Kontroversi Qanun Jinayah dimulai pada saat DPRA periode yang lalu mengesahkan qanun tersebut pada tanggal 14 September 2009, yaitu menjelang berakhirnya masa jabatan mereka sebagai anggota dewan dan entah dengan niat apa mereka memasukkan poin hukuman rajam menjadi salah satu bagian dari qanun yang disahkan tersebut. Akibatnya, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, tidak mau menandatanganinya karena merasa dikangkangi dengan alasan bentrok dengan undang-undang yang lebih tinggi (Serambi Indonesia, 24 Oktober 2009).
Kontan saja, hal tersebut memicu beragam pendapat. Di koran Serambi Indonesia (18 September 2009), misalnya, Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Hasanuddin Yusuf Adan, mengkritik keras sikap gubernur yang tidak mau menandatangani qanun tersebut bahkan sampai menyuruh sang gubernur untuk turun takhta. Sedangkan Tgk. Ibrahim Bardan Panton Labu pada saat bertamu ke Kantor Wakil Gubernur berpendapat bahwa pemerintah harus memberikan kesejahteraan terlebih dahulu sebelum Qanun Jinayat tersebut diterapkan (Serambi Indonesia, 17 September 2009). Siapa yang bisa menjamin? Pro-kontra itu terus berlanjut. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh melakukan berbagai upaya agar qanun tersebut ditandatangani. Sejumlah ulama dayah di Aceh Utara juga mendesak gubernur agar segera menandatanganinya agar qanun tersebut dapat dijalankan. Mantan anggota DPRA lama yang ikut melahirkan qanun tersebut, Bahrum Rasyid, dengan tegas menyatakan bahwa qanun tersebut akan otomatis berlaku setelah 30 hari apakah dengan atau tanpa tanda tangan gubernur (Tabloid Kontras, No. 509 tahun XI, 1-7 Oktober 2009). Banyak pendapat serupa yang dilontarkan sejumlah tokoh Aceh terhadap qanun tersebut. Disamping itu, ada beberapa seminar yang diadakan untuk membahas pro-kontra seputar lahirnya qanun tersebut. Pendapat yang berlawanan dilontarkan oleh beberapa pegiat HAM dan gender yang mengecam kelahiran qanun tersebut dengan alasan bertentangan dengan Hak Azasi Manusia.
Apa yang Kontroversi dari Qanun Jinayah?
Dalam pemahaman saya, isi qanun ini secara umum sebenarnya tidaklah sekontroversial seperti yang kita bayangkan sebelumnya karena selain waktu pembuatan dan penambahan materi hukum rajam, materi yang lain sebenarnya sudah pernah ada dalam qanun-qanun yang sudah disahkan sebelumnya. Ambil contoh Qanun No. 14 tahun 2002 tentang Khalwat (Mesum), Qanun No. 12 tahun 2003 tentang Minuman Keras (Khamar) dan sejenisnya, dan Qanun No. 13 tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). Jadi qanun jinayah yang baru ini sebetulnya ingin mengakomodir beberapa materi qanun yang sudah ada sebelumnya atau lebih tepat dikatakan untuk memberi respons positif terhadap penyempurnaan pelaksanaan qanun-qanun syariat Islam yang sudah ada yang diketahui banyak sekali kelemahannya, baik di bidang materil maupun formilnya.
Untuk hukum rajam, saya juga tidak melihat sebagai sesuatu yang kontroversi (paling tidak dari kacamata Islam) untuk diterapkan ditengah-tengah masyarakat Aceh yang beragama Islam. Jenis hukuman ini baru kontroversi kalau ditinjau dengan kacamata HAM versi dunia Barat yang sangat menekankan pada kepentingan individu. Dalam hukum Islam, perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai kejahatan adalah perbuatan aktif atau pasif yang dapat merusak (mengganggu) terwujudnya ketertiban sosial, keyakinan, kehidupan individu, hak milik, dan kehormatan. Jadi hukuman yang diancamkan untuk suatu kejahatan merupakan upaya agar orang menahan diri dari melakukan perbuatan itu. Dari pemahaman diatas jelas perbedaan penekanan yang membuat hukuman rajam ini menjadi kontroversial. Di satu sisi, Islam menekankan kepentingan orang banyak dengan memberikan hukuman yang punya efek jera, di sisi yang lain Barat melihat ini sebagai sesuatu hal yang melanggar hak-hak individu.
