Memahami Hukum Rajam

0
3152

Tidak hanya dalam Agama Islam, namun juga dalam agama-agam besar lainnya, seperti Yahudi, Hindu maupun Nasrani. Di dalam Islam sendiri, peSebab, perdebatan mengenai hukum rajam dalam hukum pidana Islam, tidak hanya terjadi dalam kasus draf qanun jinayat di Aceh. Diskursus mengenai hukum rajam Islam ini telah muncul sejak hukum itu diperkenalkan dalam menghukum perbuatan yang sangat ditentang oleh norma Agama.

rdebatan mengenai hukum rajam juga telah melahirkan berbagai perspektif, golongan dan aliran hukum. Hukum rajam adalah suatu hukuman terhadap pelaku kejahatan zina bagi yang pernah/sudah menikah dengan cara dilempari batu. Hukum ini tidak dilakukan kecuali dalam kasus perbuatan yang sangat tercela dan dosa besar. Hukuman ini hanya dilaksanakan bila penerima hukuman benar-benar terbukti dengan teramat meyakinkan dengan disaksikan oleh 4 (empat) orang saksi laki-laki yang adil atau dengan pengakuan dan permohonan sipelaku dengan ikhlas yang meminta hakim untuk menghukumnya. Rajam sebenarnya sudah ada sejak para nabi dan rasul sebelum nabi Muhammad SAW. Hukuman seperti itu juga berlaku secara resmi di dalam syariat Yahudi dan Nasrani.

Rajam Sebelum Islam

Pelaksanaan hukuman rajam terhadap penzina, bukan hanya terdapat dalam ajaran agama Islam atau sebagai yang pertama menerapkan hukuman yang keras tersebut. Akan tetapi, hukuman yang bertujuan untuk memelihara moralitas umat tersebut juga diterapkan oleh agama-agama samawi lainnya sebelum datangnya Islam. Mengenai hukum rajam dalam agama Nasrani, seperti dikutip oleh Shabbir dalam bukunya Outlines of Criminal Law and Justice in Islam, dimana dalam perjanjian lama (old testament) dinyatakan bahwa:

dan laki-laki yang berzina dengan istri orang lain, atau melakukan zina dengan istri tetangganya, maka penzina laki-laki dan penzina perempuan tersebut harus dihukum mati (Leviticu, 20:10).

Pelaksanaan hukuman rajam juga di atur dalam peraturan agama Yahudi, meskipun kemudian hukum tersebut tidak dilaksanakan lagi, seperti dikatakan oleh Cheyne:

in the law the only recognized form of capital punishment is by stoning.. it fell to the witness to cast the first stone.

Konsep hukum ini pada prinsipnya adalah sebuah upaya pencengahan terhadap perbuatan yang tidak bermoral, karena moralitas sangatlah penting dalam sistem agama Yahudi, karena pengaruhnya sangat besar terhadap terjadinya sebuah kejahatan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Jewish Encyclopedia:

Law and morality went hand in hand to prevent the commission of the crime

Selain itu, di dalam Torah, ketentuan hukum rajam (stoning to death) sebagai bentuk hukuman terhadap beberapa jenis kejahatan, dan perzinaan adalah salah satu dari jenis kejahatan yang dirajam.

Begitu juga dalam agama Hindu, dibawah hukum Hindu klasik setiap kejahatan seksual khususnya terhadap kejahatan zina akan dikenakan hukuman, seperti yang ditulis oleh Manu dalam kitab Smiriti:

Men who indulge in commiting with the wives of others, the king shall cause them to be marked by punishment such as cutting of nose and lips which cause terror, and afterwards banish them.

Lebih jauh, Manu menyatakan bahwa beberapa jenis hukum diterapkan terhadap pelaku kejahatan zina (adultery) seperti yang ditulis dalam kitab Medahatithi:

A women who neglects her husband and goes over to another man through pride consisting in the idea: I have several relations who are powerful and wealthy and I myself possessed of all the excellent qualities of a women, such as beauty and love why should I the mind my character, such a women the King shall get devoured by dogs till she dies.

Ajaran dalam kitab tersebut menjelaskan bahwa ada beberapa jenis hukuman yang diterapkan terhadap pelaku kejahatan seksual, seperti di potong hidup, bibir dan di gigit oleh anjing sampai mati.

