Ia mempunyai wilayah sampai hari ini, mempunyai bangsa, mempunyai adat budaya dan peradaban dan mempunyai sejarah yang sangat gemilang serta menyatu dengan Islam. Sementara Indonesia merupakan sebuah wilayah kumpulan dari wilayah-wilayah lain kemudian setelah merdeka diklaim menjadi sebuah Negara dengan nama Republik Indonesia.
Antara Islam, Aceh dan Indonesia mempunyai satu ikatan historis yang sangat unik dan menarik untuk diperbincangkan. Aceh adalah satu wilayah yang pernah menjadi sebuah Negara yang didominasi oleh ikatan Islam sehingga Hukum Islam pernah berjalan lama di dalamnya. Ketika Aceh menjadi Kerajaan Aceh Darussalam di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam. Bangsa Aceh sangat menyatu dengan Islam, rajanya menjalankan hukum Islam sehingga ia menjadi Negara besar dalam kekuasan di abat ke 17 dan 18 pada masa silam. Sampai hari ini bangsa Aceh yang orisinil masih mempertahankan Islam sebagai agama dan sistem hidup, hanya karena pengaruh nasionalisme Indonesia membuat sejumlah orang Aceh lemah keyakinan dan pemahaman Islamnya.
Indonesia merupakan negara multi agama dan multi etnik dan sistem negaranya nasionalis. Ia menjurus kepada sekularis dalam praktik kenegaraan sehari-hari walaupun konstitusinya tidak menyebutkan sebagai negara sekuler. Ketika Indonesia menjadi sebuah negara langsung dipimpin oleh seorang presiden yang berpaham nasionalis-komunis yaitu Soekarno. Dalam masa kepemimpinannya ia mengarahkan negara ini menjadi negara komunis, namun Allah tidak menghendaki dan ia sendiri diturunkan dari kursi presiden dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1965.
Ketika Soeharto menjadi presiden tidak lagi ada peluang bagi kader komunis karena semuanya dibumi hanguskan. Namun ia menghidupkan sistem nasional-sekuler yang amat luar biasa selama 33 tahun sehingga seluruh lapisan masyarakat Indonesia menjadi phoby terhadap Islam dan cinta kepada nasionalisme. Kecuali sejumlah orang yang punya latarbelakang tersendiri yang dilandasi oleh aqidah Islamiyah yang kokoh yang dapat bertahan, selain itu membaur dengan pemikiran Soeharto.
Terdapat banyak kesamaan cara yang dimiliki dua orang presiden Indonesia itu dalam upaya mensekulerkan bangsanya. Seokarno pernah mengagungkan Manipol usdek (Manifesto Politik, Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme dan Demokrasi terpimpin) sebagai landasan pijakan memimpin. Soeharto menjadikan Pancasila sebagai landasan pijakan dalam kepemimpinannya. Soekarno mewujudkan NASAKOM (Nasional, Agama, Komnis) yang diwakili oleh PNI, NU dan PKI . Pada masa Soekarno mengagungkan demokrasi terpimpin dan sejenisnya, pada zaman Soekarno mengagungkan demokrasi Pancasila, pers Pancasila, dan masjid amal muslim Pancasila. Pada masa Soekarno menyerang Islam dan tokoh-tokoh muslim secara terang-terangan, pada zaman Soeharto menghancurkan Islam dan muslim secara diam-diam. Semua itu masih berada dalam satu format sebagai warisan penjajah Belanda yang dimotori oleh C. Snouck Hurgronje selaku penasehat pemerintahan Hindia Belanda.dan format itulah yang terus berlanjut sehingga hari ini.
Negara Aceh warisan ndatu
Mengikut sejumlah penulisan sejarah, sebelum Islam menjelajah keseluruh penjuru dunia, Aceh didominasi oleh agama Hindu. Namun yang menarik di Aceh adalah ketika Islam datang baik dari Arab langsung maupun dari Gujarat (India) penghuni wilayah ini menerimanya dengan baik dan tidak terjadi peperangan untuk mempertahankan ajaran Hindu. Semenjak Islam datang pertama sekali sampai hari ini bangsa Aceh betah dan sayang kepada Islam sehingga semangat jihad fi sabilillah dalam masa perjuangan melawan penjajah demikian kental dimilikinya. Hampir dapat dipastikan seratus persen bangsa Aceh beragama Islam kecuali akhir-akhir ini ada provokasi dari agama-agama tertentu terhadap sejumlah orang Aceh dengan cara yang sangat jahat membuat beberapa orang Aceh masuk agama mereka. Ini biasanya dilakukan dengan membujuk orang Aceh yang lemah iman dan kurang pengetahuan lalu diberikan uang dan material lainnya agar ia masuk agama mereka.
