Ada apa dengan 4 Desember? Apakah dunia bersuka atau berduka? Kenapa seakan ia tanggal yang sakral dan kerap dikenang bahkan dirayakan oleh sebagian orang Aceh? Bahwa dulu pernah ada seorang lelaki Tiro berdiri gagah di Gunung Tjokkan, Pidie, mengangkat senjata dan berjuang melawan ketidakadilan. Dan itu tidak bisa ditawar, meski ditukar dengan nyawa.
Tiga puluh delapan tahun sudah hari itu berlalu, sejak 1976. Masihkah ia berlaku sekarang? Kukuhkah semangat perjuangan itu dalam tindakan kita atau hanya menjadi masa lalu? Penting dan layakkah hal itu diungkit dan diingat, lalu diceritakan kembali kepada khalayak? Atau ia sekadar memoir dan seremonial saja? Dan sejumlah pertanyaan lain patut kita ajukan sekaligus menjawab sesuai pribadi masing-masing, khususnya orang Aceh.
Tgk. Hasan Muhammad di Tiro, sang proklamator dan wali nanggroe, memang telah tiada. Namun bekasnya tetap melekat. Selama ia masih tetap dibaca dan dituturkan kepada yang datang kemudian, ia dan GAM tetap akan dikenang dan memberi arti dan warna tersendiri. Bahwa Aceh pernah memiliki seorang proklamator dan pejuang-pejuang yang peduli kepada bangsanya –dan dengan rahmat Allah kemudian berakhir di meja runding dengan kata damai. Akan tetapi, perdamaian bukan tanda tangan (mengutip tag line buku Geunap Aceh, 2010).
Memperdebatkan Hasan di Tiro siapa yang punya, akhirnya, akan menggiring kita kepada diskusi panjang. Kita harus mengakui bahwa ia adalah milik semua orang yang terlibat secara langsung atau pun tidak (Saiful Mahdi, Geunap Aceh, 2010). Bukan hanya milik orang Aceh, dunia ikut memilikinya. Lihatlah bagaimana dunia belajar mendapatkan damai dan bangkit kembali pascakonflik dan Tsunami dari Aceh. Dan peringatan 4 Desember adalah peringatan perjuangan. Bukan peringatan separatis semata, apalagi teroris. Justru menjadi peringatan melawan ketidakadilan dan semangat membangun Aceh yang lebih baik (lagi). Jangan sampai ada yang (masih) belum tahu perjuangan dan GAM itu apa dan kenapa mesti ada? Jangan generasi setelah ini menjadi lost generations, generasi yang hilang, lupa akan sejarah. Sejarah memang membicarakan masa lampau, namun jangan lupa bahwa ia juga terhubung dengan masa sekarang dan yang akan datang.
Melalui tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa cukuplah darah bersimbah sewindu silam. Jangan ada lagi saudara memakan daging saudaranya sendiri. Ini zaman damai, bukan zaman edan, terlebih premanisme dan kanibalisme. Hedonisme akan menimbulkan kedengkian, kesenjangan dan akhirnya mencelakakan, seperti pernah termaktub dalam sejarah.
Damai
Urusan perut sebenarnya bukan urusan si pemilik perut semata. Setiap yang berperut mesti ikut peduli pada pemilik perut yang lain. Apalagi pemerintah dan pemimpin, merekalah pengendali perut dan isi perut. Jangan sampai saling memakan jatah perut, lalu semuanya saling sikut. Sumpah serapah akan menghiasi ruang dengar . Dan itu semua tidaklah enak untuk dinikmati. Hingga, Butir damai turunan MoU Helsinki pun akan luput, kala perut terlalu kenyang. Dan kita tak berharap 4 Desember kali ini akan berulang menjadi 4 Desember yang lain, yang dideklarasikan di Gunung yang lain. Damai sudah final. Titik.
Untuk mencapai damai yang lebih damai, kita mesti melihat persamaan dari setiap perbedaan, bukan mencari perbedaan dari setiap persamaan. Aceh adalah daerah multikultural dengan berbagai suku dan watak yang mendiaminya. Perjuangan demi Aceh adalah perjuangan kita semua, tidak hanya segelintir orang. Bahwa Aceh adalah milik kita bersama. Untuk itu, kita harus bangun bersama.
Masih banyak pekerjaan rumah yang mesti kita lakukan dan benahi bersama. Sudahi saja melihat drama di layar tv tentang koalisi lawan koalisi. Pun berhenti melihat Susi Puji Astuti yang bukan anak sekolahan. Saatnya berpatri bahwa kita tidak bisa move on kalau hanya diam dan menonton. Saatnya beraksi ketimbang berdiri atau berpangku tangan, atau mungkin ikut terbawa suasana yang kita sendiri belum paham.
Sekali lagi, 4 Desember tidak untuk kembali benci dan angkat senjata. Tapi untuk kembali bangkit dan berdiri di kaki sendiri dengan semangat nasionalisme. Memang, tidaklah mudah mencapai itu semua. Namun, kita janganlah terlalu larut dalam euforia damai dan mengelukan kejayaan di masa silam, hingga lupa arti dari kata damai itu sendiri. Salah satu indikator kita telah sukses adalah kita bisa hidup damai. Kesuksesan adalah bisa pergi tidur setiap malam dengan jiwa yang damai, begitu kata Paulo Coelho (2014. Dan bagaimana seseorang bisa nyenyak tidurnya kalau perut masih lapar?
Akhirnya, bulan Desember –sebenarnya– adalah bulan penuh kenangan dan introspeksi. Mengenang orang-orang yang telah mendahului kita. Di bulan ini pula, kita juga akan memperingati Tsunami 26 Desember 2004. Sebagai sebuah momentum dan kilas balik (introspeksi) bagi kita semua bahwa perjuangan tidak mengenal kata akhir. Wallahu alam bisshawab!