Kedua, faktor penyebab terjadinya kekerasan juga beragam dan konfleks. Diantaranya adalah faktor historis yaitu konflik Aceh yang berkepanjangan dengan mewariskan budaya kekerasan, rendahnya pemahaman agama dan partipasi publik dalam penyusunan dan pelaksanaan berbagai qanun syariat Islam, dan kurangnya kapasitas institusional pelaksaan atau petugas syariah baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Selain itu kekerasan juga bersumber dari politik kekuasaan yang sangat kental, dan isi qanun sendiri yang potensial melahirkan kekerasan. Alokasi anggaran yang minim, dan rendahnya kesadaran hukum masyarakat merupakan faktor penyebab lain timbulnya kekerasan. Ketiga, untuk menghindari terjadinya kekerasan, maka dapat dilakukan beberapa hal, antara lain adalah meningkatkan partipasi publik baik pada tahap perumusan, pelaksanaan, maupun evaluasi, revisi qanun, terutama qanun no. 11/2000, mengembalikan implementasi syariah kepada visi sejatinya yaitu mewujudkan kemaslahatan ummat dengan menetapkan skala prioritas pelaksanaan terhadap qanun-qanun yang lebih menjamin kemaslahatan masyarakat banyak. Langkah terpenting lainnya adalah, pemberdayaan institusi pelaksanaan syariat (capasity building), dan peningkatan partipasi publik dalam perumusan maupun pelaksanaan syariat Islam. Kekerasan juga dapat dieliminir melalui pemanfaatan kearifan tradisional masyarakat dan koordinasi lintas jaringan. Penting juga disusun dan dilaksanakan qanun-qanun yang sensitif gender agar tidak terjadi diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu khususnya perempuan. Untuk mengeliminir kekerasan intektual dan hegemoni perlu dilahirkan laboratorium syariah sebagai wadah dialektika dan dialog antara berbagai variasi pemikiran yang berkembang di NAD tentang syariat Islam. Satu hal penting adalah membangun kultur nir kekerasan di tengah masyarakat NAD melalui aksi sosial dan reedukasi masyarakat. Hasil penelitian ini juga merekomendasikan perlunya indentifikasi dan pendefinisian berbagai masalah real yang dihadapi masyarakat melaluo pendekatan interdisipliner dan multidisipliner dalam memecahkannya. Sehingga, syariat Islam memiliki makna fungsional dan antisipasif terhadap problematika ummat.
Diskusi Publik
FGD: Tingkat Kepatuhan Terhadap Kebijakan KTR di Aceh
The Aceh Institute - Sejak tahun 2020 Provinsi Aceh sudah memiliki regulasi untuk mengendalikan asap rokok di bawah Qanun Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kawasan TanpaRokok...
Publikasi
Buku : 50 Tahun Aceh Membangun
Judul Buku : 50 Tahun Aceh Membangun
Editor : Ali Hasjmy
Penerbit : Majelis Ulama propinsi Daerah Istimewa Aceh
Tebal Halaman : 407 hlm
Tahun Terbit : Juli...
Mahasiswa Menulis
Rokok: Killing Me Softly
Oleh : M.Rizki
Merokok dapat membunuhmu adalah slogan yang melekat pada rokok. Bila ditelaah lagi, slogan ini bukan hanya sekadar kata, melainkan fakta. Ada yang...
Ruang Berita
FGD Pengesahan Regulasi Kawasan Tanpa Rokok Pidie Jaya: Peluang dan Hambatan
The Aceh Institute - Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya dan The Aceh Institute melaksanakan FGD dengan tema ”Pengesahan Regulasi Kawasan Tanpa Rokok Pidie Jaya:...
TJ School
Transitional Justice Movement di Argentina, Brazil dan Jeju (Korea Selatan): lesson...
Transitional Justice Movement adalah gabungan kata yang memiliki konsep berbeda. Transitional Justice (Keadilan Transisional) atau disingkat TJ adalah konsep/mekanisme yang lazim diterapkan pada periode...