Memahami ‘identitas’ sama halnya dengan mempertanyakan, siapa kita sebenarnya? Secara psikologis, identitas adalah kemampuan, kepercayaan, sifat, tampilan fisik dan/atau penampilan yang membentuk individu atau kelompok (social group). Karakteristik yang membentuk identitas ini dapat berasal dari pengaruh sejarah, geografi, cara hidup dan tradisi. Singkatnya, dalam kajian ilmiah yang berbau neo (new: baru), terbentuknya identitas dipengaruhi oleh berbagai factor yang dikonstruksikan berbanding hadir dengan sendirinya (given), begitu pula halnya ketika identitas direkonstruksikan kembali.
Dalam masyarakat Aceh, identitasnya banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor beberapa diantaranya: (1) Aspek geografis Aceh yang strategis sebagai pintu masuk selat malaka. Sehingga dahulunya berdiri Kerajaan Aceh Darussalam yang berdaulat dan memiliki kekuatan besar dengan masyarakat plural (berbagai etnik, seperti Aceh[1], Gayo, Tamiang, Batak, Kluet, Aneuk Jamee, Simeulue, Singkel, Minang, Jawa, dan Bugis; atau dahulunya dikenal dengan berbagai kawom/sukee: Sukee Lhee Reutoh, Sukee Ja Sandang, Sukee Tok Batee, dan Sukee Imuem Peut) dan kosmopolit yang mengenal dirinya sendiri sebagai bangsa, bukan hanya etnik; (2) Terletak di iklim tropis dan lembab dengan tanah yang subur, namun akibat keberadaannya pada lempeng gempa dan jalur gunung berapi membuat Aceh menjadi wilayah rawan bencana; (3) Peran dayah (Islamic school) dan ulama yang begitu kental menjaga tradisi intelektualitas berdasarkan factor-faktor kosmologi dan spiritualitas serta aturan social dalam masyarakat. Sehingga tak heran hadirnya nilai-nilai islam dan adat sangat kental di Aceh, walaupun dalam perjalanannya eksistensi dayah juga tidak selalunya mulus; dan (4) Sejarah konflik bersenjata yang cukup panjang sejak Belanda mendeklarasikan perang terhadap Kerajaan Aceh pada tahun 1873 hingga keluarnya Belanda pada tahun 1942, kemudian berlanjut dengan pendudukan Jepang 1943-1945, perang Cumbok antara uleebalang dan ulama (1946), agresi militer Belanda (1945-1949), pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1953-1963, dan konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia sejak tahun 1876-2005, belum lagi munculnya beberapa sempalan (splinter group) paska 2005 seperti Gambit, Din Minimi atau Abu Rimba yang menggunakan senjata dan meresahkan masyarakat maupun Pemerintah. Sedikit banyak, identitas masyarakat Aceh cukup tergambar melalui berbagai faktor ini.
Hematnya, di satu sisi, banyak literatur yang menggambarkan bahwa masyarakat Aceh cukup kuat berdiri pada prinsip-prinsip Islam dan adatnya. Namun di sisi lain, pengalaman bencana dan intens-nya konflik yang terjadi di Aceh ternyata cukup besar mengikis perjalanan tradisi intelektualitas yang pernah ada, menghancurkan modal social (social capital) dalam masyarakatnya, serta kerap melahirkan rasa curiga (tak percaya) dan kewaspadaan, bukan hanya kepada orang lain namun juga ke atas sesamanya.
Dalam hal ini menurunnya nilai-nilai intelektualitas, ditambah lagi dengan kerapnya muncul rasa curiga, maka akan menghadirkan ‘bom waktu’ dalam masyarakat yang senantiasa dapat meledak sewaktu-waktu dan melahirkan konflik baru. Sehingga rekonstruksi identitas masyarakat dalam konteks transformasi konflik dari culture of violence akibat legacy of conflict kepada culture of peace menjadi penting pembangunan perdamaian di Aceh. Oleh karena itu, kebiasaan (kalau tak ingin disebut budaya) jeip kuphi serta kehadiran keude kuphi cukup mampu menjadi salah satu instrument dan platform yang dapat berkontribusi dalam rekonstruksi identitas masyarakat Aceh yang lebih damai (kalau tak ingin disebut pacifist).
