Seiring berjalannya hidup masyarakat yang terus berkembang kebutuhan akan terus meningkat pula.Dalam usaha untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup tanah mutlak dibutuhkan oleh setiap manusia tanpa kecuali. Bagi kehidupan dan penghidupan manusia menurutI.B. Cohonseperti dikutip oleh Iman Sudiyat bahwa tanah merupakan condition sine quo nonseperti halnya udara yang kita hirup (Iman Sudiyat,1992:7)
Kebutuhan akan tanah terlihat jelas dalam berbagai sektor yaitusektor pertanian dan perkebunan, perindustrian, dan tanpa kecuali sektor pemukiman sebagai tempat tinggal setiap manusia di muka bumi. Jelaslah bahwa tanah mempunyai nilai ekenomis yang tinggi sehingga sering diperebutkan oleh setiap orang.
Di Provinsi Aceh khususnya wilayah Barat Selatan yaitu Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Subussalam dan Aceh Singkil merupakan daerah yang rawan konflik dan sengketa pertanahan yaitu konflik tanah HGU dengan tanah garapan masyarakat. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa di Nagan Raya ada konflik tanah antara PT. Surya Panen Subur, PT. Kalista Alam, PT Agro Sinergi Nusantara, PT. Fajar Baizury & Brothers dan PT. Wiratako Meulabohdengan kelompok masyarakat di Kecamatan Darul Makmur, Tadu Raya, dan Kuala Pesisir. Di Aceh Barat baru-baru ini ada konflik antara PT Agro Sinergi Nusantara dengan masyarakat Gampong Teumarom, Gampong Jawi Kecamatan Woyla dan Gampong Lung Baro Kecamatan Sungaimas. Sedangkan di Aceh Singkil ada konflik PT. Ubertracon/Nafasindo dengan masyarakat setempat terhadap penguasaan tanah HGU.
Diantara berbagai kasus di atas ada beberapa diantaranya sudah berhasil diselesaikan dengan cara musyawarah(win-win solution)dengan membayar ganti rugi (ganto peunayah) kepada masyarakat penggarap. Selebihnya ada yang sedang diupayakan penyelesaian melalui jalur musyawarah dan negosiasi untuk mendapatkan kesepakatan bersama. Dan yang menarik ada kasus yang sudah dilakukan beberapa upaya penyelesaian, namun tidak selesai karena tidak ada kesepatan bersama. Pertama, sengketa tanah yang terjadi sejak Tahun 1999 antara PT. Kalista Alam dengan masyarakat Dusun Melati Gampong Krueng Seumanyam. Kedua, sengketa tanah garapan yang digarap sejak tahun 1990 oleh Kelompok Tani Makmue Mulia Gampong Geulanggang Gajah dan Kaye Unoe dengan PT. Surya Panen Subur, sengketa ini sudah mencuat dan dilakukan aksi protes oleh warga sejak Tahun 2008.
Jika merujuk pada konstitusi Negara: UUD 1945 tepatnya Pasal 33 ayat (3) ditegaskan dengan jelas bahwa: Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk Kemakmuran Rakyat.Dalam konsep Negara kesejahteraan,tentunya Negara sebagai pemerintah wajib menjamin agar kemanfaatan tanah yang dikuasainya dapat terselenggara dengan baik agar membawa kesejahteraan bagi rakyat, yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam Pancasila adil dan beradab. Lebih lanjut, Ramesh Mishra seperrti dikutip Djauhari menyatakan Negara Kesejahteraan (welfare state) adalah adanya suatu tanggung jawab Negara terhadap kesejahteraan Warga Negara yang meliputi intervensi ekonomi pasar, kebijakan ketenagakerjaan dan pelayanan kesejahteraan (Djauhari, 2006 : 29,).
Dengan penegasan Pasal 33 ayat (3) tersebut seyogianya pemerintah baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota sudah seharusnya bersikap tegas, arif dan bijaksana terhadap pengelolaan sumber daya tanah yang adilsehingga manfaat dan fungsi tanah dapat dirasakan oleh masyarakat menuju kemakmuran sebagai bentuk implimentasi konsep Negara Kesejahteraan dan isi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Faktor Terjadinya Sengketa.
Ada empat faktor terjadinya konflik dan sengketa tanah HGU dengan Tanah Garapan Masyarakat. Pertama,Tanah diterlantarkan. Ada tanah HGU yang jangka waktunya masih berlaku,tetapi tanahnya belum habis dikerjakan semuanya oleh pemegang hak sehingga tanahnya terlantar. Dan masyarakat yang beranggapan bahwa tanah itu merupakan tanahyang dikuasai Negara melakukan penggarapan untuk dijadikan lahan bercocok tanam demi memenuhi kebutuhan hidup. Dalam hal ini, pemegang HGU mempunyai alasan klasik mengapa tanahnya terlantar yaitu karena konflik GAM-RI yang berkepanjangan sehingga pihaknya tidak berani melanjutkan proyek perkebunannya.
Kedua,hilangnya Patok Batas. Dengan hilangnya patok batas HGU maka ada dua kemungkinan yang bisa terjadi yaitu tanah HGU yang digarap masyarakat atau tanah masyarakat yang digarap oleh pemegang HGU/perusahaan. Misalnya dengan adanya garapan oleh masyarakat yang sudah relatif lama mengelola tanah tersebut maka masyarakat merasa bahwa tanah sudah menjadi haknya.
Ketiga,faktor Ekonomi.Dari zaman dulu hingga sekarang tanah memang sering diperebutkan oleh setiap orang karena nilai ekonomis yang semakin hari semakin tinggi, apa lagi dari hari ke hari harga tanah dipasaran semakin meningkat.Jadi tidaklah heran, hampirseluruh tanah kosong yang dikuasai langsung oleh Negara di Aceh sudah menjadi tanah HGU dan tanah pertanian/perkebunan masyarakat.
Keempat, faktorsempitnya Lahan Masyarakat.Akhir-akhir ini masyarakat di Provinsi Aceh banyak mendapat bantuan dari pemerintah. Bantuan tersebut berupa bibit-bibit tanaman perkebunan seperti bibit sawit, karet, dan kayu jati. Sedangkan sebagian masyarakat tidak mempunyai tanah untuk menanam bibit bantuan tersebut, yang pada akhirnya menggarap tanah hutan yang menurut mereka belum ada pemiliknya.
Selain itu, menurut Rusmadi Muradmasalah sengketa tanah timbul sebagai akibat dari pada ketimbangan dan kecemburuan sosial dalam pemilikan tanah antara masyarakat dengan perusahaan, sehingga mendorong masyarakat untuk menyerobot tanah yang bukan miliknya. Penyerobotan sering terjadi pada tanah kosong atau tanah yang terlantar (2007 : 79-80, Rusmadi Murad).
Ketegasan Pemerintah Daerah.
Pemerintah harus memberikan sanksi administratif kepada perusahan-perusahan pemegang HGU yang tidak taat hukum. Terhadap tanah HGU yang patok batasnya hilang, pemerintah membuat kebijakan untuk mengukur ulang tanah-tanah HGU. Mengecek ulang data/luas tanah yang ada pada sertifikat HGU dengan data fisik tanah dilapangan. Setelah diukur ulang, kemudian membuat patok batas yang lebih kuat dan tahan lama.
Jadi, hemat penulis penyelesaian sengketa tanah HGU vs Tanah Garapan Masyarakat ini harus dilakukan secara komprehensif oleh pemerintah agar tidak berakibat pada gangguan, tindakan anarkis dan kriminal sehingga kemanfaatan tanah bernar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat.