[21 November 2023] Balee Seumikee – Aceh Institute kembali menggelar diskusi publik secara daring dalam program Balee Seumike dengan mengambil tema “Dampak PKA Terhadap Pembangunan Aceh” pada Kamis (21/11/2023).
Pemerintah Aceh telah melaksanakan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 pada 4-12 November 2023. Event akbar ini dipusatkan di Taman Sulthanah Safiatuddin, Banda Aceh dan beberapa lokasi pendukung lainnya.
The Aceh Institute mencoba memotret dampak apa yang timbul dari agenda PKA 8 melalui diskusi Balee Seumike yang menghadirkan Narasumber yaitu Almuzina Kamal selaku Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Inayatillah selaku Pelaku Usaha, Muhammad Yasar selaku Ketua MPW Pemuda ICMI Aceh serta Tungang Iskandar selaku Akademisi ISBI. Diskusi ini turut dihadiri oleh Dinas terkait, para akademisi, pemangku kebijakan, para legislatif, organisasi masyarakat, dan masyarakat umum.
Dalam diskusi ini, Almuniza menekankan bahwa merawat budaya adalah tanggung jawab bersama. “Dalam perjalanan panjang pelestarian budaya Aceh, Acara Pekan Kebudayaan Aceh ke-8 menjadi landasan penting bagi masyarakat Aceh. Sebagai tugas bersama, upaya merawat dan mempertahankan kekayaan budaya menjadi panggilan kolektif. Melalui acara ini, setiap individu, kelompok, dan komunitas berperan aktif dalam melestarikan warisan budaya yang menjadi akar keberagaman dan keindahan Aceh. Bersama-sama, mereka membentuk sebuah narasi hidup yang menghargai masa lalu, memelihara tradisi, dan menanamkan makna kebersamaan untuk masa depan yang lebih gemilang”, ujarnya.
Sebagai Pelaku Usaha, Inayatillah merasakan dapat langsung secara positif dari terselenggaranya acara ini. Insyatillah menuturkan, “Saya terkejut dengan omzet yang kami dapatkan. Kami tidak menyangka, omzet yang kami peroleh dapat mencapai 3-5 juta perhari. Pekan Kebudayaan Aceh ke-8 memiliki potensi dampak positif bagi produk-produk lokal Aceh. Acara tersebut dapat meningkatkan pariwisata, mempromosikan warisan budaya, serta memberikan peluang ekonomi kepada masyarakat melalui sektor pariwisata dan kerajinan lokal. Selain itu, kegiatan ini juga dapat memperkuat identitas budaya masyarakat Aceh dan membangun kesadaran akan pentingnya pelestarian tradisi.”
“Peran pemuda dalam Pekan Kebudayaan Aceh juga sangat penting karena mereka merupakan agen perubahan yang vital dalam melestarikan dan memajukan budaya Aceh. Pemuda membawa semangat inovasi, energi positif, dan perspektif baru yang dapat memperkaya pelaksanaan kegiatan kebudayaan. Partisipasi aktif mereka tidak hanya menciptakan momentum baru, tetapi juga memastikan transfer nilai-nilai budaya kepada generasi mendatang. Dengan keterlibatan pemuda, Pekan Kebudayaan Aceh tidak hanya menjadi ajang perayaan, tetapi juga platform untuk menciptakan keberlanjutan dan kelanjutan warisan budaya yang kaya di Aceh”, tambah Yasar dalam menegaskan pentingnya keterlibatan anak muda.
Iskandar berpendapat bahwa sudah saatnya Aceh memakai strategi menyerang dalam mempromosikan budayanya. Saatnya Aceh mengukir jejaknya dalam panggung global, memperkenalkan keindahan dan kekayaan budayanya kepada seluruh dunia. Dengan langkah maju ini, Aceh tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga penulis cerita baru dalam jalinan keberagaman dunia. Melalui upaya bersama, kita membuka pintu dialog antarbudaya, mempersembahkan keunikan tarian, musik, dan warisan budaya Aceh sebagai simbol keharmonisan. Aceh, dengan segala pesonanya, kini siap berbicara kepada dunia, memperkaya perbincangan global, dan mewujudkan pengakuan atas warisan luhur yang dimiliki.
Melihat dampak positif yang timbul dari agenda PKA, salah seorang peserta diskusi, Irfan, mengusulkan wacana bahwa sebaiknya PKA ini dapat diselenggarakan setiap tahun, bahkan kalau bisa dapat digilirkan ke setiap Kabupaten/Kota di Aceh sebagai Host.
Wacana tersebut pun disambut baik oleh Kadis, Almuniza dan seluruh peserta diskusi karena melihat energi positif dalam semangat pelestarian budaya Aceh.