0
112

Dalam tataran sipil, masyarakat juga punya alat validasi dan verifikasi sendiri dalam menyikapi dengan premis bahwa sang pembuat otoritas, juga kadang tidak lebih baik dari kita yang diharuskan menjalankan otoritas, oleh karena itu sesama kita diluar otoritas negara, kita saling mengingatkan, mari rayakan perayaan kebudayaan kita oleh kita sendiri dan dengan cara kita sendiri, karena keinginan kita tak pernah bisa dirayakan oleh pembuat otoritas, kecuali perayaan atas kehendak mereka sendiri secara sepihak, yang harus kita rayakan

Satu penanda dan juga sebagai pengingat atas berbagai realitas, yang ada di Aceh pasca formalisasi Syariat Islam adalah bahwa keputusan keputusan agamis, mesti didialogkan dengan perayaan-perayaan kebudayaan manusiawi. Apakah ketika masyarakat berduyun-duyun menyambut tahun baru, hanya dalam satu malam saja mereka bisa dikategorikan orang yang tidak beriman ?. apakah itu terjadi karena masyarakat tidak patuh atau justru masyarakat merasa bahwa kehidupan manusiawi mereka sebagai bentuk kebebasan berekspresi sudah tidak diindahkan dan dihargai lagi, sehingga masyarakat memilih caranya sendiri dalam moment pergantian tahun. Negara secara tahunan mengambi peran sebagai penjaga moralterkait eksistensi aqidah individu warganya, seoah-olah hidup didunia hanya persoalan aqidah dan ibadah saja, apakah sang penguasa pura-pura lupa bahwa tugas utama negara adalah bagaimana menjamin hak-hak individu, bagaimana memberikan kemamuran, keadilan dan pemerataan ekonomi.

Ketika kita hidup dalam konteks modern, dan otoritas kuasa menyuguhkan cerita-cerita klasik bahwa merayakan tahun baru merupakan kebiasaan-kebiasaan tidak Islami, perayaan tahun baru merupakan persembahan kepada dewa, yang punya dua muka, didepan dan belakang, maka disaat itu juga zaman akan terus menertawai kita, dan selama itu juga kuasa otoritsas terjebak pada contarario in determinis, bahwa mereka sendiri terjebak dengan mengajak kita melihat kedepan, tetapi dengan kepala yang menghadap kebelakang, karena disetiap akhir tahun, kita selalu disuguhkan cerita-cerita masa lalu yang kita sendiri tak pernah hidup dizaman itu, sehingga kita selalu tampil sebagai manusia-manusia masa kini, tapi selalu menderita karena sealu dipaksa menanggung beban-beban masa lalu, padaha sekai lagi kita tak pernah hidup dizaman itu, tapi atas nama menjaga aqidah kita wajib menanggung beban itu, maka kita pantas berkata Sudah tidak kalian sejahterakan kami, kalian kekang juga kami, siapa kalian ?. apakah kalian bisa berada di kuris kuasa itu, jika tidak kami hantarkan ?. mengapa pula kalian lebih berkuasa terhadap kami, padahal Tuhan kami sendiri tidak seperti itu ?.

Setiap akhir tahun kita selalu digiring kepada pengkotak-kotakan masyarakat. Keterbelahan masyarakat ini adalah sebuah konspirasi warisan menahun yang jika dibiarkan lama-lama, akan berpengaruh pada rapuhnya relasi sosial masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh bukanlah masyarakat yang punya satu persfektif pemikiran, tapi beragam pemikiran, apakah ada yang ingin merayakan tahun baru ?. pasti ada. Apakah ada yang ingin menyambut pergantian tahun dengan zikir, dan sebagainya?, juga ada. Nah, bagaiaman pemerintah mengkomunikasikna ini, bagaimana pemerintah mengakomodir ini dengan sebuah jalan tengah menyahuti berbagai keinginan dan pilihan-pilihan masyarakat.

Mengekspresikan diri dengan berbagai macam cara terkait event-event pergantian tahun, adalah hak sipi warga. Hak sipi warga ini adalah hak fundamental, yang diperoleh sebagai hakikat dari beradanya seorang manusia, bukan karena pemberian negara. Hak-hak sipil dalam setiap negara diatur secara konstitusional, beberapa hak sipil universal seperti kebebasan berbicara, kebebasan berfikir dan kebebasan berekspresi, kebebasan beragama dan peradilan yang adil dan tidak memihak.