Tercatat dalam sejarah bahwa semenjak Aceh menjadi kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Peureulak, Kerajaan Samudera Pasai di sana sudah menjadikan Islam sebagai agama negara dan bangsa. Hal ini menjadi bukti bahwa antara Aceh, orang Aceh dan Islam sangat menyatu dan sulit dipisahkan. Namun ketika Aceh menjadi salah satu provinsi di Indonesia, pengaruh nasionalisme Indonesia lewat sistem hukum, pendidikan, sosial budaya dan poitik membuat Bangsa Aceh terpengaruh dengan pemikiran liberal, sekuler, dan nasional.
Pada hakikatnya antara Islam dengan Aceh dan Bangsa Aceh amat sulit untuk dipisahkan, namun karena pengaruh perkembangan dunia global dan ramai orang Aceh yang hidup di luar Aceh membuat sejumlah orang Aceh buyar pemahaman dan komitmennya terhadap Islam. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengiriman putera-puteri Aceh untuk menuntut ilmu di Eropah, Amerika, Canada, Jakarta dan negara-negara kafir lainnya sehingga ketika mereka kembali ke Aceh pemikirannya sudah berobah. Selain itu faktor perlawanan Aceh terhadap Indonesia yang diasaskan kepada nasionalisme Aceh bukan kepada Islam maka ramai pula para pejuang Aceh yang melawan Indonesia dalam kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang buyar komitmen Islamnya, ini nampak pada azas perjuangan dan ucapan-ucapan mereka.
Walaubagaimanapun, Negara Aceh sebagai warisan ndatu adalah negara Islam yang menyatu antara Aceh, Bangsa Aceh dan Islam sehingga tergambarkan dalam pepatah Aceh: Adat deungn Hukm Lagi zat deungn Sifeuet, artinya; Adat dengan hukum seperti zat dengan sifat yang sangat sulit untuk dipisahkan. Itulah Aceh, kalau bukan begitu bukan Aceh namanya. Namu demikian apa yang patut kita sayangkan adalah; ketika Aceh dijadikan bahagian dari wilayah Indonesia yang sekuler dalam amalannya, maka Acehpun mendapat transfer sekularisasi, nasionalisasi dan liberalsasi dari Indonesia sebagai sebuah negara. Tak dapat dipungkiri kalau selama lebih enam puluh tahun Aceh berada dalam Indonesia, Aceh berobah total dari sisi pandang agama. Perobahan itu turun melalui media cetak dan elektronik yang lebih dominan lewat tayangan Televisi yang ada di Indonesia. Selain itu juga melalui proses pendidikan Indonesia yang tidak seratus persen Islami, lewat budaya Pulau Jawa, Pulau Bali, Kalimantan dan lainnya yang bukan budaya Islam yang dipasok melalui jalur-jalur tertentu.
Oleh karena itu, apa yang kita lihat hari ini di Aceh yang berseberangan dengan Islam adalah tidak lagi murni sebagai Aceh keuneubah ndatu melainkan Aceh yang sudah dimanipulasi oleh kebiasaan-kebiasaan Indonesia dan atau pengaruh dunia luas lewat perantau-perantau Aceh yang sudah menyatu dengan kebiasaan-kebiasaan negara luar tersebut. Nanggroe Aceh keuneubah ndatu adalah Aceh yang berlaku Syariat Islam, yang penghuninya saling berkasih sayang, hormat terhadap tetamu, saling membatu dan tidak bringas/kejam kecuali kalu sudah mengganggu Islam dan aqidah Islamiyah.
Pada dasarnya bangsa Aceh adalah satu bangsa Islam yang termasuk dalam rumpun bangsa Melayu. Namun karena terjadi asimilasi lewat perdagangan, penyiaran Islam, atau lewat peperangan, maka di Aceh kelihatannya juga ada jenis bangsa lain selain Bangsa Melayu seperti Bangsa Arab, Bangsa Eropah, bangsa Negro, Bangsa Hindia Tamil, Bangsa Cina dan lainnya. Di peringkat Aceh sendiri juga ada banyak etnis seperti Etnis Gayo, Etnis Aneuk Jameei, Etnis Minang, Etnis Batak, Etnis Jawa dan lainnya. Semua itu wujud karena proses alami seperti faktor-faktor yang telah kita sebutkan di atas tadi.
Memicu kepada latarbelakang antropologi dan sosiologi tersebut di atas maka Aceh sebagai sebuah negara untuk dunia maya ini tidak dapat dipungkiri walaupun hari ini kenyataannya hanya sebagai sebuah provinsi. Artinya Aceh punya dasar sebagai salah satu negara yang ditandai dengan identitas sejarahnya, bangsanya, wilayahnya, adat dan budayanya serta peradabannya. Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang adalah; apakah kita puas dengan kenyataan-kenyataan semacam ini? Tetapi Aceh tetap saja sebagai sebuah provinsi? Yang penting dan sangat amat penting adalah seluruh Bangsa Aceh jangan sampai hilang identitas. Identitas yang kita gambarkan di atas adalah kenyataan dan bukan rekaan. Dan yang perlu diingat oleh seluruh Bangsa Aceh adalah dunia ini terus berputar, bangsa terus berganti, negara juga ada yang hidup dan ada yang mati, terkadang yang belum pernah hidup muncul di bumi, atau yang sudah pernah hidup muncul kembali seperti munculnya negara-negara di kawasan Balkan, wujudnya Pakistan dari India, Bangladesh dari Pakistan, dan hidup kembali negara Timor Timur dari aneksasi Indonesia dan sebagainya.
Yang menarik dan perlu diperhatikan dari Negara Aceh Keuneubah ndatu adalah; ia pernah menjadi sebuah negara dan berkesan sampai sekarang, bangsanya selalu berupaya untuk mewujudkan kembali warisan endatu tersebut, bangsanya komit dengan sejarah dan peradaban bangsa, bangsanya komit dan menyatu dengan Islam, wilayahnya amat strategis, buminya amat subur dan kaya dengan kandungan alam, bangsanya punya pendirian dan sulit dipengarui orang, raja-rajanya zaman dahulu mewujudkan negara Islam dan menjalankan Hukum Islam dalam kerajaannya. Itulah Nanggroe Aceh Keuneubah ndatu.
Negara Indonesia tidak punya ahli waris?
Sulit dipungkiri kalau sejarah menyatakan bahwa asal usul Indonesia sama sekali tidak dapat dibuktikan seperti negara Aceh. Ia merupakan sebuah negara ciptaan penjajah yang dikemas dalam berkas nasionalisme dan diklaim wilayahnya mengikut bekas wilayah jajahannya. Sebelum terjadinya penjajahan tersebut dunia tidak mengenal negara yang namanya Republik Indonesia apalagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang ada adalah Kerajaan Aceh Darussalam, Kerajaan Ngurah Rai, Kerajaan Mojopahit, Kerajaan Sriwijaya dan sebagainya. Tidak pernah ada Kerajaan Indonesia atau negara Indonesia sebelum terjadinya penjajahan terhadap kerajaan-kerajaan tersebut.
Dari segi kepercayaan, Pulau Jawa yang pernah di Islamkan oleh Ulama Aceh asal Pasei; Fatahillah atau Falatehan atau Sunan Gunung Jati, penduduknya menganut agama Hindu sebagaimana juga penduduk Aceh dahulu. Namun yang membedakan keduanya adalah ketika Islam datang ke Aceh masyarakat di sana menerima dengan senang hati dan tidak melawan penyebar Islam di Aceh. Sementara ketika Islam dibawa ke Pulau Jawa, penghuni Hindu di sana melawannya dan malah ada yang lari ke Pulau Bali ketika mereka tidak sanggup mempertahankannya. Mengikut sejarah yang ada, para pengikut hindu lapisan bawah di Jawa senang dan menerima kedatangan Islam kesana karena mereka tidak sanggub lagi dikuras dan dihina oleh kasta yang lebih tinggi dari mereka. Sebaliknya dari kalangan kasta yang merasa dirinya tinggi tidak mau menerima Islam karena Islam menyamaratakan kehidupan ummah, tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah kecuali yang lebih taqwa di antara mereka yang mulia di sisi Allah.
Oleh karenanya, dari sisi agama Jawa berasal dari Hindu dan karena Indonesia juga didominasi oleh Jawa maka mayoritas penghuni Indonesia juga berasal dari Hindu, hanya ulama asal Acehlah yang meng-Islamkan mereka. Dari segi negara, Indonesia sama sekali tidak punya fondasi kecuali ciptaan Belanda yang diteruskan oleh Soekarno, Soeharto dan presiden-presiden berikutnya. Dari sisi pandang sejarah ia sama sekali tidak punya latarbelakang sebuah negara seperti negara Aceh, Sriwijaya, Mojopahit, Ngurah Rai dan sebagainya.
Untuk itu Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah negara yang tidak punya wali. Karena tidak punya wali maka ia juga tidak punya ahli waris. Dengan demikian kalau Indonesia jatuh sakit maka tidak ada yang mengurusnya dari talian darah ahli waris. Apa lagi kalau Indonesia meninggal maka tidak ada yang dapat mewarisi peninggalannya kecuali pihak lain yang merebut peninggalannya. Barangkali pihak lain inilah yang bakal muncul dalam fersi lama seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Mojopahit, Kerajaan Ngurah Rai dan sebagainya.
Dari sisi kajian historis sosiologis hal itu wajar terjadi mengingat Indonesia yang tidak punya wali. Kalau dalam kehidupan seorang manusia yang tidak punya ahli waris boleh jadi ia tidak punya saudara kandung atau tidak punya paman dan seumpamanya, ini menjadi persoalan biasa. Tapi kalau seseorang itu dikatakan tidak punya wali maka orang tersebut boleh dikatakan anak haram yang tidak punya ayah yang sah menurut agama. Kalau falsafah ini mengenai negara Indonesia maka susah juga menjadi warga negara Indonesia karena takut dituduh seperti itu.
Yang jelas sejarah membuktikan bahwa dari segi kehidupan beragama Indonesia berasal dari kehidupan agama Hindu, dan dari segi asal usul kenegaraan Indonesia merupakan negara ciptaan yang tidak punya latarbelakang sejarah yang menguatkan. Disebabkan faktor ini maka semua klaim yang diatasnamakan Indonesia bukanlah milik Indonesia seperti Adat dan Budaya Indonesia, Sejarah Indonesia, Bangsa Indonesia, Bahasa Indonesia, Orang Indonesia dan sebagainya.
Karena tidak ada dasar negara maka Indonesia juga tida punya adat dan budaya, tidak punya sejarah, tidak punya bangsa, tidak punya bahasa dan tidak ada orang ndonesia. Yang ada adalah kumpulan adat budaya bangsa-bangsa di Sumatera, di Jawa, di Bali, di kalimantan, di Sulawesi, di maluku, di Irian Jaya dan seterusnya yang kemudian dinamakan adat budaya Indonesia. Ia juga tidak punya sejarah melainkan sejarah bangsa-bangsa tersebut, tidak punya bangsa melainkan bangsa-bangsa tersebut, tidak punya bahasa melainkan salah satu bahasa dari bangsa-bangsa tersebut dan seterusnya.
Kebetulan saja bahasa yang diklaim sebagai Bahasa Indonesia hari ini menurut pakar sejarah Indonesia Ibrahim Alfian berasal dari Bahasa Melayu Pasai di Aceh yang dahulu ditulis dalam ejaan Arab latin dan juga sering disebut Bahasa Jawi. Disebut bahasa Jawi karena dikawinkan antara bahasa Melayu Pasai dengan tulisan dalam ejaan Arab. Ia sama sekali tidak bermakna Bahasa Jawi itu adalah Bahasa Jawa atau bahasa dari Jawa sebagaimana yang pernah ditulis oleh seorang sarjana Aljazair Malik Bin Nabi.
