islami. Gampong ini bisa didesain seislami mungkin. Untuk tahap pertama, bila perlu adakan perlombaan antar desa se-Banda Aceh untuk memilih desa manakah yang paling Islami. Dan tentunya, anggaran untuk pembinaan gampong-gampong Islami harus disediakan secara cukup. Sangat ironis jika di satu sisi anggaran untuk olahraga bisa dikucurkan sebanyak mungkin namun untuk bidang agama tidak begitu dianggap penting. Beberapa waktu lalu penulis mendapat informasi bahwa Kampung Beurawee akan dijadikan sebagai kampung percontohan syariat Islam dibawah kepemimpinan Bpk Saifuddin, Pjs Walikota Banda Aceh. Kita berharap program ini bisa diteruskan oleh walikota yang akan datang dan serta mengembangkan dan memperluasnya secara dinamis.
Keempat, revitalisasi situs-situs islam dan peninggalan musibah tsunami. Ini juga merupakan hal yang tidak kalah pentingnya. Makam Syiah Kuala dan sebagainya perlu didesaign seIslami mungkin untuk menarik minat wisatawan dan sekaligus membuat mereka tertarik kepada Islam. Pemko Banda Aceh tidak hanya memadai berharap Mesjid Raya Baiturrahman saja sebagai objek tujuan para wisatawan. Dan yang penting, jangan sampai di lokasi-lokasi tersebut justru menjadi ajang maksiat baru karena lemahnya kontrol WH akibat minimnya anggaran operasional mereka serta masih minimnya usaha pembinaan akidah masyarakat. Tentunya, semua ini hanya bisa diwujudkan dengan keinginan, tekad, ketersediaan anggaran yang memadai, serta keseriusan Pemko Banda Aceh sendiri.