Ketika pemerintah Kota menghalangi, membatasi kebebasan berekspresi tersebut, maka pemerintah kota telah mengambil peran seperti yang pernah dikatakan nietzsche, bahwa negara adalah penghalang terbesar bagi warganya untuk merealisasikan diri, ini seharusnya tidak boleh terjadi lagi atas nama apapun. Atas nama menjaga moral negara mengabaikan perealisasian diri manusia menjadi individu-individu merdeka. Model seperti ini bukannya tidak berdampak terhadap interaksi-interaksi sosial diantara masyarakat, karena masyarakat tidak diberikan pilihan-pilihan tetapi diarahkan secara otoritarian, padahal dengan pilihan-pilihanlah mansusia akan tumbuh subur sebagai manusia yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri selaku makhluk otonom. Erich Fromm (2010) kembai mengingatkan, Jika kecendrungan untuk tumbuh dan berkembang dihalangi, energi yang terhalang itu akan mengalami proses perubahan dan beralih menjadi energi yang bersifat merusak. Sifat merusak (destruktif) merupakan konsekuensi dari tidak dihidupinya kehidupan. Jadi, kondisi-kondisi individua dan sosial yang menghalangi energi yang memajukan hidup itulah yang menghasilkan sifat perusakan yang pada gilirannya merupakan sumber yang daripadanya akan memancar berbagai bentuk kekerasan.

Idealnya, tugas utama pemerintah kota adalah bagaimana dengan segala potensi dan sumberdaya yang dipunyai, menyelesaikan pekerjaan rumah warisan pasca konflik yaitu membebaskan individu-individu Aceh menjadi tuan yang mandiri bagi kehidupannya. Ketika pemerintah Kota madani kita berjalan pada rel-rel yang tidak rasional dengan nilai-nilai pembebasan individu-individu menjadi menusia merdeka, maka realitas yang tidak masuk akal yang disajikan sebagai bentuk pelayanan yang tidak kita inginkan, maka semua itu harus kita rubah sampai sejalan dengan akal sehat kita.

Berbagai kebijakan-kebijakan dalam mengatur tatanan sosial masyarakat kota madani yang ada harus diatur kembali, absolutisme dan sisa-sisa feodalisme relasi kuasa yang menghalangi hak sipil warga (hak kebebasan berekspresi) harus dihapuskan. Kalimat-kalimat silahkan keluar dari Aceh, siapa yang ingin merayakan tahun baru tidak boleh terulang lagi dimasa-masa mendatang karena kata-kata ini sangat miris sekali ditelinga orang-orang Aceh yang baru saja merasakan kedamaian pasca konflik, biarkan mereka merasakan atmosfir kebebasan dan keleluasaan mengekspresikan diri. Tempus mutantur, et nos mutamur in illid (waktu berubah, dan kita ikut berubah juga didalamnya). Atau seperti kata Nelson Mandela : aku adalah tuan bagi takdirku sendiri dan aku adalah kapten bagi jiwaku. Waktu terus berubah dan cara-cara manusia mengekspresikan dirinya juga terus berubah, perayaan-perayaan kebudayaan dalam kemajemukan juga terus berubah, karena kebudayaan, seperti kata Rene Char, penyair dan penulis kenamaan Perancis bahwa kebudayaan adalah warisan untuk kita yang diturunkan tanpa surat wasiat (Notre heritage nest precede daucun testament).

Larangan-larangan untuk tidak melakukan kegiatan keagamaan dalam bentuk apapun, itu juga telah masuk wilayah menghalangi kebebasan ekspresional keagamaan warga negara. Secara insaniyah, manusia pasti punya target dan capaian yang ingin dicapai setiap tahun, dan disetiap akhir tahun, dia membuka kembali cataan itu, dan apapun yang sudah dicapai, dan apapun yang belum bisa dicapai, maka manusia akan memaknai itu sebagai bentuk syukur dia kepada sang pencipta, manusia merefleksikan setahun kehidupannya dan tidak ada salahnya ketika dia memaknai refleksi tersebut dengan aktifitas transendental Ilahiyah, lantas, dimana logika penyambungnya ketika dia mengekspresikan itu, tindakannya itu dikatakan merayakan tahun baru dan itu tidak Islami ?. kebetulan saja moment tersebut ada diakhir tahun, karena akhir tahun adalah titik mengakhiri dan titik awal melangkah kekehidupan yang lebih baik, lebih makmur, lebih sejahtera tanpa perlu menghabiskan usia kita untuk selalu harus mengiba kepada negara yang belum tentu bisa mensejahterakan, memakmurkan, konon lagi bisa menjamin kita selamat masuk surga atau tidak. Selamat Tahun baru 2014, Saya Merayakan Maka Saya Ada. Wassalam.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.