Diskusi terbuka di Lingka Kupi-Limpok ini menghadirkan pakar-pakar peneliti dan pemerhati Syariat Islam, seperti Dr. Arskal Salim (Dosen Tamu Aga Khan University, London), Samsidar (Jaringan masyarakat Sipil Peduli Syariat) dan Al Chaidar (aktivis dan peneliti terorisme di Indonesia).
Diskusi yang dimoderasi Fuad Mardhatillah ini membincangkan prospek penerapan Syariat Islam (SI) di Aceh pasca pemilukada 2012 yang dimenangkan oleh pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (Zikir) dari Partai Aceh.
Dr. Arskal Salim, yang juga dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyoroti pentingnya menyingkapi wacana SI di Aceh baik secara responsif politis, akademis dan kritis. Menurutnya SI diinterpretasikan oleh orang Aceh dalam bentuk Essensial dan Non-Essensial. Bentuk Essensial yakni SI dijalankan sebagaimana adanya dan membutuhkan formalisasi hukum, sedangkan Non-Essensial menempatkan SI yang berasaskan keadilan tanpa membutuhkan formalisasi secara hukum.
Perlunya merespons secara kritis keberadaan SI di Aceh dibenarkan oleh Samsidar, dimana kelahiran SI di Aceh saat itu hanyalah produk politik pemerintah pusat yang menganggap sebagai solusi bagi penyelesaian konflik di Aceh
Sementara itu Al Chaidar menambahkan bahwa perkembangan kelompok Essensial atau kelompok yang menginginkan penerapan SI di Aceh, masih relatif sangat lambat dan tidak begitu mengkhawatirkan. Menurut Al Chaidar, kurang efektifnya metode dakwah yang diusung kelompok al-jihadi ini dipandang sebagai salah satu faktor penghambat perkembangan tersebut.
Merespons pertanyaan salah satu peserta diskusi terkait kemungkinan penerapan SI dalam pemerintahan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, ketiga narasumber memprediksi kemungkinan kecil hal tersebut akan terjadi. Selain, bukti keengganan Partai Aceh dibawah kepemimpinan Irwandi untuk mensahkan Qanun SI.
Menurut ketiga narasumber tersebut, Irwandi seperti mendapat tekanan dari kalangan internasional dan nasional dan ini sebagai salah satu tantangan penerapan SI di Aceh. Hal ini juga diakui oleh Prof Yusni Sabi yang ikut hadir dalam diskusi dengan mengingatkan, terlepas dari berbagai pendapat dan prediksi tentang penerapan SI di Aceh, diharapkan bahwa setiap pihak tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan.
Diskusi yang dihadiri berbagai pihak ini, kalangan mahasiswa, akademisi, aktivis, dan perwakilan unsur pemerintahan, juga dihadiri oleh Konsultan Eksternal Uni Eropa, David de Beer. David berkomentar bahwa penyelesaian konflik masyarakat di Aceh sebenarnya dapat dikaji dari aspek lain, selain konsep punishment (hukuman) yang ditawarkan dalam SI.
Hasil kerja monitoring Uni Eropa di hampir semua distrik di Aceh menemukan bahwa penyelesaian konflik dalam masyarakat di Aceh, dapat terselesaikan secara lebih efektif melalui mekanisme adat court atau Mahkamah Adat Aceh (MAA). (wartaaceh.com)
*Penulis adalah staf pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi Unsyiah dan Program Assistant ICAIOS.