Kopi dan jeip kuphi dalam lintasan sejarah
Jeip kuphi (Bahasa Aceh), terdiri dari dua kata, jeip yang berarti minum dan kuphi yang artinya kopi, atau bermakna ngopi atau minum kopi. Sebenarnya tidak ada yang spesial apabila hanya sekedar menikmati kopi. Tetapi, jeip kuphi tidak hanya sekedar minum kopi, namun juga berarti berkumpul, berdiskusi atau bersilaturahmi. Secangkir kopi akan terasa berbeda apabila dinikmati bersama teman maupun handai taulan di keude kuphi (baca: warung kopi). Hal ini yang telah melekat dalam benak dan (mungkin) menjadi budaya bagi sebagian besar masyarakat Aceh, terutama para kaum Adam. Namun begitu, budaya ngopi di Aceh juga telah merentas batas-batas gender, sehingga tak heran apabila menemukan kaum hawa pun kerap melakukan hal yang sama.
Sejatinya, Aceh memang dikenal dengan komoditas kopinya. Terdapat dua (2) varietas kopi yang lazim dapat ditemukan di Aceh, yaitu Robusta dan Arabika. Daerah penghasil robusta tersebar di seluruh bagian wilayah Aceh, sedangkan Arabika hanya ditemukan di bagian tengah Aceh, dataran tinggi Gayo (Kabupaten Aceh Tengah, Gayo Lues dan Bener Meriah).
Kopi Gayo merupakan varietas kopi arabika yang begitu terkenal, bahkan tersedia di berbagai coffee shop di seluruh dunia seperti Starbucks, Coffee bean, dsb. Sedangkan sajian kopi robusta cukup sering ditemukan di berbagai jengkal jalan (kecuali jalan setapak) di Aceh, sedangkan arabika tidak terlalu demikian karena harganya yang relative mahal. Namun begitu, tetap saja apabila dibandingkan dengan harga kopi Gayo yang disajikan di Starbucks (contohnya) di Malaysia maka harga segelas dapat berkisar antara RM 8-15 (±Rp.24.000, – Rp.45.000,-), sedangkan di Aceh hanya seharga tidak lebih dari RM 5 (±15.000,-), dan kopi Robusta tak lebih dari RM 3 (±Rp.9000,-). Maka wajar, standard rasa kopi masyarakat Aceh cukup tinggi dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka.
Tanaman kopi sejatinya berasal dari Ethiopia. Dahulunya digunakan sebagai suplemen yang mampu memberikan kembali tenaga bagi masyarakat tempatan sebelum abad ke 8 Masehi. Bahkan sebelumnya, biji kopi diberikan sebagai pakan ternak (Ukers, 1935). Namun, kopi dahulunya juga telah dikenal sebagai bahan perobatan. Al-Razy (Rhazes) dalam abad ke-9 pernah menyatakan beberapa manfaat kopi dalam perobatan. Begitu juga Ibnu Sina dalam kitabnya Qanun Al-Tib pada abad ke-10 yang menjelaskan bahwa kopi adalah “sebuah bahan perobatan yang berasal dari Yaman. Biji kopi yang baik bewarna kuning, ringan, dan harum. Sedangkan yang kurang baik bewarna putih dan berat. Fungsinya adalah menyegarkan dan memberikan kekuatan bagi tubuh, membersihkan kulit, dan mengeringkan permukaan kulit yang lembab, dan memberikan keharuman yang excellent bagi tubuh.” Namun, dalam tulisan kedua ahli tersebut, penyebutan kopi tidak tertulis layaknya dalam bahasa arab (qahwa yang berarti kekuatan), melainkan ‘bunc’ yang bermakna kopi dalam bahasa Ethiopia (Zaimeche, 2003). Dengan kata lain, kopi telah dikenal sejak peradaban Islam berkembang, yang berasal dari Ethiopia.