Jadi, dari sumber-sumber asli hukum suci Yahudi, Kristen dan Hindu tersebut, dengan jelas menyatakan bahwa perzinahan adalah suatu kejahatan keji yang sangat ditentang dan akan diterapkan hukuman berat yang mengakibatkan kematian si pezina baik laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan pandangan tersebut, maka tidak beralasan jika umat Yahudi, Nasrani, Judaism dan Hindu menuduh bahwa hanya sistem hukum dalam Islam yang menerapkan hukuman tersebut kepada pelaku zina.

Rajam Pada Masa Perkembangan Islam

Di dalam Islam, penerapan hukum rajam pertama kali diterapkan berdasarkan riwayat dalam sunan Ibn Majah bahwa seorang yang bernama Maiz mengadu dan mengaku kepada Rasulullah bahwa ia telah melakukan perbuatan zina. Namun Rasul tidak menghiraukan pengaduannya dan memalingkan muka daripadanya, hingga ia mendatangi dan mengulangi lagi pengakuannya kepada Rasul sampai empat kali, kemudian Rasul menyuruhnya untuk mencari 4 orang saksi, setelah membawa 4 (empat) orang saksinya, Rasul bertanya apa kamu sudah gila? dijawab tidak. Kemudian Rasul bertanya lagi, apa kamu sudah pernah menikah? dijawab ya, apakah kamu tahu apa itu zina? ia menjawab tahu ya Rasullullah kalau begitu, bawalah orang ini dan rajamlah. Ketika hukuman mati dengan dilempari batu itu dilaksanakan, tiba-tiba Maiz merasa kesakitan dan melarikan diri, sebahagian sahabat mengejar dan melempari lagi sampai ia meninggal, setelah itu mereka menghadap Rasul dan melaporkan kejadian tadi, namun Rasul bersabda mengapa tidak kalian biarkan saja Maiz lari saja, mungkin dia bertaubat dan Allah menerima taubatnya (HR.Muslim).

Di hadist lain Rasulullah juga bersabda, Dari Ibnu Masud ra, dia berkata, Rasulullah Shallallahualaihi wasallam bersabda:

Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa saya (Rasulullah Shallallahualaihi wasallam) adalah utusan Allah kecuali dengan tiga sebab, yaitu orang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jamaahnya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Selain itu, sesungguhnya hukuman rajam ini pun pernah diperintahkan di dalam Al-Quran, namun lafadznya dihapus tapi perintahnya tetap berlaku. Adalah khalifah Umar bin Al-Khattab yang menyatakan bahwa dahulu ada ayat Al-Quran yang pernah diturunkandan isinya adalah :

Orang yang sudah menikah laki-laki dan perempuan bila mereka berzina, maka rajamlah

Namun lafadznya kemudian dinasakh, tetapi hukumnya tetap berlaku. Sehingga sebagian pendapat menyatakan bahwa syariat rajam itu dilandasi bukan hanya dengan dalil sunnah, melainkan dengan dalil Al-Quran juga.

Hukuman bagi penzina yang telah pernah menikah, sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa dalil terhadap hukuman tersebut didasarkan pada hadis Nabi saw yaitu hukuman mati dengan dilempari batu (rajam).

Nabi Muhammad saw telah menyatakan dalam hadisnya tentang penzina yang muhsan bahwa hukumannya adalah dengan rajam bagi laki-laki dan perempuan dan dicambuk 100 (seratus) kali bagi penzina yang belum pernah menikah. Penerapan hukuman ini juga pernah dipraktekan oleh para khalifah dalam sejarah kepemimpinannya.

Namun demikian, mengenai hukum rajam para ahli hukum (fuqaha) berbeda pendapat dalam menafsirkan penetapan dalil dan proses pelaksanaan hukuman tersebut. Para jumhur ulama sepakat bahwa bagi penzina yang muhsan, hukumannya adalah rajam, yaitu dilempari dengan batu atau sejenisnya dan memberikan efek jera dan pelajaran bagi yang lain. Namun kalangan khawarij menolak penetapan hukum rajam bagi penzina, karena menurut kelompok Khawarij, hadis yang dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukuman tersebut bukanlah hadis mutawatir, melainkan hadis ahad yang hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat, yaitu Ubadah ibn Shamit. Lebih jauh mereka menyatakan bahwa hukuman untuk jarimah (tindak kejahatan) zina, baik muhshan (pernah menikah) ataupun ghairu Muhshan (belum pernah menikah) adalah hukuman dera seratus kali berdasarkan firman Allah dalam surah An-Nur ayat 2.

