Pada Kamis, 16 Juni 2022, Aceh Institute menggelar workshop dan capacity building bertema “Prosedur Penindakan Pelanggaran Qanun Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Kota Banda Aceh”. Acara ini berlangsung di Hotel Diana dan dipandu oleh T. Muhammad Ghufran dengan Pemateri Kasatpol PP Kota Banda Aceh Adriansyah, Faisal Hadi Anggota Jaringan Keadilan Transisional Asia dan Akademisi Winny Dian Safitri. Peserta workshop ini terdiri dari perwakilan Satpol PP Kota Banda Aceh, Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh.
Ardiansyah, menyebutkan bahwa yang harus dilakukan saat ini bukan lagi sosialisasi KTR melainkan penindakan terhadap pelanggaran. Alasannya, sosialisasi sudah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya dan masih berlanjut hingga kini. Sosialisasi sudah dilakukan di area-area seperti kantor pemerintahan, kantor swasta, tempat ibadah, halte, dan lain-lain. Oleh karenanya yang perlu dipikirkan kedepan adalah prosedur penindakan terhadap orang-orang yang merokok di KTR.
“Sangat susah kita tegur orang merokok di tempat ibadah dll, melarang orang merokok di KTR merupakan pekerjaan yang berat dan menantang, Kalau kita larang (orang merokok di KTR), kita yang dimarahi, karena mereka beranggapan malah orang yang tidak merokok yang duluan meninggal,” keluh Ardiansyah. Dengan situasi demikian, tambah Ardiansyah, harus ada tim penindak yang lebih kuat. Bukan cuma Satpol PP. “Kami dari Satpol PP siap bersinergi dengan rekan-rekan pengadilan, polisi, TNI, LSM, kampus. Tidak mungkin kita kerja sendiri untuk memaksimalkan pelaksanaan qanun ini. Qanun KTR tugas bersama,” Ardiansyah berharap.
Peneliti AI sekaligus akademisi Winny Dian Safitri menyebutkan, kesulitan mengampanyekan agar tidak merokok di KTR terjadi di kota maupun desa. Misalnya, orang-orang yang menyelenggarakan kenduri di rumahnya justru menyediakan rokok.
Di kalangan mahasiswa, sosialisasi KTR ternyata juga tidak berjalan mulus pula. Mahasiswa justru resisten ketika diberi peringatan bahwa mereka tidak boleh merokok di KTR. Malah ada yang berdalih hal demikian tidak salah karena dosennya juga merokok. Maka perlu sinergi multipihak memahami apa fungsi KTR tersebut.
Menurut Faisal Hadi, di seluruh dunia, dari tahun ke tahun, angka kematian yang disebabkan penyakit dari aktivitas merokok secara aktif terus meningkat. Pada Abad ke-20, mulanya ada 5 juta kematian per tahun akibat rokok, lalu meninggi ke angka 10 juta. Selanjutnya, kematian akibat rokok bertambah banyak pada Abad ke-21. Mirisnya, hal ini bukan terjadi di negara-negara maju melainkan di berbagai negara yang mayoritas penduduknya berpenghasilan rendah. Sebagai mantan perokok, Faisal Hadi mengakui amat sulit memotong laju aktivitas merokok agar tidak diteruskan oleh generasi berikutnya. Bahkan di kalangan aktivis pun ada opini bahwa merokok merupakan bagian dari hak asasi manusia.
“Saya mantan perokok. Mulai SMP, usia 13 tahum sudah merokok ketika di kampung. Berhenti tahun 2010 karena mendapat pekerjaan proyek bertema ‘sehat, hijau, dan ramat lingkungan’. Jadi tidak dibolehkan merokok. Kalau melanggar, denda Rp 30 ribu,” cerita Faisal Hadi.
Oleh karena banyak yang beranggapan bahwa merokok merupakan hak asasi manusia, Faisal Hadi merasa perlu membuat penjelasan yang jernih. Menurutnya, merokok termasuk kategori derogable rights atau hak-hak yang diperkenankan untuk dikurangi. Sebab itulah tidak terjadi pelanggaran HAM ketika ada kebijakan yang membatasi aktivitas merokok. Akan tetapi kebijakan tersebut tetap harus dibuat dengan alasan-alasan yang sangat kuat, masuk akal dan proporsional atau tidak berlebihan.
Kematian yang dipengaruhi dampak buruk tembakau bukan cuma melibatkan perokok aktif. Turut jadi korban di situ adalah mereka yang tidak merokok. Oleh karenanya, merokok bisa saja menjadi aktivitas melanggar HAM. “Secara global, keadaan yang mengakibatkan lima juta kematian per tahun ini sudah bisa dianggap pelanggaran HAM,” ujar Faisal Hadi dalam workshop tersebut.