Teurimong Geunaseh dan Alhamdulillah

0
3752
Teurimong Geunaseh dan Alhamdulillah

Artikel ini bermula dari kerisauan akademik yang telah bercokol cukup lama dalam hati dan pikiran saya. Penyulut kerisauan itu adalah sebuah pertanyaan dari teman sekelas semasa mengambil kuliah S2 di UGM Yogyakarta lebih dari satu dasawarsa silam. Si teman yang berasal dari suku Jawa itu menyoal: “Bang, benarkah orang Aceh tidak mengenal terima kasih?” Waktu itu saya menjawab: “Kami orang Aceh sangat tahu cara berterima kasih, tetapi memang kebudayaan kami tidak mengenal kata terima kasih. Sebagai pengganti ucapan terima kasih atas setiap pemberian yang diterima, kami mengucapkan alhamdulillah”.
Ketika Nanggroe Aceh dikerumuni oleh ribuan orang asing dari pelbagai belahan dunia sebagai rangkaian dari efek tsunami, beberapa orang di antara mereka juga bertanya kepada saya mengenai ungkapan dalam bahasa atau budaya Aceh yang ekuivalen dengan kata thank you. Saat itu pun saya jawab: “alhamdulillah”.
Ternyata, soal ungkapan terima kasih dan alhamdulillah ini telah dijawab oleh pakar sosiolinguistik Unsyiah, Dr. Bukhari Daud, M.Ed, dalam sebuah seminar yang berlangsung di Universtas Oslo, Norwegia pada 18 Nopember 2005 detikcom (20/11/2005). Menurut Dr. Bukhari, ucapan terima kasih memang tidak dikenal dalam kebudayaan Aceh. Apabila orang Aceh mendapat pertolongan atau menerima hadiah, mereka akan mengucapkan alhamdulillah. Bagi orang Aceh, rasa terima kasih atas pemberian atau bantuan orang lain tidak diungkapkan melalui kata-kata, tetapi melalui tindakan nyata. Artinya, jika seseorang berbuat baik kepada orang Aceh, maka orang Aceh akan membalasnya dengan lebih baik lagi.
Pemaparan Bukhari Daud dalam seminar di Oslo tersebut tidak tersampaikan secara meluas ke tanah air. Faktanya, isu yang menyatakan “orang Aceh tak mengenal kata terima kasih”, bahkan kemudian mengalami distorsi menjadi “tak tahu berterima kasih”, kian merebak dan mencapai klimaks dalam masa rehab-rekon pasca musibah tsunami.
Barangkali, sebagai upaya merespon isu tersebut, tiba-tiba, entah siapa yang memulai dan darimana asalnya, di lisan orang Aceh lazim terdengar ucapan teurimong gaseh atau teurimong geunaseh apabila mereka mendapatkan sesuatu dari orang lain, baik berupa materil maupun immateril. Ucapan ini mulai kayem terdengar sejak komunitas sipil berada “di atas angin” dalam fase konflik bersenjata di Aceh. Pada masa itu, eforia keacehan membuncah dan membumbung ke udara, laksana letusan mercon pada malam Imlek di Pulau Pinang. Simbol-simbol budaya yang menunjukkan identitas diri sebagai orang Aceh digunakan secara massif. Bahkan, pengendara sepeda motor telah mengganti topi pengaman (helm) dengan kupiah. Pendek kata, segala macam benda yang dipakai dan lafal yang diucapkan harus “berbau” Aceh.

Saya sendiri masih belum dapat menerima ucapan teurimong gaseh atau teurimong geunaseh sebagai pengganti ungkapan terima kasih, sehingga saya tak pernah sekalipun menggunakan kata itu dalam berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Bagi saya, kata tersebut merupakan refleksi dari kegalauan sosial dan kegoncangan identitas si penuturnya.

Kegalauan sosial yang saya maksudkan di sini adalah rasa galau yang berlebihan terhadap hujatan dari orang lain yang menyatakan bahwa budaya Aceh tak mengenal kata “terima kasih” atau bahkan tak pandai berterima kasih. Untuk mengatasi kegalauan tersebut, maka diciptakanlah satu istilah lokal yang bisa sebangun maknanya dengan terima kasih. Ironinya, istilah yang dilahirkan itu merupakan terjemahan lafdhiah dari kata “terima kasih” itu sendiri: terima = teurimong; kasih = gaseh. Lebih konyol lagi, ketika kata gaseh itu kemudian diganti menjadi geunaseh, yang berarti kekasih hati atau orang yang paling kita sayangi; maka secara harfiah, teurimong geunaseh bermakna terima kekasih. Sungguh, sebuah ungkapan rancu yang tidak dibangun di atas pondasi sosio-linguistik dan sosio-budaya yang kuat.

Bagi saya, ungkapan teurimong gaseh atau teurimong geunaseh juga merefleksikan kekurangmafhuman si penutur terhadap budaya Aceh, meskipun si penutur itu sendiri adalah pemilik kebudayaan Aceh. Sebagaimana telah dinyatakan di atas, sebagai wujud terima kasih atas apa saja yang diterima dari orang lain, orang Aceh akan mengatakan alhamdulillah. Bagi orang Aceh, suatu pemberian atau pertolongan dari orang lain pada hakikatnya adalah pemberian dan pertolongan dari Allah yang disalurkan melalui orang lain itu. Tak ada seorang pun manusia yang mampu memberi atau menolong orang lain tanpa qudrah dan iradah Allah. Karena itu, orang Aceh senantiasa memuji Allah manakala mendapatkan rezeki atau bantuan dari seseorang. Ini merupakan refleksi dari nilai-nilai ketauhidan yang telah terintegrasi dalam budaya orang Aceh. Segala bentuk pemberian atau bantuan dari orang lain, dipahami oleh orang Aceh, dilakukan dengan ikhlas, sehingga akan tercatat sebagai amal salih bagi orang itu. Dengan demikian, cukup Allah sajalah yang akan memberi ganjaran atas amal salih yang telah dilakukannya itu.
Wallahu A’lam.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.