Namun, beberapa literature juga menyatakan bahwa di Yaman-lah kopi pertama kali diproses (dikeringkan dan roasting) sehingga disajikan dalam bentuk minuman. Tetapi ada pula argumen yang menyatakan bahwa kopi sebagai minuman telah popular di Persia, sebelum ianya tiba di Yaman (John, 1774). Di Yaman, kopi mulai digunakan oleh para sufi dalam membantu mereka untuk tetap terjaga saat melakukan ibadah di malam hari. Penyebaran kopi hingga sampai ke Mekkah dan Turki berkisar pada abad ke 15 (Zaimeche, 2003).
Dalam banyak kajian sejarah, kemudian kopi kemudian menyebar ke Eropa hingga ke Belanda. Dan dari sini, kopi masuk pertama kali ke Indonesia bersamaan dengan dimulainya penjajahan Belanda pada abad ke 17. Artinya, rentang waktunya berkisar dari 1942 hingga 350 tahun ke belakang. Namun berbeda halnya dengan Aceh dimana Belanda baru mampu merebut Kesultanan Aceh dalam kurun waktu 1911-1942 atau hanya sekitar 30 tahun. Dan yang perlu dipahami adalah Aceh telah memiliki interaksi yang cukup intens dengan peradaban Islam sejak abad ke 10 Masehi dimana pedagang-pedagang Arab (muslim) datang dan menatap di Aceh, termasuk para sufi dari Yaman. Maka tidak tertutup kemungkinan kopi telah datang ke Aceh jauh sebelum Belanda datang menaklukkan Kesultanan Aceh. Mungkin untuk membuktikan asumsi ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Namun yang perlu dipahami adalah budaya jeip kuphi telah lama hadir di Aceh. Sebuah kata-kata terakhir dari Teuku Umar, salah seorang pahlawan Aceh sebelum melakukan pertempuran terakhirnya melawan Belanda di Meulaboh, Aceh Barat, pada tanggal 11 Februari 1899, “Beungoh singoh geutanyoe jeip kuphi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid” yang artinya “besok pagi kita akan minum kopi di pasar Meulaboh atau saya akan syahid.” Dalam hal ini jelas bahwa budaya jeip kupi telah hadir sebelum Belanda mampu menaklukkan Kesultanan Aceh pada tahun 1911.
Namun, budaya jeip kuphi kemudian terkikis akibat konflik berkepanjangan yang terjadi di Aceh. Bukan hanya itu, ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945 dan Aceh menjadi bagian di dalamnya, Pemerintah Pusat baik pada era Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, menetapkan kebijakan yang represif (militeristik) demi mengontrol Aceh dan masyarakatnya. Dalam masa itu “dinding warung kopi pun seolah-olah dapat mendengar”[2] dan memberikan ancaman yang nyata bagi masyarakat. Sehingga, budaya diskusi, berkumpul, bahkan bersilaturahmi terkikis hingga ke akar-akarnya. Maka tak heran, apabila saat itu (1945-2005) keude kuphi yang semestinya mampu menjelma sebagai ruang publik atau platform dalam interaksi social tak berfungsi dengan baik.
Namun, berbeda halnya setelah perjanjian perdamaian 2005 (MoU Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia) dan paska tsunami 2004. Keude kupi bertransformasi menjadi ruang publik yang efektif dalam berkumpul, berekspresi, berdiskusi dan bersilaturahmi, terutama dalam konteks mengrekonstruksikan identitas masyarakat Aceh.
Keude Kuphi dan Ruang Publik: Platform Rekonstruksi Identitas ke-Aceh-an
Keude kuphi berarti warung kopi atau kedai kopi dalam bahasa Indonesia. Ianya adalah tempat dimana kopi yang telah diproses sedemikian rupa dan dijadikan sebagai menu utama – yang umumnya minuman – disajikan kepada pelanggan warung. Warung kopi dapat ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia, tetapi warung kopi di Aceh memiliki keunikannya tersendiri. Lantas pertanyaannya, bagaimana keude kupi mampu menjadi ruang publik yang mampu merekonstruksi identitas masyarakat Aceh dalam rangka bertransformasi dari budaya kekerasan (culture of violence) kepada budaya damai (culture of peace)?