Namun demikian karena secara hukum dunia hari ini Indonesia sudah diakui sebagai sebuah negara dan sudah memiliki persyaratan sebuah negara maka baik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun Hukum Internasional (International Law) sudah mengakui bahwa Indonesia merupakan sebuah negara dengan nama Negara Republik Indonesia. Ini berarti sesuatu wilayah yang tidak berdasar sebuah negara boleh saja jadi negara asalkan mendapat pengesahan dan pengakuan dengan acara apasaja dari lembaga yang berhak untuk itu.
Apa kata Islam terhadap sebuah negara
Istilah negara dalam terminologi Islam ada beberapa nama seperti Daulah, Khilafah atau Dar sehingga muncul istilah Daulah Islamiyyah, Khilafah Islamiyah atau Dar al Islam. Selain itu perkataan Dar as-Salam juga sering diidentikkan dengan perkataan negara dalam Islam. Perkataan Daulah Islamiyyah merupakan istilah yang amat cocok untuk gelaran Negara Islam. Daulah bermakna sesuatu yang berdiam sementara yang barangkali untuk hari ini dan bukan untuk besok, sementara istilah Daulah Islamiyyah atau Negara Islam bersifat kekal dan abadi sejauh ummat manusia mengisi alam raya ini. Istilah Khilafah juga muncul dalam terminologi Siyasah sehingga sering dipadukan menjadi Khilafah Islamiyyah yang juga bermakna Negara Islam.
Berpijak kepada sunnah dan pengalaman Rasulullah SAW., dalam membangun negara seperti Madinah al-Munawwarah maka dapat dipastikan bahwa Islam diharuskan membangun dan membina sebuah negara yang berdasarkan Islam dan berlaku Hukum Islam di dalamna. Nabi menjadikan kota Madinah sebagai sebuah negara awalnya dengan tiga unsur.
Pertama unsur keimanan, di mana sesampainya Nabi ke Yasrib (Madinah) pekerjaan yang paling awal dan utama dilakukan adalah membangun sebuah masjid di sana yang kemudian bergelar Masjid Nabawi. Ini pertanda dalam membangun sebuah negara harus mengikat diri dengan Allah dan segala ketentuan yang akan dipraktikkan dalam negara tersebut juga harus sesuai dengan ketentuan Allah.
Kedua adalah unsur persatuan, di mana Nabi mengambil langkah kedua setelah membangun masjid untuk mempersatukan kaum anshar asal Madinah dengan kaum muhajirin yang datang dari Makkah. Ini bermakna Nabi membangun bangsa dan mempersatukan rakyat yang bakal menjadi warga negara, dengan demikian memudahkan beliau untuk menjalankan aktivitas kenegaraan.
Unsur ketiga adalah merumuskan perundang-undangan yang terkenal dengan Piagam Madinah yang juga sering disebut Kitab, Dustur, Sahifah, atau Konstitusi Madinah. Satu pendapat menyatakan Dustur ini terdiri dari 23 fasal berkenaan dengan hubungan muhajirin dan anshar, dan 24 fasal lagi berkaitan dengan hak dan kewajiban kaum Yahudi, jadi jumlah semuanya 47 fasal. Profesor Hamidullah mengatakan jumlahnya 52 fasal, bahagian pertama 25 fasal dan bahagian kedua 27 fasal. Para pakar sejarah Islam mengemukakan bahwa penulisan kedua bahagian sahifah ini pada awal tahun pertama hijrah. Namun Hamidullah mengatakan kemungkinan besar bahagian pertama ditulis pada awal tahun pertama hijriyah dan bahagian kedua diselesaikan pada tahun kedua hijriyah setelah perang Badar.
Di antara poin terpenting dalam Dustur Madinah berkenaan dengan kuasa Islam adalah; setiap pertikaian yang terjadi hendaklah diselesaikan dengan hukum Tuhan dan kebijaksanaan Muhammad (fasal 23 dan 42). Dengan demikian keberadaan Muhammad sebagai Rasulullah saw. dalam kalangan manusia campuran tatkala itu berada pada posisi memipin bukan dipimpin, ia juga berada pada posisi mengatur bukan diatur, sebagai penggerak bukan yang digerakkan, sebagai pengelola bukan yang dikelola, sebagai pembina bukan yang dibina, sebagai pemrakarsa bukan yang diprakarsai, sebagai rujukan dan yang dirujuk, sebagai imam dan yang diimami serta bukan makmum.
