Menyingkap Krisis Mesir

0
173

Oleh: Chairul Fahmi, M.A

Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry & Peminat Dunia Islam

Email:fahmiatjeh@gmail.com

ARAB Spring di Mesir belum berakhir. Paska kudeta militer terhadap presiden terpilih secara demokratis, Muhammad Moursi telah menimbulkan perang saudara sesama warga Mesir. Media Al-Jazeera menyatakan lebih dari 900 warga sipil tewas dalam konflik berdarah tersebut, dan umumnya adalah pendukung president Moursi.

Jenderal Abdul Fatah Al-Sisi, adalah tokoh sentral dibalik kudeta demokrasi di Mesir. Mantan menteri pertahanan periode Morsi ini adalah alumni master bidang studi perang di US Army War College, Pennsylvania, Amerika, dan teman dekat Menteri Pertahanan Amerika Serikat Chuck Hagel, dan Global Research (2013) menulis bahwa proses kudeta yang dilakukan al-sisi atas persetujuan Hagel.

Apa sebenarnya faktor utama terjadi kudeta militer terhadap pemimpin Mesir yang terpilih paling demokrasi dalam sejarah Mesir? Kenapa beberapa negara Arab bahkan sebagian ulama Al-Azhar menyatakan bersama militer, sebaliknya Turkey dan Iran bersama Morsi?

Artikel ini mencoba mengulas secara singkap perkembangan krisis di Mesir, motif serta pihak yang bermain dalam upaya mengulingkan presiden yang menghafal al-Quran 20 juz ini, dan pernah mengunjugi Aceh pasca bencana Tsunami 26 Desember 2004.

Faktor Ekonomi?

Selama 2 dekade, dibawah kepemimpinan presiden Husni Mubarak, ekonomi mesir menerapkan sistem neo-liberalisme. Mesir juga menjadi negara kedua yang paling besar dibantu secara financial oleh Amerika setelah Israel. Begitu juga kebijakan ekonomi neo-liberal yang diterapkan pada masa Mubarak, menyebabkan Mesir menjadi pasar terbuka dalam segala aspek, serta ketergantungan terhadap kebutuhan dalam negeri dari negara lainnya. Pengangguran juga menjadi masalah yang sangat signifikan, ditambah anjloknya nilai mata uang mesir. Sementara harga kebutuhan meningkat, dan kondisi ini menyebabkan Mubarak turun tahta pada tahun 2012.

Kondisi ini juga perparah oleh praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang kronis. Birokrasi yang terbentuk selama masa Mubarak adalah birokrasi yang korup. Begitu juga dengan penegak hukum yang sudah terkontaminasi dengan prilaku kleptokrasi.

Kudeta Terhadap Demokrasi

Kemenangan Morsi pada Mei 2012, sebagai pemilu pertama setelah runtuhnya rezim Mubarak. Harapan masyarakat untuk mewujudkan Mesir menjadi lebih baik sangat besar. Upaya mewujudkan Mesir menjadi lebih baik rupanya mendapat tantangan baik dari luar maupun dari dalam negeri.

Israel dan Amerika menjadi negara yang berperan dalam proses kudeta tersebut, namun skenario kudeta diawali gelombang demokrasi yang dipelopori oleh kelompok Kefaya, yang diinisiasi oleh partai sosialis sekular dibawah pimpinan Ahmed Bahaa El-Din Shaaban. Gerakan ini mendapat dukungan dari Amerika melalui lembaga International Center for Non-Violent Conflict (global research,2013) sebuah NGO internasional yang bergerak dibidang HAM dan demokrasi yang berbasi di Washingthon DC.

Israel melihat penguasaan kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) dan sayap partai politik, partai keadilan dan pembangunan secara dominan di Mesir mengancam keamanan regional Isreal. Hal ini dibuktikan dengan dukungan Morsi terhadap Hamas secara terang-terangan, serta Morsi membuka kembali hubangan diplomatik dengan Iran. Israel juga menyadari bahwa berdirinya gerakan IM yang didirikan Hasan al-Banna juga bertujuan melawan pendudukan Israel di tanah Palestina. Media Nodisinfo menulis bahwa CIS dan Mossad berada dibalik kudete terhadap Morsi untuk mengontrol kembali pemimpin Mesir yang menjamin keamanan Israel, seperti yang pernah dilakukan oleh Mubarak dan Anwar Saadat dengan perjanjian Camp David.

