Bahkan menunjukkan bahwa Pemerintah Aceh hari ini tidak punya perencanaan pembangunan yang baik untuk persoalan peningkatan ekonomi rakyat. Tentu saja, pembagian uang tunai tempo hari yang berujung adanya isniden perusakan kantor Gubernur Aceh, menunjukkan bahwa mental rakyat sudah serupa dengan pengemis dan preman. Dan sialnya mental demikian itu diciptakan sendiri oleh penguasa.
Demikian isi siaran pers bersama antara Aceh Institute (AI) dan Jaringan Survey Inisiatif (JSI), Rabu (1/1/2014) yang diterima The Globe Journal. Dalam rilisnya itu, baik AI maupun JSI yang masing masing ditanda tangani oleh Chairul Fahmi dan Aryos Nivada, menyebutkan, gejala yang sedang ditunjukkan oleh oleh rezim yang sedang berkuasa, adalah bentuk kamuflase dari ketidakmampuan mereka dalam mengelola sumber daya yang ada untuk pengentasan kemiskinan di Aceh.
Bila ditilik secara gampangan, memang bagi-bagi uang adalah aktivitas populis. Namun bila dilihat secara mendalam dan mengunakan kacamata pembangunan ekonomi yang mandiri, perilaku bagi-bagi uang tidak lebih dari bentuk kepanikan rezim Zikir dalam upaya penyelesaian masalah sosial ekonomi ditengah-tengah masyarakat.
Pemerintah Aceh memang tidak punya program yang jelas untuk pengentasan kemiskinan. Mereka memilih melakukan program populis ketimbang yang masuk akal. Bagi-bagi uang akhirnya menjadi pilihan, untuk menutupi bobroknya birokrasi dan perencanaan, Jelas mereka.
Kondisi ini, menurut Chairul dan Aryos, tidak boleh berlaarut-larut. Apalagi dana yang dikelola oleh Pemerintah Aceh hari ini sangat banyak sekali yang bersumber dari berbagai jalur seperti dana otsus, migas, DAU dll. Dan setiap tahunnya cenderung terus bertambah.
Seharusnya, bila merujuk pada teori ekonomi, dengan uang yang sangat banyak, rakyat Aceh sudah hidup makmur. Namun kondisi hari ini berkata lain. Rakyat Aceh masih dibekab oleh kemiskinan. Uang APBA tidak mengalir ke kantong-kantong rakyat kecil.
Melihat kondisi tersebut, AI dan JSI menawarkan bebarapa masukan untuk Pemerintah Aceh, dalam upaya membangun ekonomi rakyat.Pertama adalah Pemerintah perlu membangun usaha sektor riil yang dikelola secara profesional dan dapat menampung pekerja Aceh. Kedua, Pemerintah Aceh perlu membangun pusat produksi sumber ekonomi secara mandiri dan melepaskan ketergantungan kepada Sumatera Utara. Khususnya untuk kebutuhan sembako.
Selanjutnya, perlu adanya peningkatan training keterampilan bagi pemuda Aceh. Juga membangun kerjasama dengan berbagai industri di berbagai belahan dunia.Kemudian, penempatan birokrat hatus tepat ditempat yang tepat pula. Sudah saatnya Pemerintah Zikir membuang jauh-jauh system penempatan pejabat yang sangat kental dengan nuansa KKN.
Selain itu, pemangkasan jumlah belanja pegawai menjadi salah satu hal penting dalam upaya peningkatan ketepatan penggunaan anggaran rakyat. Selain itu, perlu adanya program-program pembangunan yang rasional sesuai dengan kebutuhan rakyat dan tidak terkesan cet langet. (MJ)
Source : The Globe Journal