Celana Ketat Bupati

0
164

Syariat tetap belum beranjak dari kepala dan kaki. Jilbab harus dipakai sehingga razia jilbab jadi trend walapun kadang seperti orang tua bilang: top ulei puehah punggong. Kini syariat dimulai dari negeri Djohan Pahlawan dengan persoalan kaki (celana). Sang Penguasa Aceh Barat, Ramli MS, membuat terobosan. Katanya demi memperkuat implementasi syariat Islam di kabupaten yang sudah ditabalkan sebagai Kota Tauhid-Tasawuf itu. Terhitung awal Januari tahun 2010, ia melarang wanita muslim yang berada di kabupaten itu memakai celana ketat maupun celana jeans. Yang melanggar, celana panjangnya akan digunting dan diganti dengan rok yang disediakan gratis oleh Pemkab Aceh Barat. (serambi 27/10).


Penegakkan Syariat Islam di Aceh sesungguhnya tidak pernah menimbulkan penolakan, karena pada dasarnya tak ada manusia di Aceh khususnya yang beragama Islam yang menolak hukum Allah, perbedaan pandangan dalam melihat melalui sisi dan sudut yang berbeda tidak bisa kemudian ditafsirkan sebagai ada pihak yang pro dan kontra syariat. Maka ketika hukum rajam rajin dan hangat dibicarakan, disayangkan ada pihak-pihak yang kemudian menuduh pihak lain sebagai yang menghalangi hukum Islam. Dalam hal ini menarik sebuah catatan di status facebook Sayed Muhammad Husen yang dengan bijak mengajak semua pihak untuk menghargai perbedaan pendapat tentang pemberlakukan hukum rajam. Pendapat lain yang paling bijak adalah pandangan seorang ulama kharismatik Aceh, Tgk H Ibrahim Bardan atau Abu Panton. Ia mengatakan, hukum Islam itu diterapkan untuk kedamaian dan kesejahteraan umat, bukan untuk menakut-nakuti. Justru itulah, Abu Panton menyarankan Pemerintah Aceh bersama masyarakatnya perlu lebih dulu membentuk manusia sadar kepada hukum sebelum pelaksanaan hudud (hukuman) penuh bagi orang yang melanggar hukum jinayat. (serambi 18/09).

Penolakan celana ketat adalah fenomena yang mencerminkan pandangan sempit dalam melihat syariat Islam secara utuh dan menyeluruh. Ketika syariat hanya sekedar melihat jilbab dan celana, maka syariat kita pastilah sedang mengintip orang kecil, karena jilbab dan celana yang bisa didapat kaum kecil ini biasanya memang jauh dari desain sebuah busana muslimah ideal dan dijual di pinggir-pinggir jalan dan pasar-pasar kumuh. Beda bila kaum papan atas mereka dengan mudah bisa membeli busana muslimah ideal dengan harga berapapun. Tetapi barangkali hal ini juga sebuah langkah daerah yang tidak ada hal lain yang mau dibanggakan dalam pembangunan daerah, agar tidak disebut tak ada terobosan maka dibuatlah langkah populer ini. Mungkin saja.

Setelah aturan terbaru yang akan diberlakukan sejak 1 Januari 2010 itu, rasanya Pemkab Aceh Barat tidak akan surut malahan sudah sangat siap, kesiapan itu disebutkan telah mempersiapkan 7.000 lembar rok dalam berbagai ukuran. Kaum perempuan di Aceh Barat harus siap-siap menerima pemberlakuan syariat versi Aceh Barat ini, karena ancamannya juga sampai pada menggunting celana panjang langsung dilokasi. Pertanyaan kemudian, apakah peraturan ini diberlakukan pada semua warga atau siapapun yang berkunjung di Aceh Barat, bagaimana kalau suatu waktu ada isteri pejabat menteri dari Jakarta yang berkunjung ke Aceh Barat memakai jilbab tetapi menggunakan celana panjang tidak menutupi mata kaki, beranikah Bupati Aceh Barat juga melakukan hal yang sama? Bagaimana pula dengan Polisi Wanita (Polwan) atau Prajurit Wanita TNI di Aceh Barat, sudahkan Bupati memaksakan penerapan Syariat ala Aceh Barat pada instansi non-sipil ini?