Kalau kita melihat secara garis besar, beberapa hukuman dalam sistem hukum Islam seperti hukuman rajam, potong tangan, cambuk, dan sebagainya mungkin terkesan berat. Beratnya ancaman kepada pelaku zina, misalnya, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela yang dapat menurunkan derajat dan harkat manusia secara umum. Jadi, apabila zina tidak diharamkan, niscaya martabat manusia akan hilang, karena tata perkawinan dalam Islam akan rusak, sehingga pada akhirnya akan sama dengan perbuatan binatang.
Kemudian, kalau hal ini dipahami sebagai upaya dari ajaran Islam menjaga nilai-nilai dan standar moral, penerapan hukuman-hukuman tersebut akan lebih mudah untuk diterima. Pengertian dan pemahamanuntuk kejahatan perzinaan misalnyatidak mudah muncul dari masyarakat modern yang dimana perilaku hubungan seks bebas (free sex) tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan moral. Kritik-kritik Barat yang dilancarkan terhadap hukuman tersebut bukan semata karena mereka tidak suka terhadap konsep hukuman fisik, tetapi lebih disebabkan pada perasaan moral mereka yang belum terbangun seutuhnya.
Dalam persoalan perzinaan, misalnya, orang-orang Barat menganggap sebagai sesuatu yang biasa selama dilakukan atas dasar suka sama suka. Padahal, apabila perasaan moral dan sosial terbangun, adanya perbuatan zina, baik yang dilakukan atas dasar paksaan atau tidak, merupakan suatu kejahatan sosial yang akan mempengaruhi dan menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat secara keseluruhan (Alwi Shihab, 2004).
Implementasi Hukuman Rajam
Kalau kita berbicara mengenai konsep hukuman dalam sistem pidana Islam, banyak sekali tuduhan negatif yang terlontar. Hukum Islam digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, bar-bar, sadis, dan sebagai. Hal ini muncul karena hukum Islam hanya dilihat dari satu aspek saja, yaitu kemanusiaan menurut standar dunia modern, tanpa melihat alasan, maksud, tujuan, dan keefektifan hukuman tersebut.
Dalam Islam, untuk melaksanakan suatu hukuman seperti rajam harus melalui suatu proses dan etika hukum yang sangat ketat. Pada masa Nabi saja, hukuman rajam yang dijatuhkan relatif sedikit akibat dari sulitnya pembuktian. Lalu bagaimana dengan Aceh seandainya qanun jinayah tersebut mau ditandatangani Gubernur? Sulit!
Tidaklah mudah untuk memenuhi syarat dan proses pembuktian sehingga sampai kepada hukuman rajam. Allah mensyaratkan adanya empat orang saksi yang melihat langsung perbuatan tersebut: Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya (QS. An-Nisa: 15). Kemudian dalam ayat yang lain Allah juga berfirman: Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta (QS. An-Nur: 13).
Para saksi tersebut juga tidak bisa main-main dengan kesaksiannya karena mereka juga diancam dengan hukuman yang berat jika memberikan kesaksian palsu: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik (QS. An-Nur: 4). Dan di ayat yang lain: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar (QS. An-Nur: 23).
Hal kesaksian inilah yang saya anggap merupakan upaya Islam dalam menyaring dan menyeleksi pelaku-pelaku zina dan melindungi orang baik-baik dari tuduhan-tuduhan tersebut. Secara logis, akan sangat sulit mencari empat orang yang benar-benar melihat perbuatan zina kecuali jika yang berzina tersebut memang sengaja mempertontonkannya.