Al-Allama Badruddin Al-Aini menyatakan bahwa Nabi saw tetap menetapkan hukuman rajam (stoning to death) meskipun setelah turunya Surah An-Nur ayat 2 tentang jilid bagi penzina. Begitu juga para Imam Mazhab golongan Sunni dan mayoritas ulama menyatakan bahwa hukuman bagi penzina muhshan adalah dengan hukuman rajam, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Aishah, Rasulullah bersabda:

Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa saya (Rasulullah Shallallahualaihi wasallam) adalah utusan Allah kecuali dengan tiga sebab, yaitu orang yang telah menikah (muhshan) berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya (murtad). (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Penetapan hukuman rajam juga pernah dipraktekkan kepada wanita Ghamidiyah yang telah menikah datang dan mengaku kepada Rasul saw bahwa ia telah melakukan zina. Ia meminta Rasulullah untuk menghukumnya agar terbebas dari dosa besar tersebut. Namun hukuman tersebut ditunda hingga wanita tersebut melahirkan. Setelah melahirkan ia datang lagi kepada Rasul untuk meminta agar ia dihukum. Namun Rasul menolak hingga ia membesarkan anaknya. Dan setelah itu hukuman rajam baru dilakukan terhadap wanita tersebut.

Jadi penetapan hukuman rajam bagi penzina tersebut didasarkan kepada hadis dan sunnah Rasulullah yang hukuman tersebut bagi yang muhshan, yaitu bagi mereka yang telah menikah, dan ini menjadi syarat mutlak dalam penetapan hukuman rajam tersebut.

Adapun syarat-syarat seseorang dapat dikategorikan sebagai muhshan adalah sebagai berikut:

  1. 1. Persetubuhan dalam nuangan perkawinan yang sah

Persetubuhan yang dilakukan dalam naungan perkawinan yang sah merupakan syarat adanya ihshan (muhshan). Persetubuhan ini harus merupakan persetubuhan pada qubul (farji/kelamin). Meskipun seseorang telah melakukan akad nikah dan telah tidur bersama tapi belum pernah bersenggama atau memasukkannya lewat dubur, belumlah dikatakan muhshan. Demikian juga meskipun ia pernah melakukan hubungan badan tapi tidak dalam ikatan perkawinan yang sah (berzina). Maka hal tersebut belum memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai muhshan.

2. Balig dan Berakal

Baliq dan berakal merupakan syarat adanya kecakapan bagi seseorang untuk dapat dikenakannya hukuman apabila ia melakukan suatu jarimah (kejahatan), baik ia muhshan maupun ghairu muhshan. Dengan demikian, persetubuhan yang menyebabkan ihshan adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang yang baliq dan berakal. Apabila terjadi persetubuhan dari anak yang masih di bawah umur atau orang gila, maka ia tidak termasuk muhshan, melainkan ghairu muhsan.

3. Adanya Kesempurnaan Syarat untuk kedua belah pihak pada waktu persetubuhan

Untuk mewujudkan ihshan, disyaratkan pada waktu terjadinya persetubuhan kedua belah pihak harus sudah dewasa dan berakal sehat. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi syarat ini maka keduanya tidak dianggap muhshan. Meskipun orang yang berzina sudah kawain dan ia sudah bersetubuh dengan istrinya tetapi istrinya itu sedang gila atau masih di bawah umur maka orang yang berzina tersebut tergolong ghairu muhshan, walaupun ia sendiri sudah balig dan berakal. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad.

Akan tetapi, Imam Malik tidak mensyarakatkan baliq dan berakal untuk kedua belak pihak, melainkan cukup terdapat pada salah satu pihak saja. Dengan demikian menurut Imam Malik, seorang laki-laki termasuk muhshan apabila pada dirinya sudah terpenuhi syarat-syarat ihshan, dan wanita mampu melakukan persetubuhan walaupun ia masih di bawah umur atau gila. Demikian pula wanita bisa menjadi muhshan dengan terpenuhinya syarat-syarat ihshan dan dewasnya suami yang menyetubuhinya walaupun ia gila.

