Kisah hidup Juli Klisnawati sebagaimana diberitakan harian Serambi Indonesia bernasib tragis, ia bunuh diri menjerat lehernya akibat dipaksa bercerai dengan suami (Serambi Indonesia, 31 Januari 2017). Kasus ini mewakili seribu satu kasus di Aceh baik yang terekam media atau tidak. Perihal ini menjadi tanda bahwa aroma rumah tangga sebagian generasi di Aceh sudah dalam keadaan darurat. Ditambah lagi dengan data-data Mahkamah Syariah yang saban hari angka-angka perceraian terus meningkat.
Memahami benar apa hakikat dari sebuah pernikahan adalah keniscayaan. Dimulai dari proses ta’aruf tentang bagaimana batas-batas ta’aruf. Generasi muda Aceh terkadang sering latah mengambil kesempatan lewat ta’ruf, kegagalan memanfaatkan dengan benar alat-alat komunikasi menjadikan nilai ta’ruf yang sakral itu tak bernilai. Generasi muda lalu terjerumus dalam dunia pacaran, sehingga sederetan kasus negatif dari pacaran terus menghiasi media-media Aceh.
Jika kita kembali ke masa Siti Nurbaya misalnya tentu sudah tak relevan lagi, tetapi harus diakui sistem perjodohan yang dilakukan pada zaman dulu sangat banyak nilai-nilai positifnya, tipikal wanita Aceh sebenarnya adalah tipe yang sangat setia kepada suaminya walaupun ditinggal bertahun-tahun dalam urusan perdagangan. Husaini Hasan tokoh Aceh di Australia mencatat dengan apik tentang ini dalam bukunya Dari Halimon ke Swedia.
Kehadiran orang tua sebagai pengayom dianggap penting sebagai langkah preventif. Ta’aruf tak juga dilakukan berlama-lama, istilah saling menghargai antar dua pihak dalam menyamakan visi juga tak boleh abai. Ta’aruf juga berkait dengan usia masing-masing calon pasangan, prinsip saling menyeimbangi harus dilihat dalam fase ini.
Kasus-kasus perceraian banyak menimpa pasangan muda yang belum matang untuk membina rumah tangga, walaupun dalam fikih klasik sendiri tak mengatur tentang batas usia menikah. Konsep mitsqan ghaliza harus benar-benar dipahami, bahwa ikatan kuat antara dua pasangan ini diikat dengan perjanjian kepada Allah apatah lagi melibatkan dua keluarga besar, bahkan dibalut dengan prosesi walimah dimana seluruh kolega turut hadir mendoakan kebahagian. Lalu bagaimana bisa dengan segala pengorbanan suci itu dengan mudahnya pasangan berpisah. Sebuah pengkhianatan kemanusiaan yang luar biasa.
Pemenuhan hak dan kewajiban antar pasangan mesti berjalan seimbang, permasalahan ini jika tak benar dijalankan akan berdampak krusial. Kasus-kasus empiris menandai sebuah gejala akut dimana para suami abai dengan kewajibannnya sebaliknya terlalu fokus dengan hak-haknya.
Fenomena suami duduk berleha-leha di warung kopi lalu para istri membanting tulang di sawah adalah sebagian jenis kasus yang tengah berjalan di Aceh. Padahal berumah tangga itu didasari unsur saling berkasih sayang dan tolong menolong. Pengadilan benar ketika memberikan ruang mediasi antar pasangan yang ingin bercerai supaya jangan melakukan hal yang dibenci Allah ini.
Pengertian pernikahan harus dipahami kembali oleh generasi muda yang saat ini tengah mempersiapkan diri adalah bukan hanya usaha bersenang-senang dengan pasangan. Fikih Klasik juga tak salah manakala mendefenisikan nikah dengan mengusung makna bersenang-senang bersebab pada fase dahulu laki-laki dan kaum hawa memiliki kualitas pribadi yang tinggi.
Semangat yang diusung Alquran (An-Nur; 32) bahwa pernikahan itu akan mengayakan sesorang jelas terbukti, baik kekayaan dalam makna kemudahan dalam hidup, kekayaan dalam makna kaya akan pengalaman hidup bersama. Kekayaan jiwa yang bermakna kita sudah semakin matang dalam hal mengolah dan mengatasi konflik rumah tangga.
Kekerasan rumah tangga (KDRT) adalah diantara faktor besar sebuah rumah tangga tak terselamatkan lagi. Salah satu alasan terjadinya KDRT ini adalah faktor ekonomi sehingga suami melampiaskan (peusakhop) kepada istrinya. Ketidakmampuan mengelola emosi sehingga menjadi tindak kekerasan rumah tangga telah diulas dalam sudut pandang psikologi oleh Korsbeg bahwa ada empat tipe kekerasan rumah tangga; phisical abuse, psychological abuse, material abuse, dan violation of right. (Korsbeg, 1984).
KDRT selanjutnya akan menyebabkan perkembangan anak menjadi negatif. Tujuan agar tercapainya sakinah, mawaddah wa rahmah tak lagi tercapai sehingga istri akan menggugat cerai suaminya. Ini yang perlu kembali dipahami para suami tentang bagaimana memuliakan istri. Memperlakukan istri sebagai sahabat dan bersikap romantis adalah sebuah laku yang telah dipraktekkan para kaum shalih terdahulu. Sehingga akan lahirlah sebuah kesatuan masyarakat terkecil yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Pendidikan tentang pernikahan tak cukup ketika prosesi akad hampir dilakukan, jauh sebelum itu pendidikan tentang menyelamatkan rumah tangga harus dibina, ulasan-ulasan akan kitab fikih klasik ahwal syakhsiyah harus bernas. Prinsip keterbukaan dan kesetiaan kepada sang istri harus diusung dalam menyelamatkan rumah tangga, naïf ketika di satu sisi kaum agamawan sendiri telah melecehkan hal-hal sakral dimaksud.
Aceh hari ini terus dipantau dunia tentang bagaimana pelaksanaan nilai-nilai Islam diekpresikan oleh masyarakatnya. Membina dan menyelamatkan rumah tangga adalah suatu hal besar yang mempengaruhi peradaban Aceh masa depan, dimana keluarga menjadi bagian penentu dalam kesuksesan sebuah masyarakat besar (Fathullah Gulen, 2015). Kita mengajak kepada semua untuk kembali belajar menjadi suami dan istri idaman dan terus meningkatkan kualitas rumah tangga, sehingga menjadi rumah tangga bahagia dunia dan akhirat.
Azmi Abubakar [Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo. Mahasiswa Pasca Sarjana Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry. Email: azmiabubakarmali@gmail.com]
Luar biasa ya, Wanita aceh sudah terkenal akan kesetiaan yg begitu besar terhadap suaminya, semoga rumah tangga kita selalu diberikan keberkahan dan dijauhkan dari yg namanya perceraian