Dengan demikian jelaslah bahwa Nabi merupakan seorang pemimpin, Madinah sebagai negara, penghuni Madinah sebagai rakyatnya dan Piagam Madinah sebagai undang-undang negara. Kalau kita kaitkan dengan persyaratan sebuah negara dalam zaman modern hari ini yang menyatakan bahwa syarat-syarat menjadi sebuah negara harus ada wilayah, harus ada penguasa, harus ada undang-undang dan harus ada pengakuan, maka semua itu telah dimiliki oleh Islam ketika Nabi membangun Negara Madinah. Pengakuan penghuni Madinah terhadap pemimpinnya, wilayahnya dan undang-undangnya menjadi satu keabsahan terhadap negara Islam Madinah pada masa itu.
Ketika kondisi Madinah sebagaimana gambaran di atas kita padukan dengan konsep dan persyaratan negara hari ini yang meliputi unsur-unsur; Pertama, sebuah negara harus mempunyai rakyat atau bangsa. Kedua, harus memiliki wilayah atau tanah air yang pasti. Ketiga, punya sistem pemerintahan yang khusus. Keempat, memiliki kedaulatan. Kelima, mempunyai Pemimpin. Keenam, mempunyai Undang-undang maka Madinah sah dan cocok menjadi contoh Negara Islam pertama dalam sejarah peradaban Islam. Dan ia selaras pula dengan versi Hukum Internasional yang menyatakan bahwa sesuatu wilayah baru diakui sebagai sebuah negara apabila memiliki; jazirah (tanah air), rakyat (bangsa), pemerintah (penguasa) yang sah, peraturan (undang-undang) dan pengakuan Internasional.
Karena pada masa Nabi belum ada PBB dan belum ada Amerika Serikat maka pengakuan internasional terhadap Negara Madinah cukuplah degan pengakuan penghuni Madinah dan sejumlah penghuni Kota makkah saja. Dengan demikian Negara Madinah sah menjadi sebuah negara di awal perkembangan Islam dan menjadi rujukan kepada seluruh bangsa di dunia hari ini.
Dengan demikian, Aceh yang pernah menjadi sebuah negara pada suatu masa dahulu dan Indonesia yang tidak dikenal sebagai sebuah negara waktu itu kapan saja bisa kembali ke asal mula ketika Allah menghendaki demikian. Ia selalu disusuli dan disertai dengan penyebab-penyebab tertentu sehingga sejarah zaman dulu bisa saja kembali muncul hari ini. Apalagi semua itu sudah ada bukti dan tercatat dalam sejarah bangsa dan sejarah dunia. Hanya faktor keberuntungan sajalah yang belum memihak kepada siapa yang berhak.
Khatimah
Antara Islam, Aceh dan Indonesia dari segi sejarahnya tidak dapat dipisahkan karena ia dibangun dari tiga sisi yang saling mendukung. Mungkin Negara Aceh dahulu tidak ada kalau bukan diurus dengan ketentuan Islam. Mungkin juga Indonesia tidak pernah wujud kalau tidak mendapat bantuan dari bangsa Aceh untuk memerangi penjajah Belanda dalam masa agresi kedua tahun 1948. karena pada waktu itu hanya Acehlah yang masih bertahan melawan Belanda, sementara wilayah lain sudah ditaklukkan semuanya. Aceh juga menampung pemerintah Darurat Republik Indonesia untuk tinggal, hidup dan mendapatkan bantuan di Aceh.
Indonesia pula sulit wujud barangkali kalau bukan atas dasar perjuangan Islam ketika melawan penjajah. Walaupun hari ini para penguasa Indonesia tidak mengenangnya lagi atau sengaja melupakannya karena lebih menuruti dunia barat yang kafir ketimbang mengikuti perintah Allah SWT. Jadi antara Islam, Aceh dan Indonesia sepertinya ibarat bunga satu tangkai. Ini bermakna baik Aceh maupun Indonesia tidak boleh meninggalkan Islam dan Hukum Islam dalam pengurusan negaranya. Indonesia pula tidak boleh terus menerus mendiskreditkan Aceh untuk kepentingan Jakarta dan penguasanya di sana. Kalau semua itu diabaikan maka kitak tidak pernah ragu kalau Allah sangat mampu untuk menilai dan memberikan rapor kepadanya.