Secara teoritis, ruang public berarti sebuah ruang social dimana anggota masyarakat (individu) mendiskusikan segala sesuatu yang terkait dengan kepentingan bersama dan membentuk opini public yang terkait dengan hal tersebut. Individu tersebut saling bertukar pendapat dan prinsip-prinsip yang dapat diterima sehingga menciptakan identitas kolektif yang berangkat dari pemahaman di antara mereka. Komunikasi public ini dapat terjadi secara langsung (diskusi tatap muka) maupun tidak langsung (melalui media massa atau media social). Betapa pentingnya ruang public bukan hanya karena memiliki potensi untuk menciptakan opini public, namun juga dapat meng-(re)-produksi budaya kolektif dan integrasi dalam masyarakat (Nanz, 2007).
Lagipula, ruang publik juga mampu mengrekonstruksi identitas. Ianya cenderung membangun identitas masyarakat daripada individu. Namun berbeda halnya dengan masyarakat homogen, ruang public mampu mengakomodasi masyarakat plural yang heterogen dan mendorong terjadinya interaksi yang luas atas budaya dan identitas social. Juga berbeda halnya dengan ‘budaya’ yang cenderung mengekslusifkan diri dengan budaya lain, atau hegemony kekuasaan yang bersandar pada otorita public. Ruang public merupakan ruang yang terbuka, tanpa batasan, bebas dari intervensi budaya yang ekslusif maupun hegemony hierarki (Nanz, 2007).
Lebih tegasnya menurut Calhoun, identitas dikonstruksi dan dire-konstruksikan dalam ruang public, sehingga ianya membuka kesempatan bagi identitas untuk selalu berubah (Calhoun, 2002). Namun, dalam konteks rekonstruksi identitas, ianya dibangun dengan pondasi interaksi social dengan referensi yang sama dan kuat, namun tidak menutup kemungkinan untuk diperdebatkan. Dalam pola komunikasi yang lazim, selalu ada unsur kontestasi bagaimanapun sifatnya sehingga boleh saja mengarah kepada consensus ataupun tidak (Habermas, 2007).
Nah, dalam hal ini terdapat hubungan antara ruang public secara teoritis dan keude kupi sebagai platform dalam merekonstruksi identitas masyarakat Aceh. Keude kupi dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Aceh telah hadir sejak zaman Kesultanan Aceh Darussalam sekitar abad ke-16 atau 17. Dahulunya keude kuphi didirikan dan dikelola oleh orang-orang Cina yang menetap di sekitar kota pelabuhan. Minuman kopi disajikan bagi para pekerja pelabuhan (kuli barang) dan keude kuphi layaknya tavern dalam perjalanan Amerika di masa colonial (Struzinski, 2002), juga dijadikan tempat menerima informasi yang terkait dengan daerah sekitar, baik politik, sosial maupun ekonomi. Dari sini tradisi keude kuphi menyebar ke seantero Aceh, dan mayoritas pemilik keude kupi adalah etnis Cina.
Dalam perjalanannya, keude kuphi lambat laun menjadi bagian dari budaya Aceh. Setelah kemerdekaan Indonesia, keude kuphi sudah hadir diberbagai pelosok Aceh. Namun, ianya bertransformasi menjadi salah satu platform ruang public – platform lainnya dapat berupa mesjid, balee dan juga meunasah (Mujib, 2014) – dimana warga gampong[3] berkumpul, berinteraksi dan menerima informasi baik dari dalam kumpulannya maupun yang berasal dari luar. Namun dalam periode ini hingga 2005, terdapat batasan tak terlihat (invisible restriction) dalam sebagian besar pikiran masyarakat Aceh saat itu akibat kondisi politik yang repressif yang menimbulkan personal insecurity apabila membicarakan tentang hal-hal yang berbau mengkritik Pemerintah. Dalam masa itu, momok mata-mata Pemerintah (Government spy/Cuak) sama sekali tak terlihat karena telah menyatu dengan masyarakat. Singkatnya, sejak Aceh berintegrasi dengan Indonesia pada awal kemerdekaan hingga perjanjian damai dengan GAM (1945-2005), Pemerintah pusat senantiasa menaruh rasa curiga dan – salah satunya – menggunakan intelligence operation untuk menghadirkan kontrol social, bahkan extrajudicial-killing kerap dilakukan untuk menciptakan shock-therapy ke atas masyarakat Aceh. Sehingga, masyarakat cukup enggan untuk berkumpul dan berinteraksi sesama mereka sendiri, karena akan munculnya rasa curiga. Tak heran, modal social (social capital) di dalam masyarakat Aceh juga ikut terkikis.
