[The Aceh Institute] Banda Aceh – “Kawasan tanpa rokok adalah solusi bagi perokok yang tak berakhlak, kalau dikatakan apakah perokok berakhlak atau tidak dalam Islam bab tentang rokok masih disikapi sebagai khilafiyah sehingga ada kesepakatan berbeda, namun rokok dapat disimpulkan buruk sebab perokok saja melarang orang-orang tersayang seperti anak dan istri untuk tidak merokok,” ucap Ustad Masrul yang dalam hal ini mendukung implementasi qanun kawasan tanpa rokok (KTR) yang sudah ada. Rabu (29/06/2022).
Ia mengambil contoh sederhana seorang suami yang jahat akan membawa makanan untuk dimakan didepan anak dan istri namun tidak mengizinkan mereka ikut menyantap makanan lezat tersebut, ibaratkan makanan sama halnya rokok. Seorang suami menghisap rokok dirumah dengan penuh kenikmatan dan mempertontonkan dihadapan anak istri.
Hal ini disampaikan dalam workshop bertema “Peran Multi Stakeholder dalam implementasi kawasan tanpa rokok Kota Banda Aceh”, bertempat di Olenka Coffee.
Kegiatan ini mengundang para pemuda, pelaku usaha seperti warung kopi atau coffee shop, perwakilan organisasi keagamaan dan pemuda, mahasiswa, hingga aktivis anti rokok.
Muazzinah selaku Direktur mengatakan penerapan KTR di Banda Aceh akan ikut mendampingi beberapa kabupaten dan kota untuk peningkatan penerapan KTR, Qanun KTR diharapkan dapat dipahami oleh semua kalangan.
“Kita melihat bagaimana rokok kini menjadi isu global kesehatan paling serius dan menjadi pr kita bersama. Penerapan KTR tidak dapat dilakukan dengan satu sisi saja namun membutuhkan semua stakeholder. Penerapan KTR bukan untuk melarang orang merokok namun untuk membuat orang-orang merokok pada tempatnya,” ujar Direktur.
Dikatakan Direktur, solusi dari KTR salah satunya seperti tersedianya ruang khusus bagi perokok di cafe atau warung kopi.
Sedangkan Chairul Fahmi selaku akademisi menjelaskan bahwa penerapan KTR ini juga harua dilihat secara komprehensif termasuk padahal perihal sanksi.