Soekarno memerintahkan semua rakyat Indonesia mengakui Manipol usdek sebagai landasan operasional negara Indonesia dan dengan Manipol usdek tersebutlah ia menyudutkan Islam selama kepemimpinannya.
Soeharto menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya azas bagi seluruh arganisasi di Indonesia baik organisasi masyarakat (Ormas) maupun organisasi politik (Orpol). Pada tahun 1985 dibuat undang-undang keormasan dan memaksa seluruh ormas dan orpol untuk menukar azasnya dengan Pancasila yang dinamakan sebagai azas tunggal pada waktu itu. Hanya Pelajar Islam Indonesia (PII) sajalah yang bertahan dengan azas Islam sementara organisasi lainnya menukar azas dengan Pancasila. Ketika terjadi reformasi dan tumbangnya Soeharto pada tahun 1998 undang-undang ini dicabut oleh presiden B.J.Habibie sebagai pengganti Soeharto dan ormas, orpol bebas menentukan azasnya kembali.
PNI adalah singkatan dari Partai Nasional Indonesia yang pernah berkiprah pada zaman Orde Lama (Orba). Partai ini berjuang untuk mewujudkan Indonesia yang nasionalis dengan target dan sasaran semua pihak dari warga Negara Indonesia bisa bergabung kedalamnya baik dari kalangan ummat Islam, Kristen, Hindu, Budha, Komunis dan lainnya.
NU adalah singkatan dari Nahdhatul Ulama, sebuah organisasi Islam yang pernah menjadi partai yang didirikan oleh para ulama tradisional yang dalam perjalanan politiknya selalu cenderung kepada penguasa Indonesia. Pada masa Orde Lama (Orla) partai ini bergabung dengan NASAKOM yang berarti mencampur adukkan antara yang haq dengan yang bathil. Pada masa Orde Baru (Orba) organisasi ini termasuk salah satu yang paling awal menerima azas tunggal Pancasila sehingga berpengaruh kepada organisasi-organisasi Islam lainnya.
PKI adalah singkatan dari Partai Komunis Indonesia yang mengembangkan ajaran anti tuhan di Indonesia. Ia pernah jaya pada masa Orla karena didukung oleh presiden Soekarno. Karena ingin menguasai Indonesia dengan ideologi komunis, pada tahun 1965 PKI sempat menculik tujuh orang jenderal, enam orang mati dibunuh dan ditanam di lubang buaya sementara seorang lagi Abdul Haris Nasution selamat dan menjadi saksi kebringasan PKI. Akhirnya pada masa Orde Baru Indonesia melarang PKI hidup di Indonesia, D.N. Aidit selaku pimpinan tingginya kemudian dibunuh dan berakhirlah perjuangan PKI.
Catatan Kaki:
- Berkenaan dengan politik Soekarno lihat Ahmad Suhelmi, MA, Polemik Negara Islam, Soekarno versus Nasir, Jakarta: Teraju, 2002, hal., xxii-xxiii.
- Lihat bandingannya dalam Syahbuddin Razi, Dayah Cot Kala, Kertas kerja Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, Aceh Timur, 25-30 September, 1980, hal. 5-6.
- Untuk kelengkapan informasi ini silakan baca Hasanuddin Yusuf Adan, Politik dan Tamaddun Aceh, Banda Aceh: Adnin Foundatioan Publisher, 2006, hal. 139-169
- Yusuf Abbas Hashmi (ed), Shariah, Ummah and Khilafah, Pakistan: University of Karachi, 1987, hal. 129.
- Prof. Ahmad Ibrahim, Dzafir El-Qasimy, Piagam Madinah, Pandangan dan Ulasan, Kuala Lumpur: Gelanggang Kreatif, 1985, hal. 10-11.
- Hamidullah, The first written constitution in the world, Lahore: Ashraf, 1975, hal. 5-9.
- Ibid, hal. 23.
- Dr. Lukman Thaib, Political system of Islam, Kuala Lumpur: Amal, 1994,, hal. 17, Lihat juga Tuan Guru Haji Abdul Hadi awang, Sistem Pemerintahan Negara Islam, Pulau Pinang: Dewan Muslimat Sdn. Bhd., 1995, hal. 23.