Barulah, ketika perdamaian hadir pada 2005 yang beriringan dengan terjadinya Gempa bumi dan tsunami Desember 2004, perlahan keadaan tersebut kemudian berubah. Dimulainya kerja-kerja rekonstruksi dan rehabilitasi paska tsunami dan konflik memberikan angin segar dalam menghadirkan kembali budaya berkumpul dan berinteraksi dalam masyarakat Aceh, bahkan lebih bebas dan kritis daripada kondisi sebelumnya. Modal social yang dahulunya rusak dapat dibangun kembali. Tradisi intelektualitas yang dahulunya disekat dalam politik sungkup Pemerintah pusat juga dapat dikembangkan kembali. Hal ini menjadi sebuah kabar baik untuk mengrekonstruksi identitas Aceh yang telah lama hilang. Tak dapat disangkal bahwa keude kupi memainkan peranan yang besar sebagai ruang public yang mengakomodir rekonstruksi identitas ini. Terutama di kota-kota besar di Aceh, seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, Sigli, Meulaboh, Langsa, Bireun, Takengon, dsb., keude kuphi telah dikemas dalam desain dan arsitektur menarik bergantung pada konsep yang ditawarkan kepada pelanggan. Ada yang dilengkapi dengan wi-fi, layar lebar untuk menonton televise atau siaran bola, tersedinya menu kopi arabika dan robusta, dengan konsep tradisional, menyajikan berbagai menu makanan yang menarik lainnya, dan ada pula yang berada di tengah kebun kopi. Keude kuphi lazimnya menyajikan kopi hitam, kopi susu dan sanger[4], baik panas maupun dingin. Dan khususnya di Banda Aceh, Lhokseumawe, Meulaboh dan Langsa, keude kupi telah menjelma menjadi ruang publik dengan batasan ideology yang minim, bebas dari intervensi budaya yang ekslusif maupun hegemony hierarki. Hal ini pula didukung oleh hadirnya berbagai institusi pendidikan tinggi yang terdapat di kota-kota tersebut. Sehingga, keude kuphi juga berfungsi sebagai platform dalam pembangunan tradisi intelektualitas.
Dalam keadaan seperti ini, keude kuphi kembali bertransfomasi lebih jauh daripada sekedar ruang publik bagi masyarakat gampong, bahkan menjadi platform bagi masyarakat Aceh keseluruhan terutama di wilayah-wilayah urban. Keude kuphi menyediakan ruang untuk berkumpul, berinteraksi, serta menerima informasi. Bahkan saat ini, keude kuphi menjadi tempat transaksi bisnis, belajar, diskusi public, pementasan seni kreatif, dan berbagai kegiatan lainnya. Sehingga, hal ini mampu memperbaiki modal sosial, serta membangun kembali tradisi intelektualitas yang telah lama terganggu oleh konflik berkepanjangan. Oleh karena itu, lunturnya rasa curiga dan meningkatnya tingkat intelektualitas masyarakat mampu menjadi modal utama dalam mentransformasikan masyarakat dari budaya kekerasan (culture of violence) kepada budaya perdamaian (culture of peace). Sehingga, cycle of conflict yang selalu terjadi dalam 100 tahun ke belakang ini di Aceh tidak terulang lagi di masa depan.
Kesimpulan
Dalam perjalanan sejarah Aceh, jeip kupi dan keude kupi telah menjadi kebiasaan yang dekat dengan budaya masyarakatnya. Hal ini juga tidak lepas dari fakta bahwa Aceh merupakan salah satu penghasil kopi terbaik di dunia. Namun, intens-nya konflik dan kondisi politik yang represif selama 100 tahun ke belakang telah mengikis modal social, serta tradisi intelektualitas dalam masyarakat Aceh, begitu pula dengan kebiasaan jeip kuphi dan keude kuphi yang tidak luput dari pengaruh negative-nya.