CIA dan Mossad juga menggiring Mesir seperti Suriah. Mesir sebagai pusat peradaban umat Islam tertua di dunia harus dihancurkan, dan setelah itu didesign kembali menjadi negara baru setelah Arab Spring selesai. Amerika dan Isreal berkepentingan untuk menekan kebangkitan Islam setelah runtuhnya rezim korup di dunia Arab. Hal ini seperti ditulis oleh Stuart Levey bahwa Arab spring bukan saja konflik internal negara tersebut, namun juga sarat kepentingan negara regional dan global.

Thomas L Friedman dalam artikelnya what does Morsi for Isreal? menyatakan bahwa ketakutan Israel dan barat terhadap kebangkitan Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) adalah karena mereka dianggap anti-liberal, anti-pluralisme, anti-feminisme dan perubahan konstitusi Mesir yang dianggap memperkuat gerakan Islam.

Umat Islam Terpecah?

Krisis Mesir juga menunjukkan kekuasaan dan perbedaan aliran telah menyebabkan perpecahan dikalangan umat, bahkan negara Islam sekalipun. Dukungan Syekh Syekh Al-Azhar, Syekh Prof Dr Ahmad Tayyib, serta partai An-Noor dari kelompok Salafi kepada dewan militer yang mengkude Morsi adalah bukti gerakan yang berbasis Islam tidak kompak, juga karena pengaruh kekuasaan, dimana beberapa politisi partai An-Nor tidak mendapatkan kursi kekuasaan dalam pemerintahan Morsi. Sedangkan Syekh Al-Azhar disinyalir, karena pernah menjadi ketua gerekan hizbul wathan pada masa Mubarak, serta merupakan penganut sunni-sufi, yang sebagian menyatakan berbeda pandangan dengan IM yang cenderung beraliran salafi.

Begitu juga halnya beberapa negara Islam juga tidak sepakat dalam melihat dan menyelesaikan krisis Mesir. Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan juga Irak secara terang-terangan mendukung upaya kudeta Militer dan membentuk pemerintahan transisi (interim). Sedangkan Turkey dan Iran mendukung Morsi untuk kembali memimpin Mesir, karena dipilih secara demokratis.

Solusi untuk Mesir?

Lalu adakah solusi untuk mengakhiri konflik kekuasaan dan perang saudara di Mesir? Menurut penulis, mengakhiri krisis di Mesir harus dimulai dari umat Islam Mesir sendiri, kelompok Islam Mesir harus bersatu, dan menghilangkan perbedaan yang membawa mudharat lebih besar. Pemimpin IM harus menahan untuk berjihad melawan sesama muslim Mesir. Begitu juga halnya dewan militer harus menarik seluruh pasukannya ke Barak. Proses ini seperti yang diinisiasi oleh Ulama Sufi agar seluruh elemen untuk bersatu, baik IM, Salafi, Islam moderat, Ulama Al-Azhar untuk kembali kepada al-Quran dan sunnah.

Demikian juga kiranya, negara-negara Islam, seperti Indonesia, Malaysia, Turkey, dan seluruh negara OKI untuk mengintervensi dan menfasilitasi seluruh fraksi yang bertikai di Mesir dan mencari solusi yang terbaik dan demokratis. Ulama-ulama seluruh dunia harus bersatu untuk menyelamatkan mesir dari kehancuran akan peran saudara. Krisis Mesir sebenarnya mirip dengan Indoensia ketika tahun 1999,ketika massa yang juga dipelopori oleh tokoh Islam moderat, kaum liberal dan sekular menurunkan Gusdur dari jabaran Presiden RI, ia dengan bijak turun dan menghindari perang saudara, antara massa Amin Rais dengan pasukan berani mati dari Tebu Jawa Timur. Sayang, Mesir berbeda dengan Indonesia. Semoga Indonesia menjadi hakam dalam mendamaikan konflik Mesir segera. Wallahualam

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.