Pemberlakuan ini pastilah tidak pernah akan adil dilaksanakan, sejarah mencatat mulai dari pemberlakuan Qanun No 12/2003 tentang minuman khamar (miras) dan sejenisnya, Qanun No 13/2003 tentang penjudian (maisir) sampai dengan Qanun No 14/2003 tentang mesum berdua-dua yang bukan muhrin (khalwat) tidak ada pejabat atau awak ateuh yang diterapkan, walaupun sejumlah pelanggaran nyata melibatkan kaum terhormat ini, pantas kemudian seusai pelaksanaan cambuk setelah Sholat Jumat 24 Juni 2005 di halaman Masjid Jamik Kabupaten Bireuen, seorang warga terhukum berujar, “Jangan kami rakyat kecil saja yang harus menerima hukuman cambuk di depan umum. Orang-orang kaya atau orang-orang penting yang melakukan pelanggaran hukum pun harus dihukum cambuk dan ditonton masyarakat umum jika ia terbukti melakukan kesalahan.” Kutipan ini dilontarkan oleh terpidana hukum cambuk Alamsyah seperti ditayangkan MetroTV. (Sinar harapan 22/06/05).

Keadilan adalah martabat yang dituntut, konflik Aceh yang baru saja disudahi juga karena persoalan diskriminasi yang mengakangi keadilan, sungguh akan sangat ironi bila kemudian Syariat Islam diterapkan tanpa keadilan. Apakah kemudian kita menyalahkan hukum Allah karena tidak adil diberlakukan, padahal ini jelas adalah hasil produk manusia yang berusaha memanfaatkan celah hukum Islam dengan atas nama Tuhan. Ketika Hukum Tuhan berani dibuat hanya karena politik dan kepentingan tertentu, maka tunggulah saat dimana Tuhan sang pemilik hukum akan memberikan sanksinya.

Syariat Islam bagi kaum muslimin dimanapun termasuk di Aceh adalah persoalan final, artinya hanya hukum Allah ini yang terbaik, maka sungguh kemudian kita menanyakan pada diri kita sendiri apakah mau hukum Allah yang begitu mulia kita tafsirkan sepihak dan cenderung mempermainkannya. Ketika kita begitu bangga dengan hukuman cambuk bagi pencuri ayam kenapa tidak kemudian juga kita hukum mereka yang korupsi uang rakyat, ketika si kecil yang kedapatan mesum dengan mudah dan tenang dibawa ke panggung untuk dicambuk, kenapa ketika ada pejabat suatu waktu di Sabang dan daerah lain termasuk salah seorang pegawai pengawal syariat bisa lolos dan tahu kemana rimba. Apakah hal-hal ini akan terus terjadi ketika Qanun hukum Jinayah diberlakukan, apalagi jelas dalam pasal-pasal tersebut pejabat memiliki impunitas tidak dapat dikenakan hukuman, ini jelas menghilangkan prisip perlakuan sama dimata hukum.

Kembali pada persoalan Bupati yang gencar melawan celana pendek dan ketat, bila memang benar ini akan diberlakukan resmi di Aceh Barat, kita berharap banyak hal harus dipertimbangkan sebelum pemberlakuan. Penataan lembaga wilayatul hisbah yang masih dibawah komando Satpol PP juga harus ditata terlebih dahulu, selain penyaringan petugas pengawal syariat yang bersyariat dimulai dari dirinya dan keluarganya terlebih dahulu. Bupati dan jajaran harus sadar betul bahwa implikasi dari pemberlakuan ini tidak lah main-main, benar memang kita menegakkan yang haq dan mencegah yang batil, tetapi beranikan atau bersediakan keadilan dan sama diperlakukan dimata hukum itu sanggup dijalankan Ramli MS. Karena bila tidak, Bupati akan diplesetkan orang dengan buka paha tinggi-tinggi, artinya pemberlakuan itu justru suatu waktu akan mempermalukan dirinya akibat tidak siap dan adil dalam pelaksanaan.

Sejarah akan mencatat, apakah Ramli MS adalah Sultan Iskandar Muda Modern yang tegas dan komitmen menjalankan keputusan hukum sama termasuk ketika menghukum putra mahkotanya sendiri, ataukah Ramli MS hanya cari sensasi dan tidak sanggup mempertanggungjawabkan dikemudian hari. Atau jangan-jangan celana ketat adalah cerminan sempitnya melihat Syariat yang sekedar memoles luar, ibarat bom lam oen yang kadikab le ulat , diluar indah didalam busuk, entahlah. Wallahualam.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.