Namun ketika MoU Helsinki 2005 hadir, hal ini merubah kondisi politik Aceh secara drastis. Aceh memulai lembaran baru dalam konstelasi social, ekonomi dan politiknya yang lebih damai tanpa kekerasan. Sehingga, kebiasaan jeip kuphi dan keude kuphi tumbuh berkembang seiring tuntutan masyarakat yang ingin keluar dari sekatan-sekatan masa konflik, salah satunya larangan berkumpul, berdiskusi, dan feeling of insecure ketika mengkritisi Pemerintah. Belakangan, kedua kebiasaan ini mempengaruhi berbagai lini kehidupan masyarakat Aceh kontemporer, salah satunya menjadi instrument dan platform dalam mengrekonstruksi identitas ke-Aceh-an yang telah terkikis oleh berbagai sebab, terutama akibat konflik dan kondisi yang represif. Dan dalam pandangan penulis, kedua kebiasaan ini (lagi, kalau tak ingin disebut budaya) cukup mampu mengrekontruksi identitas masyarakat dengan memperbaiki terkikisnya modal social serta membangun kembali tradisi intelektualitas. Yang pada akhirnya dapat menjadi modal dalam mentransformasikan budaya kekerasan (culture of violence) kepada budaya damai (culture of peace) demi pembangunan perdamaian yang berkelanjutan.
Endnotes:
[1] Aceh sebagai etnik dipercaya merupakan masyarakat yang telah berasimilasi antara Arab, Cina, Eropa, Hindia, Melayu, Siam, dsb.
[2] Kata-kata ini begitu kerap terdengar di kalangan para aktifis HAM ketika berbicara Aceh sebelum 2005. Lazimnya, individu yang membicarakan tentang kebijakan represif Pemerintah di keude kupi atau ruang public lainnya akan menjadi target dari militer atau aparat keamanan (kepolisian), dan rentan terhadap kriminalisasi, penyiksaan bahkan penghilangan paksa (extra-judicial killing)
[3] Gampong adalah sebutan untuk kampong di Aceh.
[4] Sanger adalah salah satu minuman kopi yang khas di Banda Aceh. Dahulunya ia dipopulerkan oleh para mahasiswa perguruan tinggi di Banda Aceh (Universitas Syiah Kuala dan Institut Islam Negeri Ar-Raniry) pada tahun 1970-1980an. Sanger adalah campuran antara kopi, sedikit gula dan sedikit susu. Istilah sanger merupakan singkatan dari “sama-sama ngerti” (mutually understanding). Minuman ini lebih murah daripada kopi susu (coffeemilk ) yang lebih mahal.
References
Calhoun, C. (2002). Imagining Solidarity: Cosmopolitanism. Constitutional Patriotism, and the Public Sphere. Public Culture, XIV(1), 147-171.
Habermas, J. (2007). Ruang Publik: Sebuah Kajian tentang Kategori Masyarakat Borjuis. (Y. Santoso, Trans.) Yogyakarta.
John, E. (1774). An Historical Account of Coffee with Engraving, and Botanical Description of the Tree: To Which are Added Sundry Papers Relative to its Culture and Use, as an Article of Diet and of Commerce. London: Edward and Charles Dilly.
Mujib, I. (2014). Kebangkitan Lokal di Aceh: Pembentukan Identitas Keacehan, Reaktualisasi Ruang Publik dan Penguatan Kearifan Lokal Paska Konflik dan Tsunami. Harmoni: Jurnal Multikultural & Multireligius, XIII, 20-36.
Nanz, P. (2007). Multiple Voices: An Interdiscursive Concept of European Public Sphere. Oslo: ARENA, University of Oslo.
Struzinski, S. (2002). The Tavern in Colonial America. The Gettysburg Historical Journal, 27-38.
Ukers, W. H. (1935). All About Coffee. New York: The Tea & Coffee Trade Journal Company.
Zaimeche, S. (2003). The Coffee Trail: A Muslim Beverage Exported to the West. Manchester, UK: Foundation for Science Technology and Civilisation.