Jika tak ingin menyebutnya sebagai dongeng karena anak-anak kini tak lagi larut dalam cengeng sehingga mesti diberi pisang goreng tatkala ada hal yang menurut para tetua sebagai bagian melenceng, sebut saja kisah itu semacam hikayat gagal dari penjaga pagar pemerintah yang dianggap tegar. Saya cakap hikayat gagal karena bukti banyak menimbulkan gegar dari segenap langgar, mulai dari belukar hingga ke bandar, antara sepakat dan melaknat atas hukum yang disebut-sebut jinayat. Yang sepakat semakin gencar merusak pagar kantor-kantor seolah mereka terasa amat sadar terhadap sanksi bagi setiap pelanggar, yakni harus dan wajibun untuk dipancung agar lerai telapak dengan ubun-ubun. Sedang yang melaknat atas hukum yang sudah disusun di atas kertas berhimpun semakin lancung bertutur (mungkin) santun untuk tak diberlakukan hukum pancung.
Berlepas tali pada dua kelompok itu kendali, saya bersama warkah ini sekadar turut coba kontribusi atas apa yang berlaku saat ini oleh sebab ia dilakoni di tanah ini, di tempat saya menjadi abdi, yakni tanah suci bergelar Serambi. Bersebab pula ini soal hakiki untuk diwarisi antara hidup dan mati, maka perkenankan saya mengulas beberapa peri yang mungkin tersangkut paut dengan sanksi hukum yang dianggap bagian dari kelak sikap dan tutur santun. Walau dimungkingkan warkah serupa ini pernah dan sudah ditulis banyak kaum dengan gagasan berumpun, salam saya penuh ampun untuk dikenankan memberi sedikit ulasan santun.
Usai baca kopian draf sanksi-sanksi hukum yang kemudian banyak disebut sebagai qanun terhadap pelanggaran jinayat dan jarimat, senyum saya terkulum. Bukan karena itu qanun disusun oleh anggota dewan menjelang hari pensiun bersebab telah berakhir karir di ujung tahun. Namun, banyak sendi dan esensi hukum yang katanya telah dihimpun berdasarkan kitab suci Alquran dan hadis nabi, kenyataannya hanya mengupas perkara syahwat, yang kemudian soal hukum syariat diacu-acukan dengan sanksi buatan pejabat (hukum negara) yang sudah lama bernama KUHP atau sebut saja dengan undang-undang negara.
Agaknya, tak salah jika saya sebut para penyusun qanun itu belum mendefinisikan jinayah dan jarimah secara tegas maupun lugas. Buktinya, Alquran dan Alhadis merangkum lengkap soal jinayah dan jarimah, tetapi di qanun jinayah tidak menunjukkan adanya soal penjinayahan serupa pembunuhan, memakan harta anak yatim, perampokan, penganiayaan, pencurian, korupsi, psikotropika, pemberontakan, dan lain-lain. Lantas, pantaskah qanun itu disebut-sebut mengacu konkret ke Alquran dan Alhadis? Atau bagi mereka para penyusun qanun itu, soal jarimah umum dalam masyarakat seperti saya contohkan di atas bukan perkara jinayah? Jika definisi jinayah menurut qanun itu berkisar pada soal syahwat, bukankah lebih tepat kita sebut semua itu berupa kumpulan kertas sebagai peraturan soal nikmat kelamin yang manakala ditelusuri dan diinterpretasi hanya berupa sanksi hukum kepada penjahat kelamin bagi kalangan menengah ke bawah? Pun hukum ini kesannya hanya berlaku bagi masyarakat Aceh yang menetap di Aceh. Tidak ada uraian detail bagi pendatang ke/di Aceh atau orang Aceh yang melarikan diri setelah melakukan kejahatan syahwat di Nanggroe Aceh.
Menengah ke Bawah
Saya sebut kalangan menengah ke bawah jadi imbas dari peraturan jinayah oleh sebab aparatur militer (polisi dan tentara) ditegaskan tunduk pada Hukum Nasional. Dapat disimpulkan bahwa aparat keamanan di Aceh aman dari qanun syahwat, sedangkan soal sanksi sesuai syariat karena mereka bertugas di negeri yang sedang heboh syahwat tidak diulas oleh anggota syahwat, eh..maksud saya anggota dewan yang telah menyusun peraturan pelanggaran syahwat. Apakah ini yang dimaksud hukum berlandaskan Alquran dan Alhadis?
Sekulum amsal, perkara ini boleh dilihat pada pasal 29 Qanun Jinayah yang saya coba kutip total. Pasal (1) setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemerkosaan diancam uqubat cambuk paling sedikit 100 kali dan paling banyak 200 kali atau penjara paling sedikit 100 bulan dan paling lama 200 bulan. Pasal (2) setiap orang yang melakukan zina dengan anak-anak dianggap melakukan pemerkosaan diancam dengan uqubat cambuk paling sedikit 100 kali dan paling banyak 200 kali atau penjara paling sedikit 100 bulan dan paling lama 200 bulan.
Berkaitan dengan itu, RUU KUHP pasal 285 meyebutkan bahwa pelaku pemerkosaan dikenakakan hukuman minimal 1 tahun dan maksimal 12 tahun. Kembali pada persoalan aparat keamanan negeri, UU yang mesti diikuti atau qanun tersebut? Ini tidak ada ulasan sama sekali.
Selanjutnya, pada pasal 24 mengenai Zina disebutkan bahwa pelaku zina yang belum menikah dikenakan cambuk 100 kali dan bagi yang sudah menikah dirajam/hukum mati. Maka menjadi soal pula bagi saya yang awam ini, mana sebenarnya lebih berat bentuk kejahatan berzina (alasan suka sama suka) dengan pemerkosa sehingga perbedaan sanksi tersebut jadi kentara sekali padahal sama-sama persoalan kelamin? Peliknya lagi, tak ada uraian imbas apa yang diperoleh oleh korban pemerkosaan.
Masih seperti saya sebutkan di atas, jika pemerkosa atau pelaku zina, setelah terbukti salah, lalu melarikan diri dari Aceh, apakah akan ada tindakan tegas dari aparat untuk mengejar atau jika perlu jadikan buronan nasional hingga si pelaku ditemukan? Kemudian, setelah ditemukan apakah akan masih berlaku keputusan sanksi yang sama terhadap tersangka? Hal-hal semisal ini pun tak dijelaskan dalam kedua pasal tersebut. Pantaskah kertas kumpulan soal syahwat itu disahkan segera oleh petinggi pejabat negeri seperti didesak sejumlah mahasiswa dalam berbagai orasi tempo hari? Ah, jangan-jangan ada yang sedang mencoba meng-Islam-kan kita, sementara kita tak tahu tingkat keisalamannya. Maka, siapakah yang mengislamkan siapa saat ini di negeri Serambi? Maaf, bukan saya tak suka Islam. Islam adalah agama saya serupa keyakinan tuan dan puan pencetus Syariat Islam, tetapi soal Islam yang dikertaskan (baca: diqanunkan) dengan mengacu kepada syahwat semata, saya kira masih patut dibincangkan.