Di kalangan mazhab Syafii, dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah, yaitu kedua orang yang melakukan persetubuhan harus sama-sama balig dan berakal. Sedangkan pendapat kedua sama dengan pendapat Imam Malik, yaitu tidak perlu kedua-duanya balig dan berakal, melainkan cukup salah satunya saja.

4. Islam

Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menjadikan Islam sebagai salah satu syarat Ihshan (Muhshan). Alasannya adalah hadis Rasulullah saw ketika beliau diminta pendapatnya oleh Hudzaifah tentang perkawinan dengan wanita kitabiyah, beliau mengatakan sebagai berikut: Tinggalkanlah ia, karena ia (wanita kitabiyah) tidak menyebabkan engkau menjadi ihshan.

Namun, Imam Syafii dan Imam Ahmad tidak menjadikan Islam sebagai salah satu syarat ihshan. Alasan mereka adalah bahwa Rasulullah saw, telah melaksanakan hukuman rajam terhadap dua orang Yahudi yang melakukan zina dan keduanya belum masuk Islam. Adaikata Islam menjadi syarat ihshan, Rasulullah saw tentu tidak akan merajamnya. Disamping itu, memang semua agama pada umumnya melarang perbuatan zina, sebagaimana yang dilarang oleh Islam. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Yusuf, Kelompok Zhahiriyah, dan salah sau pendapat dari mazhab Syiah Zaidiyah. Dengan demikian, apabila seorang laki-laki muslim yang kawin dengan wanita non-muslim melakukan perbuatan zina maka menurut Imam Abu Hanifah ia tidak dirajam, karena ia tidak dianggap muhshan. Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad, Zhahiriyah, dan sebagian Syiah Zaidiyah ia dikenai hukuman rajam, karena perkawinan dan persetubuhan dengan wanita non-muslim membuatnya menjadi muhshan.

Hal-Hal Yang Menyebabkan Gugurnya Hukuman

Pelaksanaan hukuman had bagi penzina tidak dapat dilaksanakan atau gugur karena disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) Karena pelaku mencabut pengakuannya apabila zina tersebut dibuktikan dengan pangakuan; (2) karena para saksi mencabut persaksiannya sebelum hukuman dilaksanakan; (3) Karena pengingkaran oleh salah seorang pelaku zina atau mengaku sudah kawin apabila zina dibuktikan dengan pangakuan salah seorang dari keduanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah. Akan tetapi menurut jumhur ulama, pengingkaran tersebut tidak menyebabkan gugurnya hukuman. Demikian pula pengakuan telah kawin menurut jumhur tidak menyebabkan gugurnya hukuman, kecuali apabila ada petunjuk atau bukti bahwa kedua pelaku zina itu memang sudah menikah; (4) karena hilangnya kecakapan para saksi sebelum pelaksanaan hukuman dan setelah adanya putusan hakim. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Hanafi. Akan tetapi, mazhab-mazhab yang lain tidak menyetujuinya; (5) karena meninggalnya saksi sebelum hukuman rajam dilaksanakan. Pendapat ini juga merupakan pendapat mazhab Hanafi, tidak menurut mazhab yang lainnya; (6) karena dilaksanakannya perkawinan antara pelaku zina tersebut. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah. Akan tetapi menurut fuqaha yang lain, perkawinan setelah terjadinya perbuatan zina tidak mengugurkan hukuman had, karena hal itu bukan merupakan syubhat.

Diskursus Mengenai Hukuman Rajam

Hadis yang dijadikan sebagai dalil rajam telah mengalami pertentangan dan perdebatan sejak masa khalifah Umar Ra sampai sekarang. Abd Salam al-Sulami al-Shafie pernah menanyakan hal tersebut dalam bukunya Qawaid al-ahkam, yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak termasuk dalam hukum quran. Imam Shaybani dilaporkan telah menanyakan kepada Abdullah Ibn Aufan, seorang sahabat Nabi saw bahwa apakah hukum rajam telah dipernah diputuskan/ditetapkan oleh Rasulullah dan jika benar adanya pada tahun berapa?. Dan Abdullah Ibn Aufan telah membenarkan hukum tersebut, namun beliau tidak memberi jawaban tentang kapan penerapan hukuman itu dilaksanakan. Sehingga hal tersebut membuat dan meninggalkan perdebatan bagi umat muslim mengenai hukum tersebut.

Sebagaimana dinyakini bahwa hadis tentang rajam diriwayatkan pada awal abad ke-7 hijriah, hal ini dapat dinyatakan sebagai sunnah dalam pandangan sistem hukum Islam. Menurut para pakar hukum Islam, aturan hukum rajam yang didasarkan kepada hadis tersebut dilaksanakan sebelum ada ayat al-Quran yang mengatur hal tersebut. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Masoodi, ia berpendapat bahwa jika hadis tentang rajam tersebut ditetapkan pada abad ke 7 hijriah, apakah hal tersebut kemudian dapat menjadi sesuatu yang dapat me-nasakh isi (content) al-Quran dengan hadis yang diperselisihkan tersebut?. Mengenai doktrin nasakh telah diuraikan secara jelas oleh Imam Syafii dalam kitabnya ar-risalah, sebagaimana dikutip oleh Masoodi, sebagai berikut:

1) Suatu ayat al-quran hanya dapat dibatalkan (nasakh) oleh ayat al-Quran yang berikutnya;

2) Suatu sunnah hanya dapat dibatalkan (dinasakh) oleh sunnah yang berikutnya;

3) Pembatalan (menasakhkan) isi (ayat) al-Quran oleh Sunnah tidak dapat diterima, karena hal tersebut merendahkan keangungan al-Quran.

Dari pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembatalan ayat al-quran dengan hadis tentang rajam tidak dapat diterima. Lebih jauh, Masoodi mengacu kepada pandangan kepada para ahli hukum Islam yang menyakini bahwa rajam adalah bagian dari isi Alquran. Dalam hal ini, Khalifah Umar pernah menyatakan bahwa:

Sesungguhnya Allah telah menurunkan Al-Quran dan ayat yang berhubungan dengan rajam sampai mati sebagaimana apa yang telah diturunkan kepadanya (rasul).

Sementara itu, Anwarullah berargument bahwa pendapat yang menyatakan pembatalan hukuman rajam bagi penzina yang muhshan dengan ayat al-Quran surah An-Nur ayat 2, tidaklah benar. Hal ini berdasarkan bukti sejarah yang menyatakan bahwa Khalid Ibn Walid, Abbas Ibn Abdul Muthalib dan Abu Hurairah telah berada di Madinah dan mereka juga hadir pada waktu proses eksekusi hukuman mati terhadap Maiz ibn Malik dan wanita Ghadimiyah. Mereka datang ke Madinah pada tahun keenam hijriah, sementara ayat al-Quran mengenai hukum cambuk (24:2) telah turun pada tahun kelima hijriah dalam skandal melawan Aishah. Hal inilah yang menjadi alasan bagi Umar dan Khalifah lainnya, juga mayoritas jumhur ulama, Imam Mazhab (Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad) serta para fuqaha lainnya menyatakan bahwa hukuman rajam tetap diberlakukan terhadap penzina yang telah pernah menikah (muhshan).

Sementara, Imam Ibn Qayyim menyatakan bahwa penetapan hukum rajam bagi penzina, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sangat keji dan dosa besar, bahkan kerusakan akibat perbuatan zina paling besar dibanding perbuatan dosa lainnya. Menurutnya perbuatan ini mengakibatkan hancurnya kehidupan umat manusia, menghilangkan hubungan nasab dan silsilah manusia serta menimbulkan penyakit social yang kotor dan keji.

Lebih jauh, para ulama diantaranya Syeikh Abu Bakar al-Jazairi menyatakan bahwa penerapan qanun jinayat yang termasuk di dalamnya menerapkan hukum rajam merupakan upaya untuk menengakkan hukum Allah dimuka bumi, seperti firman Allah dalam al-Quran yang artinya dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa sebahagian yang telah diturunkan Allah kepadamu. (QS.al-Maidah:49).

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.